Widget HTML #1

Askep BPH Pendekatan Sdki Slki Siki

Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah kondisi umum yang ditemui pada pria lanjut usia dan penyebab umum gejala saluran kemih bagian bawah. Prevalensi BPH biasanya akan semakin meningkat seiring pertambahan usia. Pada Tulisan ini Repro Note akan merangkum mengenai konsep medik dan Asuhan Keperawatan atau Askep BPH dengan pendekatan Sdki Slki dan Siki.

Tujuan :

  • Memahami Definisi, epidemiologi, etiologi, tanda gejala, dan patofisiologi BPH
  • Memahami Pemeriksaan, diagnostik, dan penatalaksanaan BPH
  • Merumuskan diagnosa keperawatan pada askep BPH dengan pendekatan Sdki
  • Merumuskan luaran dan Kriteria hasil pada askep BPH dengan pendekatan Slki
  • Melaksanakan intervensi keperawatan pada askep BPH dengan pendekatan Siki

Askep BPH Pendekatan Sdki Slki Siki
Image by Akcmdu9 on wikimedia.org

Konsep Medik dan Askep BPH

Definisi

Benign prostatic hyperplasia (BPH) juga sering disebut pembesaran kelenjar prostat adalah kondisi yang umum terjadi seiring bertambahnya usia pria. 

Benign prostatic hyperplasia (BPH) mengacu pada pertumbuhan nonmalignant atau hiperplasia jaringan prostat dan merupakan penyebab umum gejala saluran kemih bagian bawah pada pria. 

Beberapa definisi ada dalam literatur ketika menggambarkan BPH, antara lain obstruksi saluran keluar kandung kemih atau Baldder Outlet Obstruction (BOO), gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS), dan pembesaran prostat jinak atau benign prostatic enlargement (BPE). 

Perkembangan hiperplasia prostat jinak ditandai dengan proliferasi sel stroma dan epitel di zona transisi prostat di sekitar uretra. Hal ini menyebabkan kompresi uretra dan pengembangan obstruksi aliran keluar kandung kemih yang dapat mengakibatkan manifestasi klinis saluran kemih bagian bawah. 

Epidemiologi

Usia merupakan prediktor yang signifikan dari perkembangan BPH dan LUTS berikutnya, dengan 50% pria di atas usia 50 tahun terbukti memiliki BPH dan hubungan dengan perkembangan LUTS terbukti meningkat seiring bertambahnya usia secara linier. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan peningkatan volume prostat seiring bertambahnya usia, dimana terjadi peningkatan ukuran 2% hingga 2,5% per tahun. 

Di amerika serikat, penelitian menunjukkan prevalensi BPH setinggi 70% pada pria yang berusia antara 60-69 tahun dan lebih dari 80% pada pria yang berusia di atas 70 tahun. Prevalensi LUTS menunjukkan peningkatan yang signifikan sesuia peningkatan dengan usia dari 8% pada usia 30-39 tahun menjadi 35%  pada usia 60-69 tahun. Dalam survei kesehatan komunitas wilayah Boston berbasis populasi AS lainnya menunjukkan 56% pria berusia antara 50-79 tahun melaporkan gejala LUTS.

Penelitian internasional menunjukkan bahwa populasi Barat memiliki volume prostat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Asia Tenggara. Penelitian lebih lanjut melihat korelasi volume prostat dengan LUTS, menemukan bahwa volume prostat yang lebih rendah tidak selalu berkorelasi dengan gejala.

Etiologi

Etiologi BPH dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko selain efek hormonal langsung testosteron pada jaringan prostat.

Meskipun mereka tidak menyebabkan BPH secara langsung, androgen testis diperlukan dalam perkembangan BPH dengan dihidrotestosteron (DHT) berinteraksi langsung dengan epitel prostat dan stroma.

Testosteron yang diproduksi di testis diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh 5-alpha-reductase 2 di sel stroma prostat dan menyumbang 90% dari total androgen prostat. 

DHT memiliki efek langsung pada sel stroma di prostat, efek parakrin pada sel prostat yang berdekatan, dan efek endokrin dalam aliran darah, yang mempengaruhi proliferasi seluler dan apoptosis atau kematian sel.

BPH muncul sebagai akibat dari hilangnya homeostasis antara proliferasi sel dan kematian sel, menghasilkan ketidakseimbangan yang mendukung proliferasi sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah sel epitel dan sel stroma di daerah periuretra prostat dan dapat dilihat secara histopatologis.

Faktor risiko

Faktor resiko ini antara lain sindrom metabolik, obesitas, hipertensi, dan faktor genetik.

Sindrom metabolik mengacu pada kondisi yang mencakup hipertensi, intoleransi glukosa, diabetes melitus, dan dislipidemia. Studi Meta analisis telah menunjukkan orang-orang dengan sindrom metabolik dan obesitas memiliki volume prostat yang jauh lebih tinggi. 

Penelitian lebih lanjut melihat pria dengan peningkatan kadar hemoglobin glikosilasi (Hba1c) telah menunjukkan peningkatan risiko LUTS. Obesitas telah terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko BPH dalam studi observasional. Penyebab pastinya tidak jelas tetapi kemungkinan bersifat multifaktorial karena obesitas merupakan salah satu aspek dari sindrom metabolik.

Predisposisi genetik untuk BPH telah ditunjukkan dalam studi kohort, kerabat tingkat pertama dalam satu studi menunjukkan peningkatan empat kali lipat risiko BPH dibandingkan dengan kontrol. 

Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala umum yang sering muncul pada pasien BPH antara lain:

  • Sering buang air kecil atau perasaan mendesak untuk buang air kecil
  • Peningkatan frekuensi kencing pada malam hari (nokturia)
  • Kesulitan memulai buang air kecil
  • Aliran urin yang lemah atau aliran yang terputus putus
  • Dribbling di akhir buang air kecil
  • Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya
Tanda dan gejala lain yang bisa muncul namun jarang terjadi antara lain:
  • Infeksi saluran kemih
  • Ketidakmampuan untuk buang air kecil
  • Darah dalam urin

Ukuran pembesaran prostat tidak selalu menentukan tingkat keparahan gejala. Beberapa pria dengan sedikit pembesaran prostat dapat memiliki gejala yang signifikan, namun pada pria lain dengan prostat yang lebih parah dapat memiliki gejala kencing yang minimal.

Beberapa penyakit lain juga memiliki gejala yang relatif mirip dengan BPH seperti Infeksi saluran kemih, prostatitis, striktur uretra, Jaringan parut di leher kandung kemih akibat operasi sebelumnya, Batu ginjal atau saluran kemih lainnya, Masalah dengan saraf yang mengontrol kandung kemih, serta kanker prostat atau kanker kandung kemih.

Patofisiologi

Perkembangan gejala saluran kemih bagian bawah dan obstruksi saluran keluar kandung kemih pada pria dengan BPH dapat disebabkan oleh komponen statis dan dinamis.

Obstruksi statis merupakan akibat langsung dari pembesaran prostat yang mengakibatkan kompresi periuretra dan obstruksi saluran yang keluar dari kandung kemih. 

Di sini, kompresi periuretra membutuhkan peningkatan tekanan berkemih untuk mengatasi hambatan aliran. Selain itu, pembesaran prostat mendistorsi saluran keluar kandung kemih yang menyebabkan obstruks.

Komponen dinamis antara lain ketegangan otot polos prostat, oleh sebab itu digunakan inhibitor 5-alpha reductase untuk mengurangi volume prostat dan alpha-blocker untuk mengendurkan otot polos.

Hal ini dijelaskan oleh penurunan elastisitas dan kolagen di uretra prostat pada pria dengan BPH, yang selanjutnya dapat memperburuk obstruksi uretra karena peningkatan resistensi aliran dan dapat menjelaskan mengapa ukuran prostat saja tidak selalu merupakan prediktor penyakit.

Pemeriksaan histologis menunjukkan bahwa BPH merupakan proses hiperplastik dengan peningkatan jumlah sel secara histologi (hiperplasia). Peningkatan ini terjadi baik di zona periurethral dan zona transisi. 

Penelitian histologis telah menunjukkan proliferasi kelenjar dan stroma. Secara khusus, zona periuretra menunjukkan nodul stroma, sedangkan proliferasi nodular kelenjar terlihat dalam zona transisi.

Pemeriksaan 

Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit harus terfokus mencakup semua aspek simtomatologi, dan ini termasuk faktor onset, waktu, eksaserbasi, dan faktor yang meringankan.

Gejala saluran kemih bagian bawah seperti frekuensi, nokturia, urgensi, mengejan, dan berkemih berkepanjangan dapat membantu menentukan penyebab lain dari gejala saluran kemih seperti infeksi saluran kemih atau iritasi pada kandung kemih. Pria dengan BPH cenderung melaporkan gejala yang dominan adalah nokturia, aliran yang buruk, perasaan tidak tuntas, atau berkemih berkepanjangan.

Riwayat pengobatan lengkap harus dikaji, termasuk obat apa pun yang telah mereka coba dan penggunaan antikoagulan atau antiplatelet, yang dapat meningkatkan risiko perdarahan intraoperatif harus ditanyakan sebelum dilakukan tindakan operasi.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan perut untuk mengidentifikasi nyeri kandung kemih, nyeri pinggang, dan pemeriksaan genitalia eksterna. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan colok dubur dengan mencatat secara khusus ukuran, bentuk dan konsistensi prostat.

Pemeriksaan lain meliputi:

  • Dipstick urin untuk menyingkirkan penyebab lain seperti infeksi
  • Volume residu pasca berkemih untuk menilai apakah kandung kemih dikosongkan dengan benar
  • IPSS (international prostate symptom score)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk pasien BPH dapat diindikasikan tergantung pada kondisi pasien, riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik yang dilakukan sebelumnya. 

Beberapa pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan pada pasien BPH antara lain:

Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah mencakuppemeriksaan fungsi ginjal untuk menetapkan fungsi ginjal dasar dan dapat membantu mendukung diagnosis gagal ginjal atau cedera ginjal akut pada seseorang dengan retensi tekanan tinggi kronis atau retensi akut.

Urinalisis

Pengujian spesimen urin dapat membantu mendeteksi infeksi, hematuria yang tidak terlihat, atau gangguan metabolisme seperti glikosuria. Leukosit dan nitrit merupakan temuan umum pada infeksi, adanya proteinuria dapat menunjukkan kondisi nefrologis. 

Antigen Spesifik Prostat (PSA)

Pengujian antigen spesifik prostat telah terbukti dapat memprediksi volume prostat. Namun, pengujian antigen spesifik prostat (PSA) harus digunakan dengan hati-hati, dan tidak boleh dilakukan secara rutin dalam pemeriksaan BPH. 

Kadarnya dapat meningkat pada berbagai kondisi seperti prostat besar, infeksi, kateterisasi, kanker prostat dan dapat menyebabkan kecemasan yang tidak semestinya atau pemeriksaan lebih lanjut yang tidak perlu bagi pasien.

USG

Pemindaian ultrasound digunakan untuk mencari bukti hidronefrosis dan diindikasikan pada pasien dengan volume residu tinggi atau gangguan ginjal. Indikasi lain termasuk kecurigaan adanya batu saluran kemih atau pemeriksaan hematuria.

Penilaian Aliran

Penilaian aliran urin digunakan untuk menentukan volume urin yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. Hal ini dapat membantu menentukan apakah ada bukti objektif untuk obstruksi aliran. Pemeriksaan urodinamik digunakan untuk melihat bagaimana pengosongan dan pengisian kandung kemih. 

Sistoskopi

Sistoskopi bisa digunakan untuk memeriksa gejala seperti hematuria untuk dugaan kanker kandung kemih dan juga dapat digunakan untuk mencari striktur uretra yang juga dapat mengakibatkan aliran urin yang buruk dan penurunan aliran urin.

Penatalaksanaan

Retensi urin

Retensi urin yang signifikan membutuhkan dekompresi segera. Pemasangan kateter urin merupakan tindakan awal yang bisa dilakukan. Jika kateter standar tidak dapat masuk, kateter dengan ujung coudé mungkin efektif. 

Jika jenis kateter ini tidak bisa juga, sistoskopi fleksibel atau penyisipan filiform dengan pemandu dan dilator yang secara progresif membuka saluran kemih mungkin diperlukan, prosedur ini biasanya harus dilakukan oleh ahli urologi. Dekompresi kandung kemih perkutan suprapubik dapat digunakan jika pendekatan transuretra tidak berhasil.

Terapi Farmakologis

Untuk obstruksi parsial dengan gejala yang mengganggu, semua antikolinergik dan simpatomimetik yang banyak tersedia dalam preparat bebas harus dihentikan, dan setiap infeksi harus diobati dengan antibiotik.

Untuk pasien dengan gejala obstruktif ringan hingga sedang, penghambat alfa-adrenergik misalnya terazosin, doxazosin, tamsulosin, alfuzosin dapat mengurangi masalah berkemih. 5 alfa-reduktase inhibitor dapat mengurangi ukuran prostat dan mengurangi masalah berkemih, terutama pada pasien dengan kelenjar yang lebih besar (> 30 mL). 

Banyak agen komplementer dan alternatif dipromosikan untuk pengobatan BPH, tetapi tidak satu pun, yang dipelajari secara menyeluruh, yang terbukti lebih manjur daripada plasebo.

Pembedahan

Pembedahan dilakukan ketika pasien tidak merespon terapi obat atau mengalami komplikasi seperti infeksi saluran kemih berulang, batu saluran kemih, disfungsi kandung kemih yang parah, atau pelebaran saluran bagian atas. 

Reseksi prostat transurethral (TURP) adalah prosedur standar yang bisa dilakukan. Pada prosedur ini fungsi ereksi dan kontinensia biasanya tidak terdampak, meskipun sekitar 5 sampai 10% pasien mengalami beberapa masalah pascaoperasi. 

Insiden disfungsi ereksi setelah TURP adalah antara 1-35%, dan insiden inkontinensia sekitar 1-3%. Namun, kemajuan teknis seperti penggunaan resectoscope bipolar, yang memungkinkan penggunaan irigasi salin, telah sangat meningkatkan keamanan TURP dengan mencegah hemolisis dan hiponatremia.

Sekitar 10% pria yang menjalani TURP membutuhkan prosedur yang diulang dalam 10 tahun karena prostat terus tumbuh. Berbagai teknik ablasi laser digunakan sebagai alternatif untuk TURP. 

Prostat yang lebih besar dengan ukuran  > 75 gram secara tradisional memerlukan pembedahan terbuka melalui pendekatan suprapubik atau retropubik, meskipun beberapa teknik yang lebih baru seperti enukleasi laser holmium pada prostat (HoLEP) dapat dilakukan secara transuretral. 

Semua metode bedah memerlukan drainase kateter pasca operasi selama 1 sampai 7 hari.

Asuhan Keperawatan (Askep) BPH Sdki Slki dan Siki

Diagnosa, Luaran dan Intervensi Keperawatan pada Askep BPH Pre Operasi

1. Retensi Urin b/d peningkatan tekanan uretra (D.0050)

Luaran: Eliminasi urine membaik (L.04034)

  • Sensasi berkemih meningkat
  • Desakan berkemih (urgensi) menurun
  • Berkemih tidak tuntas (hesistancy) menurun
  • Volume residu urin menurun
  • Urin menetes (dribbling) menurun
  • Nokturia menurun
  • Mengompol menurun
  • Enuresis menurun
  • Disuria menurun
  • Frekuensi BAK membaik
  • Karakteristik urin membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Kateterisasi urine (I.04148)

  • Periksa kondisi pasien (mis, kesadarn, tanda tanda vital, daerah perineal, distensi kandung kemih, inkontenesua urine, reflex berkemih)
  • Siapkan peralatan, bahan bahan dan ruangan tindakan
  • Siapkan pasien: bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben
  • Pasang sarung tangan
  • Bersihkan daerah perineal atau proposium dengan cairan NaCl atau aquadest
  • Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip aseptic
  • Sambungkan kateter urine dengan urine bag
  • Isi balon dengan dengan Nacl 0.9 % sesuai anjuran pabrik
  • Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di paha
  • Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari kandung kemih
  • Berikan label waktu pemasangan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine
  • Anjurkan menarik nafas saat insersi selang cateter

b. Manajemen cairan (I.03098) 

  • Monitor status hidrasi ( mis, frek nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
  • Monitor berat badan harian
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. Hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin , BUN)
  • Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)
  • Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
  • Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
  • Berikan cairan intravena bila perlu
  • Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu

2. Nyeri Akut b/d agen pencedera fisik (D.0077)

Luaran: Tingkat nyeri menurun (L.08066)

  • Keluhan nyeri menurun
  • Merigis menurun
  • Sikap protektif menurun
  • Gelisah dan kesulitan tidur menurun
  • Anoreksia, mual, muntah menurun
  • Ketegangan otot dan pupil dilatasi menurun
  • Pola napsa dan tekanan darah membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nyeri (I.08238)

  • Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • Identifikasi skala nyeri
  • Identifikasi respon nyeri non verbal
  • Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
  • Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
  • Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
  • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
  • Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
  • Monitor efek samping penggunaan analgetik
  • Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
  • Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
  • Fasilitasi istirahat dan tidur
  • Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
  • Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
  • Jelaskan strategi meredakan nyeri
  • Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
  • Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
  • Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
  • Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pemberian Analgetik (I.08243)

  • Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
  • Identifikasi riwayat alergi obat
  • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
  • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
  • Monitor efektifitas analgesik
  • Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
  • Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
  • Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
  • Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
  • Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
  • Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi

3. Ansietas b/d Krisis situasional / Kurang terpapar informasi (D.0080)

Luaran: Tingkat Ansietas menurun (L.09093)

  • Verbalisasi kebingungan dan khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
  • Perilaku gelisah dan tegang menurun
  • Palpitasi, tremor, dan pucat menurun
  • Konsentrasi dan pola tidur membaik
  • Orientasi membaik

Intervensi: Reduksi ansietas (I.09314)

  • Identifikasi saat tingkat ansietas berubah seperti Kondisi, waktu, dan stressor.
  • Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
  • Monitor tanda anxietas baik verbal dan non verbal
  • Ciptakan suasana  terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
  • Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
  • Pahami situasi yang membuat ansietas
  • Dengarkan dengan penuh perhatian
  • Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
  • Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
  • Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan datang
  • Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
  • Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis
  • Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
  • Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
  • Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
  • Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
  • Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
  • Latih teknik relaksasi

Diagnosa, Luaran dan Intervensi Keperawatan pada Askep BPH Post Operasi

1. Risiko Infeksi b/d Efek Prosedur Invasif (D. 0142)

Luaran: Tingkat Infeksi Menurun (L.14137)

  • Kebersihan tangan dan badan meningkat
  • Demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak menurun
  • Periode malaise menurun
  • Periode menggigil, letargi, dan ganggauan kognitif menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (I.14539)

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada daerah edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptik pada psien beresiko tinggi
  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
  • Ajarkan cara memeriksa luka
  • Kolaborasi pemberian antibiotiki jika perlu

2. Resiko ketidakseimbangan Cairan b/d Prosedur Pembedahan (D.0036).

Luaran: Keseimbangan Cairan Meningkat (L.03021)

  • Asupan cairan meningkat
  • Haluaran urin meningkat
  • Kelembaban membram mukosa meningkat
  • Tekanan darah membaik
  • Denyut nadi radiel membaik
  • Tekanan arteri rata-rata membaik

Intervensi Keperawatan: 

a. Manajemen Cairan (I.03098)

  • Monitor status hidrasi seperti  frekwensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah.
  • Monitor berat badan harian
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium Seperi  Hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin , BUN.
  • Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)
  • Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
  • Berikan  asupan cairan sesuai kebutuhan
  • Berikan cairan intravena bila perlu

b. Pemantauan Cairan (I.03121)

  • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
  • Monitor frekuensi nafas
  • Monitor tekanan darah
  • Monitor berat badan
  • Monitor waktu pengisian kapiler
  • Monitor elastisitas atau turgor kulit
  • Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
  • Monitor kadar albumin dan protein total
  • Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN)
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi tanda-tanda hypervolemia seperti  Dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat.
  • Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasi hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Discharge Planning

Dalam perencanaan pulang pada askep BPH, Pasien dan keluarga memerlukan edukasi dari perawat tentang bagaimana mengoptinalkan pemulihan. Beberapa hal yang penting untuk  diedukasi antara lain:

Edukasi Pasien

Anjurkan pasien tentang perlunya mempertahankan masukan cairan yang tinggi (setidaknya 2 L/hari) untuk memastikan keluaran urin yang adekuat. 

Ajarkan pasien untuk memantau haluaran urin selama 4 sampai 6 minggu setelah operasi untuk memastikan kecukupan volume eliminasi dikombinasikan dengan penurunan volume retensi.

Obat Obatan

Berikan instruksi tentang semua obat yang digunakan untuk mengendurkan otot polos kandung kemih atau untuk mengecilkan kelenjar prostat. Berikan instruksi tentang dosis, rute, tindakan, efek samping, dan potensi interaksi obat yang benar dan kapan harus memberitahukannya kepada dokter.

Pencegahan

Anjurkan pasien untuk segera melaporkan kesulitan berkemih kepada dokter. Jelaskan bahwa BPH dapat kambuh dan dia harus memberi tahu dokter jika gejala urgensi, frekuensi, kesulitan memulai aliran, retensi, nokturia, atau distensi kandung kemih berulang.

Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah seksual yang mungkin dialaminya atau pasangannya setelah operasi dengan konselor yang sesuai. Yakinkan pasien bahwa sesi dapat diatur oleh perawat atau dokter setiap kali ada indikasi. Biasanya, dokter menganjurkan agar pasien tidak melakukan hubungan seksual atau masturbasi selama beberapa minggu setelah prosedur invasif.

Referensi:

  • Ng M, Baradhi KM. 2021. Benign Prostatic Hyperplasia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/
  • Roehrborn C. G. 2005. Benign prostatic hyperplasia: an overview. Reviews in urology, 7 Suppl 9(Suppl 9), S3–S14.
  • Levi A Deters. 2021. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Med Scape. Emedicine. https://emedicine.medscape.com/article/437359-overview
  • Mayo Clinic. 2021. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/benign-prostatic-hyperplasia/symptoms-causes/syc-20370087
  • Andriole.G.L. 2020. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Washington University School of Medicine. MSD Manual Professional Version.
  • PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  • PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  • PPNI, 2019.  Standart I Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Zul Hendry
Zul Hendry Dosen Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Mataram