Widget HTML #1

Askep Apendisitis Dengan Pendekatan SDKI SLKI dan SIKI

Apendisitis adalah peradangan pada lapisan dalam dari usus buntu (umbai cacing) dan bisa menyebar ke bagian lainnya. Kondisi ini merupakan penyakit bedah yang umum dan mendesak dengan manifestasi yang beragam dan kadang mirip dengan sindrom klinis lainnya.  Tulisan Repro Note kali ini akan merangkum mengenai konsep medik dan Askep Apendisitis dengan pendekatan sdki slki dan siki.

Tujuan Penulisan:

  • Mengenal dan memahami tanda dan gejala umum apendisitis.
  • Mengetahui garis besar evaluasi pasien dengan apendisitis dan poin-poin penting yang harus dinilai pada pasien apendisitis, baik sebelum dan sesudah operasi
  • Menjelaskan pilihan pengobatan untuk pasien dengan apendisitis.
  • Menjelaskan pentingnya meningkatkan koordinasi perawatan di antara tim interprofesional baik dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan diagnosis dini, evaluasi, dan pemberian untuk pasien dengan apendisitis.
  • Merumuskan diagnosa keperawatan pada askep apendisitis
  • Mengembangkan dan implementasikan rencana asuhan keperawatan atau askep apendisitis
  • Melakukan evaluasi pelaksanaan askep apendisitis
Askep Apendisitis Dengan Pendekatan SDKI SLKI dan SIKI
Image by http://www.scientificanimations.com/ on wikimedia.org

Konsep Medik dan Askep Apendisitis

Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks atau usus buntu, disebabkan oeh penyumbatan yang diikuti oleh invasi bakteri pada dindingnya.

Apendiks atau usus buntu, juga kadang disebut umbai cacing  merupakan kantong kecil berbentuk jari yang menonjol dari usus besar area sekum yang terdapat pada  perut kuadran kanan bawah.  

Karena apendiks memiliki lumen yang kecil, maka apendiks rentan terhadap obstruksi oleh fekalit (zat seperti batu yang terbuat dari feses yang mengeras) dan selanjutnya dapat meradang dan kemudian terinfeksi.

Apendisitis adalah salah satu penyebab paling umum dari operasi perut akut, biasanya terjadi antara usia 5- 45 tahun namun dapat juga  terjadi pada usia berapa pun.Morbiditas penyakit ini cukup signifikan, dan meningkat jika terjadi keterlambatan diagnostik.

Anatomi Apendiks

Apendiks berada di lokasi retroperitoneal dan pada sebagian pasien dapat turun ke fossa iliaka, memiliki panjang rata-rata 8-10 cm  dengan kisaran variasi berkisar antara 2-20 cm. Apendiks mulai terlihat pada janin sejak memasuki bulan kelima dalam kandungan.

Apendiks terdapat di dalam peritoneum viseral, lapisan luarnya memanjang dan berasal dari taenia coli dengan lapisan otot interior melingkar. Taenia coli banyak terdapat di area posteromedial sekum  yang merupakan tempat dasar apendiks.

Arteri apendikularis terdapat di dalam lipatan mesenterika yang muncul dari perluasan peritoneum dari ileum terminal ke bagian medial sekum dan apendiks.  Drainase limfatik terjadi melalui nodus ileokolika di sepanjang arteri mesenterika superior ke nodus seliaka dan sisterna chyli.

Lapisan dalam apendiks menghasilkan sedikit mucus yang mengalir melalui bagia tengah apendiks yang terbuka dan masuk ke sekum. Dinding apendiks mengandung jaringan limfatik yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh.

Sama seperti bagian usus besar lainnya, dinding apendiks juga mengandung lapisan otot, tetapi lapisan otot ini kurang berkembang.

Tidak jelas apakah apendiks memiliki peran penting dalam tubuh, namun ada dugaan memiliki fungsi kekebalan. Sampai saat ini, tidak ada masalah kesehatan jangka panjang yang besar akibat pengangkatan usus buntu meskipun sedikit peningkatan pada beberapa penyakit telah dicatat, seperti penyakit Crohn.

Epidemiologi

Insiden apendisitis paling sering terjadi pada umur  5sampai 45 tahun, dengan usia rata-rata 28 tahun. Insidennya kira-kira 233/100.000 orang.

Laki-laki memiliki predisposisi yang sedikit lebih tinggi pada kejadian apendisitis akut dibandingkan dengan perempuan, masing-masing 8,6% dan 6,7% untuk pria, dan wanita.

Insiden apendisitis lebih rendah pada negara dengan budaya asupan serat makanan yang lebih tinggi. Serat makanan dapat menurunkan kekentalan feses dan menurunkan waktu transit usus sehingga mencegah pembentukan fekalit, yang merupakan predisposisi terjadinya obstruksi lumen apendiks.

Penyebab

Penyebab apendisitis biasanya adalah obstruksi atau sumbatan pada lumen apendiks. Obstruksi ini paling sering ditimbulkan oleh:

  • Hiperplasia limfoid sekunder seperti pada penyakit radang usus (IBD)
  • infeksi (lebih sering terjadi selama masa kanak-kanak dan dewasa muda)
  • Stasis tinja dan fekalit (lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut)
  • Parasit (terutama di negara-negara Timur)
  • Benda asing

Fekalit terbentuk ketika garam kalsium dan tinja mengeras dan berlapis di sekitar nidus di dalam apendiks. Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi antara lain penyakit Crohn, gastroenteritis, amoebiasis, infeksi pernapasan, campak, dan mononukleosis.

Patofisiologi

Patofisiologi apendisitis kemungkinan berasal dari obstruksi lumen apendiks dengan penyebab obstruksi mungkin berbeda pada kelompok usia yang berbeda. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi (parasit), fekalit, atau tumor baik bersifat jinak atau ganas.

Terlepas dari etiologi, obstruksi diyakini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen. Peningkatan tersebut terkait dengan sekresi terus menerus cairan dan lendir dari mukosa dan stagnasi yang terjadi.

Pada saat yang sama, bakteri usus di dalam apendiks berkembang biak, menyebabkan migrasi  sel darah putih dan pembentukan abses sehingga makin meningkatkan tekanan intraluminal. Organisme yang sering menginfeksi adalah Escherichia coli, Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Pseudomonas.

Faktor hiperplasia limfoid juga sangat penting, hal ini menyebabkan peradangan, iskemia lokal, perforasi, dan pembentukan abses serta perforasi  yang berakibat timbulnya peritonitis.

Jika obstruksi apendiks berlanjut, tekanan intraluminal akhirnya naik di atas vena apendiks, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena. Akibatnya bisa terjadi iskemia pada dinding apendiks, mengakibatkan hilangnya integritas epitel dan memungkinkan invasi bakteri menjalar ke dinding apendiks.

Dalam beberapa jam, kondisi lokal ini dapat memburuk karena trombosis arteri dan vena apendikularis, yang menyebabkan perforasi dan gangren apendiks. Saat proses ini berlanjut, abses periappendicular atau peritonitis dapat terjadi.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala apendisitis biasanya muncul sebagai nyeri perut umum atau periumbilikal yang kemudian terlokalisasi ke kuadran kanan bawah.

Saat peradangan apendiks menjadi lebih parah dan peritoneum parietal yang berdekatan teriritasi, rasa sakit menjadi lebih terlokalisasi ke kuadran kanan bawah sekitar 2/3 jarak umbilikus ke SIAS (titik McBrney). Nyeri juga mungkin  disertai dengan salah satu gejala berikut:

  • Nafsu makan berkurang
  • Generalisasi malaise
  • Frekuensi atau urgensi berkemih
  • Temuan pemeriksaan fisik seringkali tidak kentara, terutama pada apendisitis dini.

Saat peradangan berlanjut, tanda-tanda inflamasi peritoneum juga berkembangseperti:

  • Nyeri lepas tekan meningkat (rebound tenderness)
  • Nyeri kuadran kanan bawah ditimbulkan oleh palpasi kuadran kiri bawah
  • Peningkatan nyeri perut dengan batuk atau gerakan
  • Perut kaku dan perilaku memproteksi area nyeri yang tidak disengaja

Perjalanan waktu gejala bervariasi tetapi biasanya berkembang dari apendisitis dini pada 12 hingga 24 jam menjadi perforasi seteal melewati waktu lebih dari 48 jam.

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik lengkap dan temuan laboratorium dan pemeriksaan pencitraan.

Pemeriksaan Darah Lengkap: Hitung sel darah lengkap menunjukkan peningkatan jumlah WBC, dengan peningkatan neutrofil.

Pemeriksaan pencitraan: Rontgen x-ray perut, Pemeriksaan ultrasound, dan CT scan dapat mengungkapkan kepadatan kuadran kanan bawah atau distensi lokal dari usus.

Pemeriksaan kehamilan: Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan untuk wanita usia subur untuk menyingkirkan kehamilan ektopik dan sebelum rontgen diperoleh.

Laparoskopi: Laparoskopi diagnostik dapat digunakan untuk menyingkirkan apendisitis akut pada kasus samar-samar.

C-reaktif Protein: Protein yang diproduksi oleh hati ketika infeksi bakteri terjadi dan meningkat dengan cepat dalam 12 jam pertama.

Prognosis

Apendisitis akut merupakan penyebab dilakukannya operasi perut darurat yang paling sering. Apendiktomi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan untuk menangani apendisitis  memiliki tingkat komplikasi 4-15% mencakup ketidaknyamanan rawat inap dan pembedahan.

Oleh karena itu, pada kondisi apendisitis sangat penting  membuat diagnosis yang akurat sedini mungkin. Jika Diagnosis dan pengobatan tertunda bisa menyebabkan peningkatan  mortalitas dan morbiditas.

Tingkat kematian keseluruhan pada apendisitis adalah  0,2-0,8%.  Kematian ini lebih disebabkan oleh komplikasi penyakit dan bukan  intervensi bedah yang dilakukan. Angka kematian pada anak berkisar antara 0,1% sampai 1%,  pada pasien lansia yang berusia diatas 70 tahun, angkanya meningkat di atas 20%, terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapeutik.

Perforasi apendiks juga terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan apendisitis nonperforasi. Risiko kematian apendisitis akut tanpa  nekrosis jaringan kurang dari 0,1%, tetapi risiko meningkat menjadi 0,6% pada apendisitis yang sudah mengalami nekrosis.

Tingkat perforasi bervariasi dari 16% sampai 40%, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada kelompok usia muda (40-57%) dan pada pasien lansia diatasi 50 tahun sekitar 55-70%. Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan apendisitis, dan infeksi luka pasca operasi merupakan hampir sepertiga dari morbiditas terkait.

Komplikasi

Jika radang usus buntu tidak diobati, komplikasi bisa terjadi. Komplikasi apendisitis yang paling sering timbul  adalah perforasi apendiks.

Perforasi apendiks Ini adalah komplikasi utama yang dapat menyebabkan peritonitis, pembentukan abses, atau pylephlebitis portal.

Perforasi umumnya terjadi 24 jam setelah timbulnya nyeri. Gejalanya meliputi demam 37,7⁰C atau lebih tinggi, tanda-tanda sepsis, dan nyeri tekan perut yang berlanjut.

Penatalaksanaan

Sampai saat ini, pengobatan apendisitis yang paling efektif adalah adalah pengangkatan apendiks (apendiktomi) baik dengan metode terbuka atau laparoskopi.  

Penundaan pengobatan akan meningkatkan mortalitas. Ahli bedah biasanya dapat mengangkat usus buntu bahkan jika sudah terjadi perforasi.

Kontraindikasi apendektomi adalah penyakit radang usus yang melibatkan sekum. Namun, dalam kasus ileitis terminal dan sekum normal, apendiks  harus tetap diangkat.

Apendiktomi harus didahului dengan pemberian antibiotikseperti Sefalosporin generasi ketiga. Jika pembedahan tidak mungkin dilakukan, pemberian antibiotik dapat dilakukan untuk  meningkatkan tingkat kelangsungan hidup.

Meskipun beberapa penelitian manajemen nonoperative apendisitis yaitu menggunakan antibiotik saja telah menunjukkan tingkat resolusi yang tinggi selama rawat inap awal, sejumlah besar pasien mengalami kekambuhan dan memerlukan operasi apendiktomi selama tahun berikutnya. Jadi apendiktomi masih lebih direkomendasikan, terutama jika apendikolit terlihat pada hasil CT Scan.

Ketika massa inflamasi besar ditemukan melibatkan apendiks, ileum terminal, dan sekum, reseksi seluruh massa dan ileocolostomy lebih  direkomendasikan.

Pada kasus lanjut di mana abses perikolik telah terbentuk, abses dikeringkan baik dengan kateter perkutan yang dipandu ultrasound atau dengan operasi terbuka dengan apendektomi untuk dilakukan di kemudian hari.

Asuhan Keperawatan  (Askep Apendisitis) SDKI SLKI dan SIKI

Diagnosa, Luaran dan Intervensi Pada Askep Apendisitis Pre Operasi

1. Nyeri Akut b/d agen pencedera Fisiologis /Inflamasi (D.0077)

Luaran: Tingkat nyeri menurun (L.08066)

  • Keluhan nyeri menurun
  • Merigis menurun
  • Sikap protektif menurun
  • Gelisah dan kesulitan tidur menurun
  • Anoreksia, mual, muntah menurun
  • Ketegangan otot dan pupil dilatasi menurun
  • Pola napsa dan tekanan darah membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nyeri (I.08238)

  • Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • Identifikasi skala nyeri
  • Identifikasi respon nyeri non verbal
  • Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
  • Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
  • Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
  • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
  • Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
  • Monitor efek samping penggunaan analgetik
  • Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
  • Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
  • Fasilitasi istirahat dan tidur
  • Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
  • Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
  • Jelaskan strategi meredakan nyeri
  • Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
  • Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
  • Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
  • Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pemberian Analgetik (I.08243)

  • Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
  • Identifikasi riwayat alergi obat
  • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
  • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
  • Monitor efektifitas analgesik
  • Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
  • Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
  • Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
  • Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
  • Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
  • Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi

2. Ansietas b/d Krisis situasional / Kurang terpapar informasi (D.0080)

Luaran: Tingkat Ansietas menurun (L.09093)

  • Verbalisasi kebingungan dan khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
  • Perilaku gelisah dan tegang menurun
  • Palpitasi, tremor, dan pucat menurun
  • Konsentrasi dan pola tidur membaik
  • Orientasi membaik

Intervensi: Reduksi ansietas (I.09314)

  • Identifikasi saat tingkat ansietas berubah seperti Kondisi, waktu, dan stressor.
  • Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
  • Monitor tanda anxietas baik verbal dan non verbal
  • Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
  • Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
  • Pahami situasi yang membuat ansietas
  • Dengarkan dengan penuh perhatian
  • Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
  • Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
  • Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
  • Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
  • Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis
  • Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
  • Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
  • Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
  • Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
  • Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
  • Latih teknik relaksasi

3. Risiko Disfungsi Motilitas Gastrointestinal b/d Infeksi Gastrointestinal (D.0033)

Diagnosa, Luaran dan Intervensi Keperawatan Post Operasi

1. Risiko Infeksi b/d Efek Prosedur Invasif (D. 0142)

Luaran: Tingkat Infeksi Menurun (L.14137)

  • Kebersihan tangan dan badan meningkat
  • Demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak menurun
  • Periode malaise menurun
  • Periode menggigil, letargi, dan ganggauan kognitif menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (I.14539)

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada daerah edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptik pada psien beresiko tinggi
  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
  • Ajarkan cara memeriksa luka
  • Kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu

2. Resiko ketidakseimbangan Cairan b/d Prosedur Pembedahan (D.0036).

Luaran: Keseimbangan Cairan Meningkat (L.03021)

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Cairan (I.03098)

  • Monitor status hidrasi seperti frekwensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah.
  • Monitor berat badan harian
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium Seperi Hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin , BUN.
  • Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)
  • Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
  • Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
  • Berikan cairan intravena bila perlu

b. Pemantauan Cairan (I.03121)

  • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
  • Monitor frekuensi nafas
  • Monitor tekanan darah
  • Monitor berat badan
  • Monitor waktu pengisian kapiler
  • Monitor elastisitas atau turgor kulit
  • Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
  • Monitor kadar albumin dan protein total
  • Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN)
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi tanda-tanda hypervolemia seperti Dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat.
  • Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasi hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

3. Risiko Defisit Nutrisi b/d ketidakmampuan mencerna makanan (D.0032)

Luaran: Status Nutrisi membaik (L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
  • Pengetahuan tentang pilihan makanan dan minuman yang sehat meningkat
  • Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
  • Perasaan cepat kenyang menurun
  • Nyeri abdomen menurun
  • Berat badan dan Indeks massa tubuh (IMT) membaik
  • Frekuensi dan nafsu makan membaik
  • Tebal lipatan kulit trisep dan membran mukosa membaik
Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen nutrisi (I.03119)

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
  • Anjurkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan
  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

4. Risiko Disfungsi Motilitas Gastrointestinal b/d Pembedahan Abdomen (D.033)

Luaran: Motilitas gastrointestinal membaik (L.03023)

  • Nyeri dan kram abdomen menurun
  • Mual muntah dan regurgitasi menurun
  • Distensi abdomen menurun
  • Suara peristaltik membaik
  • Pengosongan lambung membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Edukasi Diet

  • Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga menerima informasi
  • Identifikasi tingkat pengetahuan saat ini
  • Identifikasi kebiasaan pola makan saat ini dan masa lalu
  • Identifikasi kebiasaan pola makan saat ini dan masa lalu
  • Identifikasi persepsi pasien dan keluarga tentang diet yang diprogramkan
  • Identifikasi keterbatasan finansial untuk menyediakan makanan
  • Persiapkan materi, media, dan alat peraga
  • Jadwalkan waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan kesehatan
  • Berikan kesempatan pasien dan keluarga bertanya
  • Sediakan rencana makan tertulis, jika perlu
  • Jelaskan tujuan kepatuhan diet terhadap kesehatan
  • Informasikan makanan yang diperbolehkan dan dilarang
  • Informasikan kemungkinan interaksi obat dan makanan, jika perlu
  • Anjurkan mempertahankan posisi semi fowler (30-45 derajat ) 20-30 menit setelah makan
  • Anjurkan mengganti bahan makanan sesuai diet yang diprogramkan
  • Anjurkan melakukan olahraga sesuai toleransi
  • Ajarkan cara membaca label dan memilih makanan yang sesuai
  • Ajarkan cara merencanakan makanan yang sesuai program
  • Rekomendasiakn resep makanan yang sesuai dengan diet, jika perlu
  • Rujuk pada ahli gizi dan setakan keluarga, jika perlu

  

Referensi:

  1. Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. 2021. Appendicitis (Nursing). Treasure Island (FL). StatPearls https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK568712/
  2. Sandy Craig. 2018. Appendicitis. Med Scape. Emedicine. https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
  3. Parswa Ansari. 2021. Appendicitis. Hofstra Northwell-Lenox Hill Hospital, New York. MSD Manual Professional Version.
  4. Jay W Marks. 2020. Appendicitis Symptoms, Treatment, and Surgery. Medicine Net. https://www.medicinenet.com/appendicitis/article.htm
  5. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  6. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  7. PPNI, 2019.  Standart I Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Zul Hendry
Zul Hendry Dosen Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Mataram