Widget HTML #1

Askep Tonsilitis Pendekatan Sdki Slki dan Siki

Tonsilitis terjadi ketika tonsil atau amandel terinfeksi dan meradang. Tonsil adalah dua gumpalan kecil jaringan lunak di bagian belakang tenggorokan. Ketika tonsil terinfeksi, akan menjadi bengkak, nyeri dan berbagai keluhan lain terutama saat menelan. Pada tulisan ini Repro Note akan merangkum mengenai konsep medik dan askep tonsilitis menggunakan pendekatan Sdki Slki dan Siki.

Tujuan

  • Memahami epidemiologi, penyebab, patofisiologi, beserta tanda dan gejala tonsilitis
  • Memahami pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit tonsilitis
  • Merumuskan Diagnosa keperawatan pada askep tonsilitis menggunakan pendekatan Sdki
  • Merumuskan Luaran dan Kriteria hasil pada askep tonsilitis menggunakan pendekatan Slki
  • Melaksanakan intervensi keperawatan pada askep tonsilitis menggunakan pendekatan Siki

Askep Tonsilitis Pendekatan Sdki Slki dan Siki
Image by Assianir on wikimedia.org

Konsep Medik dan Askep Tonsilitis

Pendahuluan

Tonsilitis mengacu pada peradangan dan infeksi tonsil (amandel), yang terdiri dari pasangan jaringan getah bening di saluran hidung dan orofaring. Faringitis bakteri atau virus biasanya menyebabkan infeksi tonsil.

Tonsilitis adalah inflamasi tonsil yang bisa akut maupun kronis. Bentuk akut yang tidak disertai komplikasi biasanya berlangsung selama 4 sampai 6 hari dan umumnya menyerang anak-anak berusia 5 sampai 10 tahun.

Peradangan dan edema jaringan tonsil membuat sulit menelan dan berbicara, dan memaksa anak untuk bernapas melalui mulut. Infeksi lanjut dapat menyebabkan selulitis ke jaringan yang berdekatan atau pembentukan abses yang mungkin memerlukan drainase.

Penatalaksanaan tonsilitis bakterial adalah melalui penggunaan tindakan suportif seperti hidrasi yang adekuat, istirahat, antipiretik, analgesik, dan antibiotik lengkap seperti penisilin.

Seorang klien dengan tonsilitis kronis disarankan untuk menjalani tonsilektomi yang merupakan pengangkatan tonsil palatine yang terletak di orofaring. Adenoid adalah amandel yang terletak di nasofaring dan terkadang juga diangkat dengan adenoidektomi.

Bukti adanya tonsilitis kronis memastikan dilakukannya tonsilektomi, yang merupakan penanganan paling efektif. Tonsil cenderung menjadi hipertrofi saat masa kanak-kanak dan atrofi saat masa pubertas.

Epidemiologi

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Namun, kondisi ini jarang terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih kecil. Abses peritonsillar (PTA) biasanya terjadi pada remaja atau dewasa muda tetapi mungkin muncul lebih awal.

Menurut Herzon dkk, anak-anak mencapai sekitar sepertiga dari episode abses peritonsillar di Amerika Serikat. Tonsilitis berulang dilaporkan pada 11,7% anak-anak Norwegia dalam satu penelitian dan diperkirakan dalam penelitian lain mempengaruhi 12,1% anak-anak Turki.

Penelitian lain menemukan variasi musiman dan atau berdasarkan usia dalam kejadian dan penyebab abses peritonsil. Di antara kesimpulannya, dia melaporkan bahwa kejadian abses peritonsil meningkat selama masa kanak-kanak, memuncak pada remaja dan kemudian secara bertahap turun hingga usia tua. Ia juga menemukan bahwa hingga usia 14 tahun, anak perempuan lebih banyak terkena daripada anak laki-laki, tetapi kondisi tersebut kemudian lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.

Penelitian tersebut juga menemukan kejadian Fusobacterium necrophorum yang secara signifikan lebih tinggi daripada Streptococcus grup A pada pasien berusia 15-24 tahun dengan abses peritonsil. Namun, kejadian Streptococcus grup A secara signifikan lebih tinggi daripada nekroporum F pada anak usia 0-9 tahun dan dewasa usia 30-39 tahun.

Meskipun menentukan bahwa kejadian Abses peritonsil tidak berbeda secara signifikan menurut musim, keberadaan Streptococcus grup A secara signifikan lebih sering di musim dingin dan musim semi daripada di musim panas, sedangkan F necrophorum cenderung lebih sering ditemukan di musim panas daripada di musim dingin.

Penyebab dan Patofisiologi

Infeksi virus,  bakteri dan faktor imunologi menyebabkan tonsilitis dan komplikasinya. Beberapa jenis virus yang bisa menyebabkan tonsilitis antara lain:

  • Virus herpes simpleks
  • Virus Epstein-Barr (EBV)
  • Sitomegalovirus
  • Virus herpes lainnya
  • Adenovirus
  • Virus campak

Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa EBV dapat menyebabkan tonsilitis tanpa adanya mononukleosis sistemik, EBV ditemukan bertanggung jawab terhadap sekitar  19%  tonsilitis eksudatif pada anak-anak.

Bakteri menyebabkan 15-30% kasus faringotonsilitis. Bakteri anaerob memainkan peran penting dalam penyakit tonsil. Sebagian besar kasus tonsilitis bakterial disebabkan oleh grup A beta-hemolitik Streptococcus pyogenes (GABHS).  Bakteri ini melekat pada reseptor adhesin yang terletak di epitel tonsil. Lapisan imunoglobulin patogen mungkin penting dalam induksi awal tonsilitis bakteri.

Tonsilitis berulang

Flora polimikrobial yang terdiri dari bakteri aerob dan anaerob telah diamati pada kultur inti tonsil pada kasus faringitis berulang dan anak-anak dengan tonsilitis GABHS berulang. Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae dan Bacteroides fragilis adalah bakteri yang paling umum diisolasi pada tonsilitis berulang.

Mikrobiologi tonsilitis berulang pada anak-anak dan orang dewasa berbeda.  Pada dewasa menunjukkan lebih banyak isolat bakteri, dengan tingkat pemulihan yang lebih tinggi dari spesies Prevotella, Porphyromonas, dan organisme B fragilis. Sedangkan pada anak-anak menunjukkan lebih banyak GABHS. Selain itu, pada pasien dewasa lebih sering memiliki bakteri yang menghasilkan beta-laktamase.

Tonsilitis kronis

Populasi bakteri polimikroba diamati pada sebagian besar kasus tonsilitis kronis, dengan spesies streptokokus alfa dan beta-hemolitik, S aureus, H influenzae, dan spesies Bacteroides telah diidentifikasi.

Sebuah penelitian yang didasarkan pada bakteriologi permukaan dan inti tonsil pada 30 anak yang menjalani tonsilektomi menunjukkan bahwa antibiotik yang diresepkan 6 bulan sebelum operasi tidak mengubah bakteriologi tonsil pada saat tonsilektomi.

Hubungan antara ukuran tonsil dan tonsilitis bakteri kronis diyakini ada. Hubungan ini didasarkan pada bakteri aerobik dan jumlah absolut limfosit B dan T. Bakteri H.influenzae adalah bakteri yang paling sering diisolasi pada tonsil hipertrofik.

Mekanisme imunologi lokal penting pada tonsilitis kronis. Distribusi sel dendritik dan sel penyaji antigen berubah selama penyakit, dengan lebih sedikit sel dendritik pada epitel permukaan dan lebih banyak di kriptus dan area ekstrafolikular.

Penelitian penanda imunologi dapat memungkinkan diferensiasi antara tonsilitis berulang dan kronis. Penanda tersebut dalam satu penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih sering mengalami tonsilitis berulang, sedangkan orang dewasa yang membutuhkan tonsilektomi lebih sering mengalami tonsilitis kronis.

Paparan radiasi mungkin berhubungan dengan perkembangan tonsilitis kronis. Prevalensi tinggi tonsilitis kronis tercatat setelah kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl di bekas Uni Soviet.

Abses peritonsiler

Flora polimikroba diisolasi dari abses peritonsillar (PTA). Organisme yang dominan adalah spesies anaerob Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus. Organisme aerobik utama adalah GABHS, S aureus, dan H influenzae.

Uhler et al, dalam analisis data dari 460 pasien dengan abses peritonsil, menemukan insiden kondisi yang lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok.

Tanda dan gejala

Tonsilitis akut

  • Menggigil
  • Dorongan konstan untuk menelan
  • Perasaan sesak di bagian belakang tenggorokan
  • Disfagia
  • Tidak enak badan
  • Sakit tenggorokan ringan sampai berat
  • Nyeri otot dan sendi
  • Nyeri (seringkali menuju telinga)
  • Tidak nafsu makan (pada anak-anak)
  • Pembengkakan dan pelunakan kelenjar limfa di area submandibular

Tonsilitis kronis

  • Serangan tonsilitis akut yang sering terjadi
  • Drainase purulen di kripta tonsilar
  • Sakit tenggorokan rekuren
  • Tanda obstruksi (akibat hipertrofi tonsilar atau abses peritonsilar)

Pemeriksaan diagnostik

  • Kepastian diagnostik membutuhkan pemeriksaan tenggorokan secara menyeluruh yang memperlihatkan inflamasi tergeneralisasi di dinding faringeal, tonsil yang membengkak dan memancarkan folikel berwarna putih atau kuning, drainase purulen jika pilar tonsilar ditekan, dan kemungkinan uvula edematosa dan terinfiamasi.
  • Kultur tenggorokan bisa menentukan organisme penginfeksi dan mengindikasikan terapi antibiotik yang tepat.
  • Leukositosis juga biasanya ada.
  • Biopsi jarum membantu membedakan selulitis dengan abses.

Penatalaksanaan

  • Tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri membutuhkan antibiotik. Jika organisme penyebabnya adalah streptokokus beta-hemolitik kelompok A, penisilin merupakan pilihan obat.
  • Sebagian besar anaerob meresepon penisilin.
  • Penanganan tambahan meliputi beristirahat, menambah konsumsi cairan, dan asetaminofen (Tylenol) atau aspirin untuk -nyeri.
  • Untuk mencegah komplikasi, lanjutkan terapi antibiotik sampai rangkaian yang diberikan selesai.
  • Tonsilitis kronis atau perkembangan komplikasi (obstruksi akibat hipertrofi tonsilar, abses peritonsilar) membutuhkan tonsilektomi, tetapi hanya jika pasien telah terbebas dari infeksi tonsilar atau traktus respiratori selama 3 sampai 4 minggu.

Asuhan Keperawatan (Askep) Tonsilitis

Intervensi Keperawatan Umum

  • Fokus intervensi askep tonsilitis antara lain  mempertahankan jalan napas yang paten, mencegah aspirasi, menghilangkan rasa sakit terutama saat menelan, mendorong asupan cairan, dan memahami perawatan pasca keluar dar rumah sakit  dan kemungkinan komplikasi.
  • Walau pasien mengalami disfagia, dorong ia minum banyak cairan, terutama jika ia demam. Tawarkan es krim dan minuman dan es berbagai rasa pada anak-anak.
  • Anjurkan obat kumur untuk menyejukkan tenggorokan, kecuali Jika memperburuk nyeri.
  • Pada pelaksanaan askep tonsilitis, pastikan pasien dan orang tuanya memahami pentingnya menyelesaikan rangkaian terapi antibiotik yang diberikan.
  • Sebelum tonsilektomi, jelaskan pada pasien dewasa bahwa anestetik lokal bisa mencegah nyeri tetapi menimbulkan sensasi tekanan selama pembedahan.
  • Ingatkan pasien mengenai ketidaknyamanan hebat di tenggorokan dan beberapa pendarahan setelah operasi. Bagi pasien pediatrik, buatlah penjelasan sederhana dan tidak bernada mengancam.
  • Tunjukkan kamar operasi dan kamar pemulihan pada anak-anak, dan jelaskan secara singkat mengenai rutinitas rumah sakit. Sebagian besar fasilitas mengizinkan salah satu orang tua menemani anaknya.
  • Sarankan pada pasien untuk tidak menggunakan aspirin atau medikasi yang mengandung aspirin selama 7 sampai 10 hari sebelum pembedahan untuk mengurangi risiko pendarahan. Aspirin dan medikasi yang mengandung aspirin juga tidak boleh digunakan setelah operasi.
  • Setelah operasi, pertahankan kepatenan jalan napas. Untuk mencegah aspirasi, tempatkan pasien di sisi tubuhnya.
  • Pantaulah tanda vital pasien, dan periksa adakah pendarahan. Waspadai pendarahan berlebihan, denyut nadi naik, tekanan darah turun, atau sering menelan.
  • Setelah pasien benar-benar sadar dan refleks gag telah kembali, izinkan ia minum air. Dorong ia mengkonsumsi makanan cair dingin melalui mulut dan tingkatkan ke makanan lembut dan lunak jika ia bisa menoleransinya, dan hindari jus jeruk dan makanan yang sangat berbumbu.
  • Dorong pasien bergerak dan sering bernapas dalam untuk menghindari komplikasi pulmoner. Beri medikasi nyeri seperlunya.
  • Sebelum pulang, beri pasien atau orang tuanya instruksi tertulis mengenai perawatan di rumah. Beritahu pasien bahwa koreng bisa terbentuk di dalam tenggorokan 5 sampai 10 hari setelah operasi dan minta ia melaporkan pendarahan, ketidaknyamanan di telinga, atau demam yang berlangsung lebih dari 3 hari.
  • Minta pasien tidak batuk atau membersihkan tenggorokannya secara berlebihan, karena bisa mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan pendarahan semakin parah.
  • Beritahu pasien bahwa adanya mukus yang mengandung darah merupakan hal normal selama 5 sampai 7 hari setelah pembedahan.

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki dan Siki

1. Nyeri Akut b/d agen pencedera Fisiologis /Inflamasi (D.0077)

Luaran: Tingkat nyeri menurun (L.08066)

  • Keluhan nyeri menurun
  • Merigis menurun
  • Sikap protektif menurun
  • Gelisah dan kesulitan tidur menurun
  • Anoreksia, mual, muntah menurun
  • Ketegangan otot dan pupil dilatasi menurun
  • Pola napas dan tekanan darah membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nyeri (I.08238)

  • Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
  • Identifikasi skala nyeri
  • Identifikasi respon nyeri non verbal
  • Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
  • Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
  • Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
  • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
  • Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
  • Monitor efek samping penggunaan analgetik
  • Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
  • Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
  • Fasilitasi istirahat dan tidur
  • Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
  • Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
  • Jelaskan strategi meredakan nyeri
  • Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
  • Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
  • Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
  • Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pemberian Analgetik (I.08243)

  • Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
  • Identifikasi riwayat alergi obat
  • Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
  • Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
  • Monitor efektifitas analgesik
  • Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu
  • Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum
  • Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
  • Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
  • Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
  • Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi

2. Risiko Defisit Nutrisi b/d ketidakmampuan menelan atau mencerna makanan (D.0032)

Luaran: Status Nutrisi membaik (L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
  • Pengetahuan tentang pilihan makanan dan minuman yang sehat meningkat
  • Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
  • Perasaan cepat kenyang menurun
  • Nyeri abdomen menurun
  • Berat badan dan Indeks massa tubuh (IMT) membaik
  • Frekuensi dan nafsu makan membaik
  • Tebal lipatan kulit trisep dan membran mukosa membaik

Intervensi Keperawatan: Manajemen nutrisi (I.03119)

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
  • Anjurkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan
  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

3. Ansietas b/d Krisis situasional / Kurang terpapar informasi (D.0080)

Luaran: Tingkat Ansietas menurun (L.09093)

  • Verbalisasi kebingungan dan khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
  • Perilaku gelisah dan tegang menurun
  • Palpitasi, tremor, dan pucat menurun
  • Konsentrasi dan pola tidur membaik
  • Orientasi membaik

Intervensi Keperawatan: Reduksi ansietas (I.09314)

  • Identifikasi saat tingkat ansietas berubah seperti Kondisi, waktu, dan stressor.
  • Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
  • Monitor tanda anxietas baik verbal dan non verbal
  • Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
  • Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
  • Pahami situasi yang membuat ansietas
  • Dengarkan dengan penuh perhatian
  • Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
  • Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
  • Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
  • Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
  • Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis
  • Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
  • Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan
  • Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
  • Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
  • Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
  • Latih teknik relaksasi

Post Tonsilektomi

1. Risiko Infeksi b/d Efek Prosedur Invasif (D. 0142)

Luaran: Tingkat Infeksi Menurun (L.14137)

  • Kebersihan tangan dan badan meningkat
  • Demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak menurun
  • Periode malaise menurun
  • Periode menggigil, letargi, dan ganggauan kognitif menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (I.14539)

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada daerah edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptik pada psien beresiko tinggi
  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
  • Ajarkan cara memeriksa luka
  • Kolaborasi pemberian antibiotiki jika perlu

Referensi

  1. Anderson J, Paterek E. 2021. Tonsillitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/
  2. Nursing. Seri Untuk Keunggulan Klinis (2011). Menafsirkan Tanda dan Gejala Penyakit. Jakarta: PT Indeks
  3. Paul Martin BSN, RN. 2020. Tonsilitis Nursing Care Plan. Nurses Lab
  4. Unayan K Shah, MD. 2020. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Med Scape. Emedicine. https://emedicine.medscape.com/article/871977-overview
  5. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  6. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  7. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat