bR7izkJOiKy1QUHnlV5rpCDjiDlVyiP6q1XpDxAH
Bookmark

Alasan Pentingnya Keluarga Berencana

Diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar perempuan usia subur di dunia saat ini. Pada awal kehidupan seorang wanita memiliki lebih dari 6 juta sel telur, masing-masing memiliki kode genetik unik di dalam ovariumnya. Sebagian besar hilang sebelum pubertas dan hanya beberapa ratus yang akan berovulasi sepanjang hidupnya, biasanya di bawah usia 20 tahun. 

Banyak sel telur dan sperma memiliki cacat mikroskopis, dan penelitian menunjukkan bahwa kelainan kromosom dan kelainan lain yang kurang terlihat bahkan lebih umum terjadi.

Sekitar setengah dari sel telur yang dibuahi secara alami akan terbuang bahkan sebelum seorang wanita menyadari bahwa kehamilan telah terjadi. Ketika seorang wanita terlambat menstruasi dan diketahui hamil, hingga 30% embrio masih akan mengalami abortus secara spontan. 

Sebagian besar kehilangan embrio pada tahap awal ini disebabkan oleh cacat embrio yang tidak dapat bertahan sampai melahirkan, atau jika bertahan, akan menghasilkan bayi yang sangat abnormal. Selain itu, faktor ibu dan sosial juga berkontribusi terhadap risiko kehamilan. 

Keluarga berencana memiliki peran penting dalam meminimalkan risiko ini. Dengan biaya sekitar $7,1 miliar per tahun, penggunaan kontrasepsi modern saat ini mencegah 187 juta kehamilan yang tidak diinginkan, 60 juta kelahiran tidak direncanakan, 105 juta aborsi yang disengaja, 2,7 juta kematian bayi, 215.000 kematian terkait kehamilan, dan 685.000 anak kehilangan ibu karena kematian terkait kehamilan.

Selain itu, semakin banyak orang yang terbantu untuk menerapkan pilihan pribadi mereka mengenai jumlah anggota keluarga, sebagai upaya untuk menekan pertumbuhan populasi dunia.

Ledakan Populasi Penduduk

Seberapa cepat transisi demografi global bisa diselesaikan?, 10.000 tahun yang lalu populasi dunia tidak lebih dari 5 juta jiwa. Transisi dari gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan ke pertanian menetap berarti lebih banyak orang dapat hidup dari lahan yang sama. Akibatnya, populasi mulai meningkat secara bertahap mencapai sekitar 200 juta pada zaman Kristus. Pada tahun 1987, populasi global telah melampaui 5 miliar jiwa.

Peristiwa penting ini menunjukkan tingkat pertumbuhan populasi manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Satu Milyar pertama dicapai pada tahun 1830. Kemudian, dibutuhkan waktu 100 tahun untuk mencapai 2 Milyaran jiwa, namun hanya 45 tahun untuk melipatgandakan jumlahnya menjadi 4 miliar pada tahun 1975. Angka 6 miliar terlampaui 25 tahun kemudian pada tahun 2000, dan saat ini populasi telah mencapai 8 miliar.

Fakta bahwa dunia berada dalam transisi demografi berarti bahwa di banyak komunitas, terdapat perbedaan pendapat tentang mengontrol kesuburan. Beberapa orang mungkin melakukan aborsi karena putus asa, sementara yang lain memilih untuk tetap mengikuti tradisi memiliki keluarga besar.

Tingkat kesuburan lebih rendah terjadi di daerah perkotaan dengan pendapatan, tingkat pendidikan, dan status perempuan yang tinggi, serta ketika perempuan bekerja. Namun, penurunan kesuburan ini berkaitan dengan faktor kesuburan, bukan penyebabnya. Penurunan kesuburan hanya terjadi jika seseorang tidak aktif secara seksual, menggunakan kontrasepsi secara efektif, atau melakukan aborsi.

Di setiap negara berkembang, masih ada kebutuhan keluarga berencana yang belum terpenuhi, dengan jumlah anggota keluarga yang melebihi keinginan mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya meningkatkan ketersediaan kontrasepsi yang aman, efektif, dan terjangkau.

Pada abad ke-21, dunia memiliki kesempatan besar untuk memahami dan mengatasi tantangan keluarga berencana. Kunci kesuksesan adalah meningkatkan ketersediaan sumber daya, memperbaiki praktik medis, menyusun kebijakan yang jelas, dan meningkatkan kesadaran masyarakat.

Meskipun tantangan yang dihadapi besar, dengan kerja keras dan kesadaran global, kita bisa mencapai stabilitas populasi yang berkelanjutan. Itu akan menjadi pencapaian besar dalam sejarah manusia, memungkinkan kita untuk hidup seimbang dengan planet kita yang indah.

Kita harus beralih dari ekonomi yang tergantung pada bahan bakar fosil dan sumber daya tak terbarukan lainnya ke ekonomi yang berkelanjutan secara biologis. Pada ekonomi ini, kita tidak lagi mengambil lebih dari yang lingkungan dapat regenerasi, dan tidak membuang limbah ke lingkungan sebagai polusi, karena proses kehidupan dapat menyerapnya kembali.

Transisi ini harus dicapai di tengah upaya global untuk mengangkat lebih banyak orang keluar dari kemiskinan, menuju kesetaraan martabat dan kebebasan dari kemiskinan. Hal ini merupakan tantangan teknis yang sangat besar yang harus dihadapi umat manusia. 

Meskipun sains dapat membantu memecahkan banyak masalah, kita harus mengingat bahwa ketika kita menekan batas-batas planet ini, kita menghadapi risiko kerusakan lingkungan yang tidak terbayangkan.

Populasi dunia yang stabil akan menjadi faktor kunci dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan sistem politik, teknis, dan ekonomi kita. Dunia dengan 10 miliar orang, bahkan dengan niat baik dan keberuntungan yang memadai, akan sulit untuk beradaptasi menjadi dua kali lipat populasi saat ini. Khususnya, jika sebagian besar dari populasi tambahan ini akan mengonsumsi lebih banyak sumber daya daripada sekarang, maka dunia dengan tiga kali lipat populasi saat ini akan gagal dalam menyesuaikan diri.

Pemandangan ribuan orang meninggal karena kelaparan di Afrika atau akibat bencana alam seperti topan di Bangladesh sangat mengkhawatirkan. Kita tidak bisa membayangkan dunia di mana satu juta orang mungkin meninggal setiap 4 hari hanya untuk menjaga keseimbangan populasi.

Masyarakat menginginkan keluarga yang lebih kecil, dan program keluarga berencana adalah solusi yang baik dan terjangkau. Anak-anak dan cucu kita tidak akan memaafkan kita jika kita tidak segera membuat keluarga berencana tersedia secara luas. Biayanya tidak signifikan, tetapi kerugiannya akibat ketidakberanian bertindak tidak bisa diukur.

Di sebagian besar negara, perempuan menginginkan jumlah anak yang lebih sedikit daripada yang mereka miliki. Bahkan di Eropa, rata-rata jumlah anak per keluarga telah turun menjadi kurang dari dua. Di negara berkembang, keinginan perempuan untuk memiliki anak lebih sedikit telah meningkat dalam 10 tahun terakhir.

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa orang ingin lebih banyak mobil, lemari es, atau perjalanan liburan. Namun, kebutuhan akan energi dan sumber daya lainnya terus meningkat. Orang-orang di seluruh dunia menginginkan keluarga yang lebih kecil dan mengabaikan kebutuhan ini tidak hanya berdampak pada perempuan yang menderita karena kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga dapat mengancam ekosistem yang rapuh, rumah bagi kita semua.

Kehamilan yang Berisiko Tinggi

Perencanaan persalinan dapat membantu mencegah kehamilan yang berisiko tinggi. Risiko tertinggi terjadi pada empat jenis kehamilan tertentu. Dalam situasi di mana nutrisi ibu bukan masalah, dan layanan pra dan pasca persalinan tersedia dengan baik, risiko-risiko ini dapat dikurangi. Empat kelompok risiko tinggi tersebut meliputi

Usia ibu terlalu muda

Di seluruh dunia, persentase perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun bervariasi. Diperkirakan ada 15 juta anak perempuan berusia 15-19 tahun yang melahirkan setiap tahun. 

Tingkat kesuburan remaja paling tinggi terjadi di wilayah berkembang seperti Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Tidak mengherankan, tingkat kematian di kalangan perempuan usia ini juga meningkat di wilayah ini. 

Pentingnya Program Keluarga Berencana

Kondisi ini memiliki dampak sosial (pendidikan, emosional, dan finansial) dan biologis (prematuritas, berat badan lahir rendah, malnutrisi, dan infeksi) yang signifikan. 

Ibu remaja memiliki risiko lebih tinggi mengalami hipertensi kehamilan dan komplikasi lainnya seperti anemia, keguguran, dan komplikasi obstetri. Keturunan mereka juga berisiko lebih tinggi mengalami prematuritas, berat badan lahir rendah, kelainan bawaan, dan akibatnya, tingkat kematian bayi yang lebih tinggi.

Kehamilan pada Usia Lanjut

Kehamilan pada usia lanjut juga meningkatkan risiko bagi ibu dan anak. Penelitian menunjukkan bahwa usia ibu yang lebih tua terkait dengan peningkatan komplikasi medis seperti hipertensi dan diabetes, serta komplikasi obstetri. 

Ditemukan juga bahwa risiko terjadinya sindrom Down meningkat seiring bertambahnya usia ibu. Bukti terbaru menunjukkan bahwa bukan hanya sel telur yang mengalami perubahan kromosom seiring bertambahnya usia, tetapi sperma juga. 

Penelitian telah menemukan variasi signifikan dalam kualitas sperma pria yang lebih tua. Pria berusia di atas 45 tahun memiliki risiko dua kali lipat kerusakan DNA dibandingkan dengan pria berusia di bawah 30 tahun.

Melahirkan terlalu banyak anak

Tanpa kontrasepsi, seorang perempuan dapat melahirkan sekitar 12-15 anak selama masa reproduksinya. Sedangkan dari segi risiko dan komplikasi, jumlah anak optimal yang dapat dikandung seorang perempuan adalah dua atau tiga anak. 

Kehamilan setelah melahirkan empat kali atau lebih dikaitkan dengan peningkatan risiko bagi ibu dan anak. Komplikasi serius seperti perdarahan, infeksi, dan eklampsia lebih mungkin terjadi, demikian pula anemia.

Anak-anak ini juga menghadapi risiko malnutrisi karena pertambahan anggota keluarga, serta kemungkinan penyakit menular, pertumbuhan dan perkembangan fisik yang terhambat, dan prestasi akademik yang buruk.

Jarak kehamilan terlalu dekat

Kehamilan dengan jarak kurang dari 2 tahun juga meningkatkan risiko bagi ibu dan anak. Kehamilan berulang dapat menyebabkan penurunan status gizi ibu dan meningkatkan risiko sindrom penipisan ibu.

Anak-anak ini mungkin mengalami berat badan lahir rendah, kekurangan gizi, masalah kesehatan, serta pertumbuhan dan perkembangan fisik yang terhambat. Selain masalah fisik dan intelektual, seringnya kelahiran juga dapat menyebabkan ibu memiliki waktu yang lebih sedikit untuk setiap anak.

Kematian dan Morbiditas Ibu

Angka kematian ibu bervariasi luas, mulai dari 2 - 160 per 100.000 kelahiran hidup di negara maju hingga 370 - 2000 per 100.000 di negara-negara dengan tingkat perkembangan manusia yang rendah. Di Amerika Serikat, kurang dari satu dari 100 kematian terjadi pada wanita usia subur, sementara di negara-negara berkembang angka ini meningkat secara signifikan.

Penyebab kematian ibu meliputi faktor obstetrik, pelayanan kesehatan, rendahnya tingkat penggunaan kontrasepsi, dan status sosial ekonomi yang rendah. Faktor obstetrik, yang menyumbang sekitar dua pertiga dari seluruh kematian ibu, mencakup perdarahan, infeksi, hipertensi kehamilan, persalinan terhambat, dan aborsi yang tidak aman.

Faktor pelayanan kesehatan yang berkontribusi terhadap kematian ibu meliputi kurangnya ketersediaan pengobatan untuk komplikasi, kekurangan staf dan perbekalan, serta pengobatan yang tidak tepat.

Rendahnya tingkat penggunaan kontrasepsi menyebabkan kehamilan yang tidak terkendali, meningkatkan risiko kesehatan bagi perempuan. Setiap kehamilan tambahan meningkatkan risiko kematian ibu. Kehamilan yang tidak diinginkan juga dapat menyebabkan aborsi tidak aman, mengakibatkan cedera, sepsis, dan komplikasi lain yang fatal.

Status sosial ekonomi yang rendah sering kali menghambat akses terhadap layanan kesehatan. Malnutrisi dan rendahnya status sosial perempuan juga berperan dalam kematian ibu.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi angka kematian ibu, termasuk pelayanan keluarga berencana, penyediaan pertolongan obstetrik di pedesaan, peningkatan kualitas rumah sakit, perluasan peran bidan, dan pendidikan masyarakat. Contohnya, Sri Lanka dan Pakistan memiliki produk domestik bruto yang serupa, tetapi angka kematian ibu di Sri Lanka jauh lebih rendah karena layanan kesehatan yang lebih baik dan tingkat melek huruf yang lebih tinggi di kalangan perempuan.

Masalah kesehatan anak yang terkait dengan kehamilan risiko tinggi meliputi berat badan lahir rendah, prematuritas, gizi buruk, penyakit menular, pertumbuhan fisik yang terhambat, risiko kelainan bawaan, dan penurunan kinerja intelektual. Kurangnya program keluarga berencana sering kali menjadi penghalang bagi perkembangan anak dan harus diatasi.

Hak Reproduksi 

Selama empat dekade terakhir, kemampuan individu untuk memilih jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka telah diakui sebagai hak asasi manusia. Menurut Rencana Aksi Kependudukan Dunia, semua individu dan pasangan memiliki hak untuk memutuskan dengan bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka. 

Mereka juga berhak mendapatkan informasi, pendidikan, dan sarana untuk melaksanakan hak ini, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan masa depan anak-anak mereka serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat.

Pemimpin dunia dan pertemuan internasional di Teheran (1968) dan Mexico City (1984), serta berbagai deklarasi hak asasi manusia oleh PBB, termasuk yang di Beijing (1995), telah menekankan pentingnya pemerintah untuk menjamin hak asasi manusia tersebut kepada warga negaranya, termasuk pilihan keluarga berencana.

Sayangnya, masih ada kesenjangan besar antara retorika politik dan implementasi praktis. Banyak orang di negara-negara berkembang tidak memiliki akses terhadap informasi dan layanan keluarga berencana. Metode keluarga berencana tertentu sering kali tidak tersedia atau dihadapkan pada pembatasan hukum terhadap akses terhadap kontrasepsi dan aborsi sukarela.

Penurunan status perempuan dengan penghasilan rendah di negara-negara berkembang adalah indikator utama ketidaksetaraan dalam kemajuan manusia. Mengabaikan masalah ini tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga merugikan bagi semua orang. Risiko kesehatan akibat kemiskinan jauh lebih besar bagi perempuan daripada laki-laki.

Langkah-langkah kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan harus didampingi oleh tindakan konkret untuk meningkatkan kesehatan, gizi, sanitasi, dan akses terhadap air bersih. Selain itu, program keluarga berencana yang efektif juga harus diberlakukan. Jika seorang wanita tidak memiliki kendali atas kesuburannya, kemungkinannya untuk memiliki kendali atas aspek lain dalam hidupnya menjadi sangat kecil.

Keluarga Berencana dan Transisi Demografi

Selama ribuan tahun setelah manusia berevolusi, orang tua biasanya dapat mengharapkan dua anak untuk bertahan hidup dan melanjutkan garis keturunan pada generasi berikutnya, meskipun mereka mungkin memiliki empat hingga enam anak. Jika tidak, kemungkinan "ledakan populasi penduduk" sudah terjadi sejak lama.

Namun, dalam sekitar 100 tahun di negara-negara Barat dan 50 tahun di negara-negara berkembang, terjadi penurunan drastis dalam angka kematian bayi dan perubahan dalam pola kelahiran yang secara tiba-tiba meningkatkan kesuburan sehingga empat hingga enam anak dapat bertahan hidup hingga generasi berikutnya. Akibatnya, populasi global meningkat dua kali lipat dalam waktu yang sangat singkat.

Menurut Laporan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS tahun 1986, dunia sedang mengalami transisi demografi. Tingkat kesuburan telah turun hingga 48% dari angka kelahiran setelah Perang Dunia Kedua, menuju jumlah keluarga yang sesuai dengan stabilnya populasi global.

Di beberapa negara berkembang di mana layanan keluarga berencana sudah tersedia, penurunan angka kelahiran terjadi dua hingga empat kali lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara Barat pada tahap transisi demografi yang serupa.

Penurunan kesuburan di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-19 dan ke-20 sebagian besar disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pilihan kontrasepsi. Catatan rumah sakit tentang perempuan yang dirawat karena komplikasi aborsi ilegal pada paruh pertama abad ke-20 menjadi bukti upaya putus asa yang dilakukan perempuan untuk membatasi jumlah anggota keluarga.

Ada hubungan yang konsisten antara penggunaan kontrasepsi dan angka kelahiran. Setiap peningkatan 15% dalam penggunaan kontrasepsi mengakibatkan penurunan rata-rata satu anak dalam sebuah keluarga. Di mana saja kontrasepsi sudah tersedia, khususnya di tempat di mana layanan aborsi aman tersedia, kesuburan menurun dengan cepat.

Dulu, para ahli demografi berpendapat bahwa terdapat perbedaan intrinsik dalam keinginan untuk memiliki anak antara kelompok sosial, ekonomi, dan agama yang berbeda. Namun, dalam praktiknya, ketika hambatan terhadap pengaturan kesuburan dihilangkan, perbedaan tersebut juga hilang. 

Ini terbukti dari sejarah kelompok Protestan dan Katolik di AS sejak tahun 1950. Meskipun pada awalnya tingkat kesuburan umat Katolik lebih tinggi daripada Protestan, perbedaan tersebut menghilang setelah kontrasepsi tersedia secara luas dan aborsi dilegalkan. Menariknya, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam persentase perempuan dari berbagai kelompok agama yang melakukan aborsi.

Referensi: 

  • Bongaarts, John. "Family planning programs for the 21st century: rationale and design." Population and Development Review 27.1 (2001): 17-39.
  • Westoff, Charles F., and Akinrinola Bankole. "The time dynamics of unmet need: an example from Morocco." International Family Planning Perspectives (1996): 18-22.
  • United Nations Population Fund (UNFPA). "Family Planning: Investing in Future Generations." UNFPA, 2020.
  • World Health Organization (WHO). "Family Planning/Contraception." WHO, 2020.
  • Singh, Susheela, and Jacqueline E. Darroch. "Adding It Up: Costs and Benefits of Contraceptive Services—Estimates for 2012." Guttmacher Institute and United Nations Population Fund (UNFPA), 2012.
  • Hirsch, Jennifer S., and Sandra Morgen. "The new reproductive technologies, women's subordination, and the state: A decade of feminist research." Annual review of sociology 20.1 (1994): 271-306.
  • World Bank. "Reproductive Health at a Glance." World Bank, 2016.
  • Ross, John, and John Stover. "The Family Planning Program Effort Index: 1999 Cycle." International Family Planning Perspectives 27.3 (2001): 119-129.
  • Cleland, John, et al. "Education and Health: Evaluating Theories and Evidence." National Bureau of Economic Research, 2015.