Widget HTML #1

Askep GERD Pendekatan Sdki Slki Siki

GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) adalah suatu kondisi di mana isi lambung yang mengandung asam mengalir kembali ke kerongkongan dan dapat menimbulkan iritasi. Refluks terjadi karena katup atau sfingter esofagus bagian bawah tidak tertutup dengan baik. Pada tulisan ini .Repro Note akan merangkum tentang konsep penyakit dan askep GERD menggunakan pendekatan Sdki Slki dan Siki.

Konsep Penyakit Dan Askep GERD Sdki Slki Siki
Image by BruceBlaus on Wikimedia.org

Konsep Penyakit Dan Askep GERD 

Pendahuluan

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gangguan pencernaan yang umum terjadi akibat refluks isi lambung ke kerongkongan. Diagnosis GERD biasanya didasarkan pada gejala klasik dan respons aliran balik asam lambung tersebut.

GERD disebabkan oleh beberapa mekanisme berbeda yang dapat bersifat intrinsik, struktural, atau keduanya, yang menyebabkan gangguan sfingter esofagogastrik yang mengakibatkan paparan isi lambung yang bersifat asam masuk ke esofagus. 

Penderita GERD dapat menunjukkan berbagai gejala, baik yang khas maupun yang tidak khas. Gejala khas antara lain nyeri (heartburn), regurgitasi, dan disfagia. Gejala atipikal atau tidak khas meliputi nyeri dada nonkardiak, asma, pneumonia, suara serak, dan aspirasi. 

Pasien biasanya memiliki banyak episode gejala refluks harian seperti pirosis, rasa asam di mulut, batuk atau aspirasi malam hari, pneumonia atau pneumonitis, bronkospasme, radang tenggorokan, dan perubahan suara termasuk suara serak. 

Berdasarkan tampilan endoskopik dan histopatologis, GERD diklasifikasikan menjadi tiga subtipe yang berbeda yaitu non-erosive reflux disease (NERD), erosive esophagitis (EE), dan Barrett esophagus (BE). 

NERD adalah tipe paling umum yang terlihat pada 60-70% pasien diikuti oleh esofagitis erosif sekitar 30% dan yang paling sedikit adalah BE yaitu sekitar 6-12% pasien. 

Penatalaksanaan GERD adalah modifikasi gaya hidup dan pengontrolan sekresi lambung menggunakan obat seperti penghambat pompa proton (PPI) serta tindakan bedah. 

GERD merupakan masalah kesehatan yang penting karena berhubungan dengan penurunan kualitas hidup dan morbiditas yang signifikan. Keberhasilan pengobatan gejala GERD telah dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup yang signifikan antara lain penurunan nyeri fisik, peningkatan vitalitas, fungsi fisik dan sosial, dan kesejahteraan emosional. 

Epidemiologi

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah penyakit umum yang dapat menyebabkan gejala yang mengganggu dan berdampak signifikan pada kualitas hidup. GERD merupakan gangguan kronis dan sangat lazim terjadi pada masyarakat secara umum. 

Beberapa tinjauan sistematis terbaru menunjukkan bahwa prevalensi GERD adalah 18,1–27,8% di Amerika Utara, 8,8–25,9% di Eropa, 2,5–7,8% di Asia Timur, 8,7–33,1% di Timur Tengah, 11,6% di Australia, dan 23,0%. % di Amerika Selatan.

Peningkatan prevalensi GERD mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin laki-laki, ras, asupan analgesik, konsumsi jenis makanan dan minuman tertentu, penurunan prevalensi infeksi Helicobacter pylori, kebiasaan merokok, riwayat keluarga dengan GERD, indeks massa tubuh (BMI) yang tinggi, dan aktivitas fisik yang terbatas. 

Penuaan secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala GERD. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa efek penuaan pada sifat mekanofisik percabangan esofagus dan esofagogastrik pasien dengan GERD dapat menjelaskan efek usia.

Peristaltik esofagus dapat menurun, paparan asam esofagus dan gangguan anatomis cabang esofagogastrik dapat meningkat seiring bertambahnya usia. Dalam sebuah meta-analisis didapatkan bahwa prevalensi gejala GERD lebih tinggi pada subyek berusia ≥50 tahun. 

Johnson dan Fennerty menganalisis 11.945 pasien dengan esofagitis erosif yang terdaftar dalam 5 uji klinis prospektif, acak, terkontrol. Para penulis menilai hubungan antara usia, gejala nyeri ulu hati yang parah, dan esofagitis erosif yang parah. 

Penelitian ini menunjukkan bahwa esofagitis erosif parah menjadi lebih umum dengan bertambahnya usia. Hanya 12% pasien berusia <21 tahun yang menunjukkan esofagitis erosif parah dibandingkan dengan 37% pada mereka yang berusia >70 tahun. 

Prevalensi GERD sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria. Sebuah studi meta-analisis oleh Eusebi et al. memperkirakan kumpulan prevalensi gejala GERD sedikit lebih tinggi pada wanita yaitu 16,7% dibandingkan dengan pria 15,4% . 

Etiologi

Sampai saat ini tidak ada penyebab pasti terjadinya GERD belum diketahui. Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi dan terlibat dalam patogenesis GERD. Kelainan motorik seperti dismotilitas esofagus yang menyebabkan gangguan klirens asam esofagus, gangguan tonus sfingter esofagus bagian bawah, relaksasi sfingter, dan pengosongan lambung yang tertunda dikategorikan sebagai penyebab GERD. 

Faktor anatomi seperti adanya hernia hiatal atau peningkatan tekanan intra-abdomen, seperti yang terlihat pada obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko GERD. Sebuah meta-analisis oleh Hampel H et al. menyimpulkan bahwa obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala GERD, esofagitis erosif, dan karsinoma esofagus.

Penelitian GERD oleh Malfertheiner, et al. mengevaluasi faktor prediktif untuk penyakit refluks erosif pada lebih dari 6000 pasien GERD dan mencatat bahwa rasio odds untuk penyakit erosif meningkat terkait dengan indeks massa tubuh. 

Beberapa faktor risiko lain telah dikaitkan secara independen dengan perkembangan gejala GERD yang meliputi: Usia ≥50 tahun, status sosial ekonomi rendah, penggunaan tembakau, konsumsi alkohol berlebihan, gangguan jaringan ikat, kehamilan, supinasi postprandial, dan obat-obatan seperti benzodiazepin, NSAID atau aspirin, nitroglycerin, albuterol, antidepresan, dan glukagon.

Patofisiologi

Patofisiologi GERD bersifat multifaktorial dan terkait dengan berbagai faktor mekanisme yang terlibat, seperti pengaruh sfingter esofagus bagian bawah, adanya hernia hiatal, pertahanan mukosa esofagus terhadap refluks dan motilitas esofagus.

Gangguan Fungsi sfingter esofagus bagian bawah

Sfingter esofagus adalah segmen otot polos yang terletak di persimpangan esophagogastric dan bersama dengan diafragma crural membentuk penghalang fisiologis, yang mencegah kembalinya isi lambung yang bersifat asam ke esofagus. 

Pada individu yang sehat, sfingter mempertahankan zona tekanan tinggi di atas tekanan intragastrik yang terjadi secara fisiologis sebagai respons terhadap makanan dan memfasilitasi pergerakan makanan ke dalam lambung. 

Pasien dengan gejala GERD mungkin sering mengalami relaksasi sfingter transien yang tidak dipicu oleh oleh proses menelan sehingga memungkinkan refluks isi lambung ke kerongkongan. 

Mekanisme pasti terjadinya peningkatan relaksasi transien sfingter ini tidak diketahui, tetapi kondisi ini bertanggung jawab atas 48-73% gejala GERD. Diperkirakan peningkatan relaksasi sfingter ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penggunaan alkohol, kebiasaan merokok, kafein, kehamilan, obat-obatan tertentu seperti nitrat, dan obat penghambat saluran kalsium.

Hernia Hiatal

Hernia hiatal sering dikaitkan dengan GERD karena menghambat fungsi sfingter. Pasien dengan hernia hiatal besar tercatat memiliki sfingter esofagus bagian bawah lebih pendek dan lebih lemah yang mengakibatkan peningkatan episode refluks. 

Juga ditunjukkan bahwa derajat esofagitis lebih buruk pada pasien dengan hernia hiatus besar. Sebuah penelitian yang mengevaluasi hubungan antara hernia hiatus dan refluks esofagitis oleh Ott et al. menunjukkan adanya hernia hiatal pada 94% pasien dengan refluks esofagitis.

Gangguan pertahanan mukosa esofagus terhadap refluks lambung

Mukosa esofagus terdiri dari berbagai konstituen struktural dan fungsional yang berfungsi sebagai sawar pertahanan pelindung terhadap zat luminal. Penghalang defensif ini dapat ditembus oleh paparan refluks yang berkepanjangan, yang terdiri dari kandungan asam lambung yang menyebabkan kerusakan mukosa. 

Selain itu teridentifikasi bahwa pengosongan lambung yang tertunda berkontribusi pada gejala GERD karena distensi lambung dan peningkatan paparan refluks lambung.

Peristaltik esofagus yang rusak

Pada kondisi normal, asam lambung yang mencapai kerongkongan akan dibersihkan oleh peristaltik esofagus dan dinetralkan oleh bikarbonat saliva. Dalam penelitian prospektif oleh Diener et al, 21% pasien dengan GERD tercatat mengalami gangguan peristaltik esofagus yang menyebabkan penurunan kemampuan pembersihan refluks lambung yang mengakibatkan gejala refluks parah dan kerusakan mukosa.

Tanda dan Gejala

Gejala GERD klasik yang paling umum adalah nyeri ulu hati (Heartburn), yaitu rasa panas di dada, menjalar ke arah mulut akibat naiknya asam lambung ke kerongkongan. Nyeri juga sering dikaitkan dengan rasa asam di bagian belakang mulut dengan atau tanpa regurgitasi refluks.

GERD adalah penyebab umum timbulnya nyeri dada non-jantung. Penting untuk membedakan antara penyebab yang mendasari nyeri dada karena potensi implikasi serius seperti nyeri dada pada penyakit jantung.

Gejala GERD yang khas meliputi:

  • Nyeri ulu hati, dada terasa panas (heartburn)
  • Regurgitasi
  • Disfagia

Refluks abnormal dapat menyebabkan gejala atipikal ekstra esofagus seperti:

  • Batuk dan atau mengi
  • Suara serak, nyeri tenggorokan
  • Otitis media
  • Nyeri dada nonkardiak
  • Erosi enamel atau manifestasi gigi lainnya

Pemeriksaan Penunjang

GERD biasanya bisa didiagnosis secara klinis dengan gejala klasik dan respons terhadap penekan asam. Heartburn dengan atau tanpa regurgitasi biasanya cukup untuk mencurigai GERD, terutama ketika gejala ini lebih buruk setelah makan atau ketika berbaring.

Inisiasi pengobatan dengan penghambat reseptor histamin tipe 2 (H2) atau penghambat pompa proton (PPI) lalu diikuti dengan penghentian gejala dianggap diagnostik. Pada pasien yang menanggapi pengobatan empiris, dengan tidak adanya tanda atau gejala lain, maka pemeriksaan lebih lanjut tidak diperlukan.

Pemeriksaan tambahan mungkin diperlukan untuk mengevaluasi penyebab lain dari gejala dan untuk menyaring kemungkinan komplikasi GERD. Penting untuk dicatat bahwa tingkat keparahan gejala refluks tidak selalu berkorelasi dengan tingkat kerusakan mukosa.

Endoscopy/Esofagogastroduodenoskopi (EGD)

Pemeriksaan diagnostik yang paling banyak digunakan untuk evaluasi GERD dan kemungkinan komplikasinya adalah endoskopi gastrointestinal bagian atas, atau esophagogastroduodenoscopy (EGD). 

Manfaat utama dari endoskopi adalah visualisasi langsung dari mukosa esofagus. Ini membantu diagnosis komplikasi GERD seperti esofagitis, striktur, dan esofagus Barrett. Salah satu sistem penilaian endoskopi keparahan GERD 

Pasien dengan suspek penyakit arteri koroner yang menunjukkan gejala GERD harus menjalani evaluasi untuk penyakit kardiovaskular yang mendasarinya. Sebaliknya, pasien dengan nyeri dada nonkardiak diduga karena GERD sebaiknya dilakukan penilaian diagnostik dengan pemantauan endoscopy dan pH sebelum memulai PPI. 

Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi seperti radiografi barium dapat mendeteksi esofagitis sedang hingga berat, striktur esofagus, hernia hiatal, dan tumor. Namun, peran pemeriksaan ini dalam evaluasi GERD terbatas dan tidak dilakukan untuk mendiagnosis GERD .

Pemantauan pH Ambulatory

Pemantauan pH ambulatory dianggap sebagai standar emas dalam diagnosis refluks asam. Pemantauan pH ambulatory memungkinkan deteksi objektif kejadian refluks asam dan korelasi dengan gejala. 

Pemantauan ini juga memiliki manfaat mendeteksi perubahan dinamis pada pH saat tegak dan telentang. Selain itu, probe pH mencatat jumlah kejadian refluks, tingkat refluks proksimal, serta durasi kejadian refluks. Korelasi gejala juga dicatat antara refluks dan gejala. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar terapi PPI. 

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan GERD adalah untuk mengatasi gejala dan mencegah komplikasi seperti esofagitis, dan adenokarsinoma esofagus. jenis penatalaksanaan mencakup modifikasi gaya hidup, manajemen medis dengan antasida dan agen antisecretory, terapi bedah, dan terapi endoluminal.

Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya hidup dianggap sebagai landasan dari setiap terapi GERD. Konseling harus diberikan tentang pentingnya penurunan berat badan mengingat bahwa obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan GERD, dan penelitian telah menunjukkan bahwa kenaikan berat badan dikaitkan dengan perkembangan gejala GERD. 

Individu juga harus diberi konseling tentang menghindari makan setidaknya 3 jam sebelum tidur dan modifikasi diet dengan mengurangi cokelat, kafein, makanan pedas, jeruk, dan minuman berkarbonasi.

Terapi Medis

Terapi medis diindikasikan pada pasien yang tidak menanggapi perubahan gaya hidup. Terapi medis terdiri dari agen antisekresi antasida seperti antagonis reseptor histamin (H2) (H2RAs) atau terapi PPI dan agen prokinetik. 

Terapi bedah

Pasien dengan GERD yang refrakter secara medis, ketidakpatuhan, atau mengalami efek samping dengan terapi medis, hernia hiatal besar, atau pasien yang ingin menghentikan perawatan medis jangka panjang dapat dipertimbangkan untuk manajemen bedah. 

Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki

1. Nyeri Akut (Sdki D.0077)

Luaran: Tingkat  Nyeri menurun (Slki L.08066)

  • Keluhan nyeri menurun
  • Meringis menurun
  • Sikap protektif menurun
  • Gelisah menurun
  • Kesulitan tidur menurun
  • Frekuensi nadi membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nyeri (Sdki I.08238)

    Observasi

  • Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • Identifikasi skala nyeri
  • Identifikasi respon nyeri non verbal
  • Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
  • Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
  • Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
  • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
  • Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
  • Monitor efek samping penggunaan analgetik

    Terapeutik

  • Berikan Teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
  • Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
  • Fasilitasi istirahat dan tidur
  • Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

    Edukasi

  • Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
  • Jelaskan strategi meredakan nyeri
  • Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
  • Ajarkan Teknik Non farmakologis untuk mengurangi nyeri

2. Nausea (Sdki D.0076)

Luaran: Tingkat Nausea menurun (Slki L.08065)

  • Nafsu makan meningkat
  • Keluhan mual menurun
  • Perasaan ingin muntah menurun
  • Perasaan asam dimulut menurun
  • Sensasi panas menurun
  • Jumlah saliva menurun
  • Pucat memmbaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Mual (Siki I.03117)

    Observasi

  • Identifikasi pengalaman mual
  • Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan (mis: bayi, anak-anak, dan mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif)
  • Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup (mis: nafsu makan, aktivitas, kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur)
  • Identifikasi faktor penyebab mual (mis: pengobatan dan prosedur)
  • Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual pada kehamilan)
  • Monitor mual (mis: frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)

    Terapeutik

  • Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis: bau tidak sedap, suara, dan rangsangan visual yang tidak menyenangkan)
  • Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis: kecemasan, ketakutan, kelelahan)
  • Berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik
  • Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau, dan tidak berwarna, jika perlu

    Edukasi

  • Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
  • Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika merangsang mual
  • Anjurkan makanan tinggi karbohidrat, dan rendah lemak
  • Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis untuk mengatasi mual (mis: biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur)

    Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian obat antiemetik, jika perlu

b. Manajemen Muntah (Siki I.03118)

    Observasi

  • Identifikasi pengalaman muntah
  • Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan (mis: bayi, anak-anak, dan mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif)
  • Identifikasi dampak muntah terhadap kualitas hidup (mis: nafsu makan, aktivitas, kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur)
  • Identifikasi faktor penyebab muntah (mis: pengobatan dan prosedur)
  • Identifikasi antiemetik untuk mencegah muntah (kecuali muntah pada kehamilan)
  • Monitor muntah (mis: frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)

    Terapeutik

  • Kontrol lingkungan penyebab muntah (mis: bau tidak sedap, suara, dan stimulasi visual yang tidak menyenangkan)
  • Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab muntah (mis: kecemasan, ketakutan)
  • Atur posisi untuk mencegah aspirasi
  • Pertahankan kepatenan jalan napas
  • Bersihkan mulut dan hidung
  • Berikan dukungan fisik saat muntah (mis: membantu membungkuk atau menundukkan kepala)
  • Berikan kenyamanan selama muntah (mis: kompres dingin di dahi, atau sediakan pakaian kering dan bersih)
  • Berikan cairan yang tidak mengandung karbonasi minimal 30 menit setelah muntah

    Edukasi

  • Anjurkan membawa kantong plastik untuk menampung muntah
  • Anjurkan memperbanyak istirahat
  • Ajarkan penggunaan Teknik non farmakologis untuk mengelola muntah (mis: biofeedback, hipnosis, relaksasi, terapi musik, akupresur)

    Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian obat antiemetik, jika perlu

3. Risiko Defisit Nutrisi (Sdki D.0032)

Luaran: Status Nutrisi Membaik (Slki L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Berat badan membaik
  • Indeks massa tubuh (IMT) membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Gangguan Makan (Siki I.03111)

    Observasi

  • Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori

    Terapeutik

  • Timbang berat badan secara rutin
  • Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas fisik (termasuk olahraga) yang sesuai
  • Lakukan kontrak perilaku (mis: target berat badan, tanggung jawab perilaku)
  • Damping ke kamar mandi untuk pengamatan perilaku memuntahkan Kembali makanan
  • Berikan penguatan positif terhadap keberhasilan target dan perubahan perilaku
  • Berikan konsekuensi jika tidak mencapai target sesuai kontrak
  • Rencanakan program pengobatan untuk perawatan di rumah (mis: medis, konseling)

    Edukasi

  • Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan situasi pemicu pengeluaran makanan (mis: pengeluaran yang disengaja, muntah, aktivitas berlebihan)
  • Ajarkan pengaturan diet yang tepat
  • Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku makan

    Kolaborasi

  • Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan

b. Manajemen Nutrisi (Siki I.03119)

    Observasi

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

    Terapeutik

  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi

    Edukasi

  • Ajarkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan

    Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

Referensi:

  1. Antunes C, Aleem A, Curtis SA. 2022. Gastroesophageal Reflux Disease. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 
  2. Clarrett DM & Hachem C. 2018. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Mo Med. May-Jun;115(3):214-218. PMID: 30228725; PMCID: PMC6140167.
  3. Marco G Patti MD. 2021. Gastroesophageal Reflux Disease. Medscape Emedicine
  4. Yamasaki T, et al. 2018. The Changing Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Disease: Are Patients Getting Younger?.  J Neurogastroenterol Motil.
  5. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  6. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  7. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat