Widget HTML #1

Askep Faringitis Sdki Slki Siki

Faringitis adalah peradangan pada selaput lendir orofaring. Dalam kebanyakan kasus, penyebabnya adalah infeksi, baik bakteri maupun virus. Penyebab lain yang kurang umum dari faringitis termasuk alergi, trauma, kanker, refluks, dan racun tertentu.

Askep Faringitis Sdki
Image by Braegel on wikimedia.org

Pendahuluan

Faringitis didefinisikan sebagai infeksi atau peradangan pada faring yang disebabkan oleh infeksi, alergi, toksin atau penyebab lainnya.  Infeksi faring biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri, namun sebagian besar kasus berasal dari virus. 

Faringitis infeksi biasanya bersifat relatif ringan juga dapat sembuh dengan sendirinya. Namun cukup  mengkhawatirkan karena komplikasi supuratif dan non supuratif. 

Agen bakteri penyebab faringitis yang paling signifikan pada orang dewasa dan anak-anak adalah infeksi Streptococcus pyogenes.

Bakteri lain yang bisa menyebabkan faringitis adalah mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan Arcanobacterium haemolyticus, namun insidennya relatif jarang terjadi.. Antibiotik yang menutupi patogen atipikal tidak boleh digunakan secara rutin untuk mengobati faringitis. 

Hal yang perlu diperhatikan pada pasien dengan faringitis adalah untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi yang lebih serius seperti epiglottitis atau abses peritonsilar  dan untuk mendiagnosis infeksi streptokokus beta-hemolitik grup A (GABHS). Kemungkinan Obstruksi jalan napas juga sangat penting untuk diperhatikan dalam merawat faringitis.

Epidemiologi

Faringitis adalah penyakit umum yang terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Dalam penelitian keluarga prospektif, 16% orang dewasa dan 41% anak-anak melaporkan sakit tenggorokan selama jangka waktu 1 tahun. 

Tingkat kejadian yang ditangani secara medis pada anak-anak diperkirakan 15-25 kasus per 1000 anak per tahun. Survei juga mendokumentasikan bahwa 6,2-9,7 juta kunjungan ke dokter perawatan primer, klinik, dan unit gawat darurat setiap tahun untuk anak-anak dengan faringitis dan lebih dari 5 juta kunjungan per tahun untuk orang dewasa . 

Empat faktor yang mempengaruhi epidemiologi faringitis antara lain usia populasi yang diteliti, metode laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab, musim, dan tingkat keparahan klinis penyakit.

Beban penyakit tertinggi dari faringitis secara konsisten ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda dengan sekitar 50% kasus didiagnosis pada pasien berusia 5-24 tahun. 

Prevalensi faringitis GAS (Group A Streptococcus) yang dilaporkan dipengaruhi oleh usia pasien dengan tingkat yang lebih tinggi ditemukan pada orang yang lebih muda yang dievaluasi di pusat perawatan darurat. 

Penelitian terbaru menunjukkan prevalensi GAS pada kasus faringitis adalah sekitar 37% pada anak-anak dan 17% pada orang dewasa.  Data berbasis populasi menunjukkan bahwa faringitis GAS yang terbukti secara serologis terjadi pada tingkat 0,14 kasus per anak-tahun di negara maju dan diperkirakan 5-10 kali lebih besar di negara berkembang. 

Pada negara dengan iklim sedang, sebagian besar kasus faringitis terjadi pada musim dingin dan awal musim semi, sesuai dengan waktu puncak aktivitas virus pernapasan. Kondisi ini juga berlaku untuk faringitis GAS, di mana hingga setengah dari kasus pada anak-anak mungkin disebabkan oleh agen tersebut.

Pada tahun 2010, terdapat 1,814 juta kunjungan gawat darurat dengan faringitis, dimana 692.000 adalah untuk pasien di bawah usia 15 tahun. Sebagian besar kasus faringitis terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. 

Orang dewasa juga dapat mengalami faringitis tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Secara global, tingkat faringitis sangat tinggi terutama di negara-negara di mana antibiotik diresepkan secara berlebihan.

Etiologi

Sekitar 50-80% faringitis disebabkan oleh virus dimana sebagian besar adalah rhinovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan parainfluenza. Kasus yang lebih parah cenderung disebabkan oleh bakteri dan dapat berkembang setelah infeksi virus awal.

Infeksi bakteri yang paling umum adalah Streptokokus beta-hemolitik Grup A (GAS) yang menyebabkan 5-36% kasus faringitis akut. Etiologi bakteri lainnya antara lain Streptokokus Grup B & C, Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, Candida, Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Arcanobacterium haemolyticum, Fusobacterium necrophorum, dan Corynebacterium diphtheriae. 

Alergi lingkungan dan paparan bahan kimia juga dapat menyebabkan faringitis akut. Gejala faringitis juga dapat menjadi bagian dari gejala kompleks penyakit serius lainnya, seperti abses peritonsil, abses retropharyngeal, epiglottitis, dan penyakit Kawasaki.

Patofisiologi

Pada faringitis infeksi, bakteri atau virus dapat langsung menyerang mukosa faring, menyebabkan respon inflamasi lokal. Virus lain, seperti rhinovirus dan coronavirus dapat menyebabkan iritasi mukosa faring akibat sekresi hidung. 

Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal dan pelepasan toksin ekstraseluler serta protease. Selain itu, fragmen protein M dari serotipe Streptokokus beta-hemolitik Grup A (GAS) tertentu mirip dengan antigen sarkolema miokard dan terkait dengan demam rematik serta resiko kerusakan katup jantung. 

Tingkat prevalensi serotipe GAS ini menjadi semakin langka selama beberapa tahun terakhir. Glomerulonefritis akut dapat terjadi akibat deposisi kompleks antibodi-antigen di glomerulus. 

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dan epidemiologis tertentu menunjukkan GAS sebagai penyebab faringitis akut. Pasien dengan faringitis GAS biasanya mengalami sakit tenggorokan yang tiba-tiba, nyeri parah saat menelan, dan demam. Pasien juga dapat mengalami sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri perut. 

Pemeriksaan biasanya menunjukkan eritema tonsilofaringeal dengan atau tanpa eksudat dan pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior yang lunak. 

Temuan lain dapat berupa uvula yang gemuk, merah, dan bengkak, petechiae di langit-langit mulut; dan ruam scarlatiniform. 

Banyak pasien dengan faringitis GAS yang menunjukkan tanda dan gejala yang lebih ringan daripada gejala klasik diatas. Beberapa memiliki infeksi GAS dengan peningkatan titer antibodi ASO, sedangkan yang lain hanya terkolonisasi dan memiliki infeksi virus yang terjadi bersamaan. 

Nasofaringitis GAS pada bayi (streptokokosis) jarang terjadi, dan sulit dibedakan dari infeksi virus karena nasofaringitis GAS dapat menyebabkan sekret hidung purulen dan ekskoriasi nares serta infeksi dapat terjadi tanpa faringitis.

Scarlet fever dikaitkan dengan karakteristik ruam yang disebabkan oleh GAS yang menghasilkan eksotoksin pirogenik yaitu toksin eritrogenik. Demam scarlet terjadi pada orang yang kekurangan antibodi antitoksin. 

Temuan klinis seperti konjungtivitis, batuk, suara serak, coryza, stomatitis anterior, lesi ulseratif diskrit, eksantema virus, mialgia, dan diare menunjukkan bahwa faringitis lebih cenderung disebabkan oleh virus.

Anamnesa Dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus mencari temuan yang konsisten pada pasien dengan faringitis tanpa komplikasi dan mengecualikan penyakit lain yang berpotensi serius serta mengancam jiwa. 

Identifikasi semua tanda dan gejala yang meliputi demam, eksudat tonsil, adenopati servikal yang nyeri, eritema faring, dan nyeri telinga. 

Faringitis akibat infeksi tanpa komplikasi baik oleh virus maupun bakteri, biasanya sembuh sendiri hingga 5-7 hari, tidak progresif, bilateral, tidak memiliki trismus, serta tidak memiliki bukti obstruksi jalan napas (stridor). 

Jika yang menjadi etiologinya adalah virus, gejala yang terkait sering termasuk batuk, rinore, konjungtivitis, sakit kepala, dan ruam. Faringitis streptokokus beta-hemolitik Grup A biasanya memiliki onset akut, tidak memiliki tanda-tanda virus infeksi saluran pernapasan atas seperti batuk atau rinore, dan berhubungan dengan demam, eksudat tonsil, dan adenopati servikal. 

Faringitis karena virus Epstein-Barr atau dikenal sebagai infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan sakit kepala, demam, hipertrofi tonsil, limfositosis, dan limfosit atipikal. Mialgia dan kelelahan adalah gejala yang sering dilaporkan. 

Mononukleosis menular dapat menunjukkan gejala limfadenopati servikal anterior dan posterior. Pasien dapat mengalami limfadenopati persisten dan kelelahan hingga 3 minggu.  Penting untuk menilai hepatomegali atau splenomegali.

Abses retropharyngeal ditandai dengan kekakuan leher dan nyeri saat ekstensi leher. Untuk epiglottitis, cari stridor sebagai gejala. F necrophorum  adalah bakteri yang menyebabkan sindrom Lemierre atau tromboflebitis vena jugularis interna. 

Jika ada kontak orogenital oleh pasien, pertimbangkan N. gonorrhoeae. Sindrom retroviral akut akibat HIV dapat dikaitkan dengan demam dan faringitis non-eksudatif.

Pemeriksaan Penunjang

Berbagai pedoman klinis telah dikembangkan untuk meningkatkan diagnosis faringitis streptokokus beta-hemolitik Grup A dan untuk memandu pemeriksaan dan pengobatan. Skor Centor adalah salah satu yang paling umum digunakan, terutama untuk pasien dewasa. 

Jumlah sel darah putih memiliki nilai minimal dalam membedakan etiologi virus versus bakteri pada faringitis. Limfositosis atau peningkatan limfosit atipikal lebih dari 10% dapat menunjukkan infeksi mononukleosis.

Tes deteksi rapid antigen(RADT) sangat spesifik untuk streptokokus beta-hemolitik Grup A, tetapi sensitivitasnya sangat bervariasi yaitu dari sekitar 70-90%. Jika tesnya positif, pengobatan harus dimulai. Jika negatif, biakan tenggorokan harus diperoleh dan memandu pengobatan terutama pada anak-anak.

Kultur tenggorokan telah menjadi standar ideal untuk diagnosis, tetapi sensitivitasnya bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini meliputi bakteri load, tempat pengumpulan sampel, media biakan, dan atmosfer biakan.

Antibodi heterofil atau tes monospot 70-92% sensitif dan 96-100% spesifik. Tes untuk infeksi mononukleosis ini umumnya tersedia, tetapi standar yang ideal adalah menggunakan serologi virus Epstein-Barr. Sensitivitas tes berkurang dengan pengujian di awal perjalanan penyakit (1 - 2 minggu) dan pasien dengan usia kurang dari 12 tahun.

Untuk deteksi gonokokal harus diperoleh biakan. Untuk Candida, uji dengan sediaan kalium hidroksida atau agar Sabouraud. 

Rontgen dada tidak diperlukan pada kasus rutin. Jika dicurigai terjadi gangguan jalan napas maka rontgen leher lateral harus dilakukan.

Pemindaian computed tomography (CT) dapat membantu mengidentifikasi abses peritonsilar.

Penatalaksanaan

Antibiotik untuk faringitis biasanya digunakan untuk pasien dengan faringitis streptokokus beta-hemolitik Grup A. Antibiotik dapat mempersingkat durasi gejala hingga 16-24 jam dan mencegah demam rematik, yang menurut data terjadi pada 1 dari 400 kasus faringitis yang tidak diobati. 

Antibiotik hanya boleh digunakan untuk pasien positif streptokokus beta-hemolitik Grup A, terutama jika mereka adalah anak-anak, berdasarkan kultur positif atau tes deteksi antigen cepat. Pemberian penisilin oral selama 10 hari dianjurkan untuk memastikan pemberantasan pembawa bakteri dan pencegahan demam rematik. 

Pilihan pengobatan untuk faringitis streptokokus beta-hemolitik Grup A termasuk pengobatan oral dengan penisilin V atau amoksisilin oral. Sefalosporin, makrolida, atau klindamisin juga dapat digunakan. 

Penisilin intramuskular juga merupakan pilihan pengobatan. Resistensi dapat berkembang selama pengobatan dengan azitromisin dan klaritromisin, dan tidak dianggap sebagai antibiotik lini pertama untuk indikasi faringitis. 

Pada pasien dengan alergi penisilin, sefalosporin dapat digunakan. Pada pasien dengan riwayat anafilaksis terhadap penisilin, azitromisin atau klindamisin dapat digunakan. Penyakit ini tidak lagi menular setelah 24 jam pemberian antibiotik. 

Kortikosteroid dosis tunggal seperti deksametason dapat diberikan untuk mengurangi keparahan gejala, walaupun bukti untuk pendekatan ini masih terbatas. 

Pengobatan simtomatik dengan obat kumur dan asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid juga direkomendasikan. Berhati-hatilah dalam kondisi dehidrasi berat. 

Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, Dan Intervensi Keperawatan Sdki

1. Nyeri Akut (Sdki D.0077)

Luaran: Tingkat nyeri menurun (Slki L.08066)

  • Keluhan nyeri menurun
  • Meringis menurun
  • Sikap protektif menurun
  • Gelisah dan kesulitan tidur menurun
  • Anoreksia, mual, muntah menurun
  • Ketegangan otot dan pupil dilatasi menurun
  • Pola nafas dan tekanan darah membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nyeri (Siki I.08238)

  • Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • Identifikasi skala nyeri
  • Identifikasi respon nyeri non verbal
  • Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
  • Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
  • Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
  • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
  • Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
  • Monitor efek samping penggunaan analgetik
  • Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
  • Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
  • Fasilitasi istirahat dan tidur
  • Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
  • Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
  • Jelaskan strategi meredakan nyeri
  • Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
  • Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
  • Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
  • Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pemberian Analgetik (Siki I.08243)

  • Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
  • Identifikasi riwayat alergi obat
  • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
  • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
  • Monitor efektivitas analgesik
  • Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
  • Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
  • Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
  • Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
  • Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
  • Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi

2. Risiko Infeksi (Sdki D. 0142)

Luaran: Tingkat Infeksi Menurun (Slki L.14137)

  • Kebersihan tangan dan badan meningkat
  • Demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak menurun
  • Periode malaise menurun
  • Periode menggigil, letargi, dan gangguan kognitif menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (Siki I.14539)

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada daerah edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
  • Ajarkan cara memeriksa luka
  • Kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu

3. Risiko Defisit Nutrisi  (Sdki D.0032)

Luaran: Status Nutrisi membaik (Slki L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
  • Pengetahuan tentang pilihan makanan dan minuman yang sehat meningkat
  • Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
  • Perasaan cepat kenyang menurun
  • Nyeri abdomen menurun
  • Berat badan dan Indeks massa tubuh (IMT) membaik
  • Frekuensi dan nafsu makan membaik
  • Tebal lipatan kulit trisep dan membran mukosa membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen nutrisi (Siki I.03119)

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
  • Anjurkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan
  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

Referensi:

  1. Arnold JC, Nizet V. 2018. Pharyngitis. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. 
  2. John R Acerra. 2022. Pharyngitis. Medscape. Emedicine.
  3. Wolford RW, Goyal A, Belgam Syed SY, et al. 2022. Pharyngitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 
  4. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  5. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  6. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat