bR7izkJOiKy1QUHnlV5rpCDjiDlVyiP6q1XpDxAH
Bookmark

Infertilitas Pada Wanita

Infertilitas adalah kondisi medis yang dapat menyebabkan kerugian pada aspek psikologis, fisik, mental, spiritual, dan medis bagi pasien dan pasangan. Infertilitas bisa terjadi pada pria ataupun wanita. Meskipun infertilitas pada pria juga penting, pembahasan dalam makalah ini akan fokus pada evaluasi, penanganan, dan pengobatan infertilitas pada wanita. 

Infertilitas Pada Wanita
Image by Gift From Mom on Flickr

Pendahuluan

Untuk memahami infertilitas pada wanita, penting untuk mengerti apa itu fekundabilitas normal, yaitu peluang untuk hamil dalam satu siklus menstruasi. Pemahaman dasar ini akan membantu tim layanan kesehatan memberikan konseling yang sesuai kepada pasien tentang rujukan dan memberikan edukasi dasar serta pemahaman tentang kondisi medis ini.

Para ahli telah menetapkan tingkat fekundabilitas yang membantu menetapkan tingkat kehamilan normal untuk membantu mendiagnosis infertilitas. Penelitian terbesar menemukan bahwa 85% wanita akan hamil dalam waktu 12 bulan. 

Berdasarkan penelitian ini, fekundabilitas sebesar 25% pada tiga bulan pertama hubungan suami istri tanpa pengamanan, kemudian menurun menjadi 15% pada sembilan bulan berikutnya. American Society of Reproductive Medicine (ASRM) merekomendasikan untuk memulai evaluasi infertilitas setelah gagal mencapai kehamilan dalam waktu 12 bulan setelah hubungan suami istri tanpa pengamanan atau inseminasi donor terapeutik pada wanita di bawah usia 35 tahun, atau dalam waktu 6 bulan pada wanita di atas usia 35 tahun.

Epidemiologi

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Survey of Family Growth yang mewawancarai 12.000 wanita di Amerika Serikat, prevalensi infertilitas cenderung meningka seiring bertambahnya usia wanita. Saat wanita semakin tua, risiko mengalami infertilitas meningkat. 

Pada wanita usia 15 hingga 34 tahun, tingkat infertilitas berkisar antara 7,3 - 9,1%. Namun, pada wanita usia 35-39 tahun, angka infertilitas melonjak menjadi 25%. Selanjutnya, wanita usia 40-44 tahun memiliki risiko sebesar 30% untuk mengalami infertilitas. 

Secara global, tingkat infertilitas cenderung lebih tinggi di Eropa Timur, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Di seluruh dunia, sekitar 2% wanita usia 20 hingga 44 tahun tidak pernah berhasil melahirkan bayi yang hidup, dan sekitar 11% wanita yang sebelumnya telah melahirkan tidak dapat mengandung lagi.

Penyebab

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan penelitian besar-besaran pada berbagai negara untuk mengidentifikasi distribusi gender dan penyebab infertilitas. Didapatkan bahwa dari 37% kasus pasangan yang mengalami infertilitas, wanita menjadi penyebabnya. 

Sementara pada 35% kasus lainnya, penyebabnya melibatkan baik pria maupun wanita. Dan pada 8% kasus lainnya, faktor penyebabnya terdapat pada pria. 

Dalam penelitian yang sama, faktor penyebab infertilitas wanita yang paling umum mencakup:

  • Gangguan ovulasi - 25%
  • Endometriosis - 15%
  • Adhesi panggul - 12%
  • Penyumbatan tuba - 11%
  • Kelainan tuba/rahim lainnya - 11%
  • Hiperprolaktinemia - 7%

Patofisiologi 

Anovulasi

Gangguan ovulasi, yang menyebabkan 25% kasus infertilitas pada wanita, kondisi ini mencakup oligoovulasi dan anovulasi di mana tidak ada sel telur yang dilepaskan setiap bulan. Tanpa adanya sel telur, kemungkinan pembuahan dan kehamilan menjadi sangat rendah. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi gangguan ovulasi menjadi empat kelas untuk membantu dalam pengobatan dan klasifikasi lebih lanjut yaitu:

  • Anovulasi hipogonadal hipogonadotropik: terjadi ketika hipotalamus tidak menghasilkan hormon GnRH yang diperlukan.
  • Anovulasi normogonadotropik normoestrogenik: terkait dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS), kondisi di mana ovulasi terjadi tidak teratur.
  • Anovulasi hipoestrogenik hipergonadotropik: disebabkan oleh kegagalan ovarium prematur.
  • Anovulasi hiperprolaktinemia: disebabkan oleh peningkatan kadar hormon prolaktin dalam tubuh.

Amenore hipotalamus atau yang dikenal juga sebagai amenore hipotalamus fungsional (FHA), sering kali disebabkan oleh gangguan makan atau olahraga berlebihan, yang menyebabkan penurunan sekresi hormon GnRH oleh hipotalamus. 

Akibatnya, produksi hormon gonadotropin oleh kelenjar hipofisis anterior menjadi terganggu. Ini mengarah pada ketidakmampuan untuk menghasilkan folikel ovarium yang matang, anovulasi, dan penurunan kadar estrogen. Salah satu karakteristik FHA adalah rasio folikel stimulating hormon (FSH) yang lebih tinggi dari luteinizing hormon (LH), menyerupai kondisi prapubertas pada wanita.

Polycistis Ovarioan Syndrome (PCOS) adalah jenis anovulasi normogonadotropik normoestrogenik yang paling umum. PCOS memengaruhi sekitar 80-85% pasien anovulasi dan mencapai sekitar 8% dari semua wanita usia subur. 

PCOS bisa didiagnosis dengan menggunakan kriteria Rotterdam yang mencakup oligoovulasi/ anovulasi, tanda-tanda hiperandrogenisme, dan/atau polikistik ovarium yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi (USG). PCOS menyebabkan disfungsi dalam perkembangan folikel ovarium, mengakibatkan anovulasi.

Anovulasi hipoestrogenik hipergonadotropik terjadi saat ovarium mengalami kegagalan prematur. Pada dasarnya, proses ini terkait dengan proses penuaan ovarium, yang menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas folikel seiring bertambahnya usia. 

Kebiasaan merokok dan faktor-faktor eksternal lainnya dapat mempercepat proses ini. Insufisiensi ovarium primer (POI) adalah kondisi di mana ovarium berhenti berfungsi sebelum usia 40 tahun. Penyebabnya dapat bervariasi, tetapi sindrom Turner adalah penyebab utama.

Prolaktinemia adalah kondisi di mana kadar hormon prolaktin dalam tubuh meningkat, yang dapat menyebabkan inhibisi sekresi GnRH dan gangguan pada siklus menstruasi. Meskipun prolaktinemia dapat menyebabkan infertilitas, pemeriksaan prolaktin biasanya tidak termasuk dalam pemeriksaan awal untuk infertilitas.

Endometriosis

Endometriosis terjadi ketika jaringan endometrium tumbuh di luar rahim. Ini bisa menyebabkan peradangan, pembentukan jaringan parut, dan penyumbatan pada organ panggul, yang semuanya dapat mengganggu fungsi ovarium dan tuba falopi. Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas, terutama pada kasus yang parah.

Adhesi Panggul/Tuba

Adhesi panggul dan tuba adalah penyebab utama infertilitas pada wanita. Biasanya disebabkan oleh infeksi di dalam perut, seperti penyakit radang panggul (PID), yang dapat merusak struktur tuba dan menyebabkan penyumbatan. Hidrosalping adalah salah satu bentuk adhesi tuba yang dapat mengganggu proses pembuahan dan implantasi.

Penyebab Rahim

Penyebab infertilitas uterus meliputi lesi yang mengganggu implantasi atau endometrium. Misalnya, fibroid uterus dapat mengganggu proses implantasi dan pembuahan, terutama jika fibroid berlokasi secara submukosa atau intrakavitari. Anomali bawaan uterus juga dapat menyebabkan infertilitas, seperti septum uterus, yang dapat menyebabkan keguguran berulang.

Anamnese dan Pemeriksaan Fisik

Evaluasi infertilitas dianjurkan untuk wanita yang belum berhasil hamil setelah melakukan hubungan suami istri teratur tanpa pengaman selama 12 bulan, atau hanya 6 bulan jika mereka berusia di atas 35 tahun. 

Tulisan ini berfokus pada infertilitas wanita, tetapi penting untuk diingat bahwa evaluasi infertilitas pada pria juga penting dan sebaiknya dimulai secara bersamaan. 

Beberapa aspek penting dari riwayat pasien wanita yang mengalami infertilitas termasuk:

  • Durasi infertilitas.
  • Riwayat obstetrik sebelumnya.
  • Riwayat menstruasi, termasuk gejala pra-menstruasi (molimina / sindrom premenstruasi).
  • Riwayat medis, termasuk riwayat bedah dan ginekologi, serta riwayat IMS.
  • Riwayat hubungan suami istri, termasuk frekuensi dan waktu.
  • Fokus pada pasangan pria, termasuk masalah ereksi dan ejakulasi.
  • Riwayat sosial dan gaya hidup, termasuk kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, serta pola makan dan aktivitas fisik.
  • Riwayat keluarga, dengan skrining masalah genetik, riwayat kejadian pembekuan darah, keguguran berulang, dan riwayat infertilitas.

Pemeriksaan fisik meliputi hal-hal berikut:

  • Pengukuran tanda-tanda vital dan indeks massa tubuh (BMI).
  • Evaluasi kelenjar tiroid.
  • Pemeriksaan payudara untuk deteksi galaktorea.
  • Identifikasi tanda-tanda kelebihan androgen, melalui pemeriksaan dermatologis dan genitalia eksterna.
  • Pemeriksaan anatomi vagina dan serviks untuk deteksi kelainan.
  • Pemeriksaan massa atau nyeri panggul.
  • Evaluasi rahim untuk mendeteksi pembesaran atau ketidakteraturan.

Ultrasonografi transvaginal seringkali dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik awal.

Pemeriksaan Penunjang

Penilaian Fungsi dan Cadangan Ovarium.

Penilaian fungsi ovarium dapat dilakukan dengan cara sederhana, seperti melihat riwayat siklus menstruasi. Wanita dengan siklus teratur dan menstruasi yang dapat diprediksi, serta gejala pramenstruasi kemungkinan sedang berovulasi. 

Pemeriksaan LH urin dapat membantu mendeteksi ovulasi dengan mengidentifikasi lonjakan LH di pertengahan siklus. Selain itu, kadar serum progesteron pada hari ke-21 siklus juga dapat digunakan sebagai indikator ovulasi. Pemeriksaan laboratorium ini harus dilakukan sekitar seminggu sebelum menstruasi, dengan kadar progesteron di atas 3 ng/mL menunjukkan adanya ovulasi. 

Selain itu, ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan folikel dan ovulasi, meskipun lebih invasif, namun lebih akurat.

Terdapat beberapa tes yang tersedia untuk menilai cadangan ovarium. Dua tes yang umum adalah Siklus hari 3 FSH dan estradiol, serta hormon Anti-Mullerian (AMH). FSH dan estradiol pada hari ke-3 siklus dapat mengindikasikan cadangan ovarium. 

AMH adalah hormon yang dapat diukur kapan saja selama siklus wanita, dan kadar rendahnya dapat menunjukkan kesulitan dalam merespons stimulasi ovarium.

Penting untuk diingat bahwa tes cadangan ovarium dapat membantu memprediksi kesulitan dalam merespons pengobatan, namun tidak dapat secara langsung memprediksi kelahiran hidup, dan tidak boleh menjadi satu-satunya faktor pengecualian dari pengobatan fertilisasi in vitro (IVF).

Penilaian saluran tuba

Evaluasi saluran tuba umumnya dilakukan menggunakan histerosalpingografi (HSG) yang merupakan tes non-invasif untuk menilai patensi dan kelainan tuba. Metode ini juga dapat meningkatkan angka kehamilan dan kelahiran hidup.

Penilaian Rongga Rahim

Untuk menilai rongga rahim, histeroskopi dianggap sebagai standar emas, namun metode yang kurang invasif seperti saline infus sonogram (SIS) lebih umum digunakan karena sensitivitas dan spesifisitasnya dalam mendeteksi kelainan intrauterin.

Penatalaksanaan

Perubahan Gaya Hidup

Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) yang terlalu tinggi atau terlalu rendah sering mengalami infertilitas dan disfungsi ovulasi. Wanita dengan BMI kurang dari 17 kg/m², terutama yang memiliki riwayat olahraga intensif atau gangguan makan, cenderung mengalami hipogonadisme hipogonadotropik, yang menyebabkan penurunan sekresi gonadotropin dari hipofisis. 

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku dapat membantu menginduksi ovulasi. Dari wanita yang menerima terapi individu untuk memperbaiki kekurangan energi atau masalah perilaku, 87% berhasil mengembalikan fungsi ovarium dan memperbaiki BMI yang tidak normal.

Wanita dengan BMI lebih dari 27 kg/m² yang mengalami anovulasi dapat meningkatkan ovulasi hanya dengan menurunkan berat badan. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan berat badan sebesar 10% dapat mengembalikan ovulasi normal pada 50-100% wanita dalam waktu kurang dari satu tahun.

Meskipun penurunan berat badan penting untuk banyak aspek kehidupan, sebuah penelitian menemukan bahwa wanita gemuk yang menerima konseling dan intervensi penurunan berat badan sebelum pengobatan infertilitas tidak memiliki angka kehamilan atau kelahiran hidup yang lebih tinggi dibandingkan wanita gemuk yang langsung menjalani pengobatan infertilitas tanpa intervensi penurunan berat badan. Oleh karena itu, tidak ada BMI tertentu yang diperlukan untuk memulai pengobatan kesuburan.

Hiperstimulasi Ovarium Terkendali

Controlled ovarian hyperstimulation (COH) merupakan penatalaksanaan infertilitas yang tidak diketahui asalnya,  dan yang paling umum digunakan oleh penyedia layanan kesehatan adalah clomiphene citrate (CC). 

Clomiphene adalah modulator reseptor estrogen selektif (SERM) dengan efek antagonis dan agonis estrogen yang meningkatkan pelepasan gonadotropin dari hipofisis anterior. 

Pasangan disarankan untuk melakukan hubungan intim setiap dua hari sekali selama seminggu, dimulai lima hari setelah pil terakhir. Peluang kehamilan dapat meningkat bila clomiphene dikombinasikan dengan inseminasi intrauterin (IUI). 

Obat oral lain yang umum digunakan untuk induksi ovulasi adalah letrozole. Letrozole adalah penghambat aromatase yang mencegah produksi estrogen dengan menghambat konversi androstenedion dan testosteron menjadi estron dan estradiol. 

Meskipun FDA menyetujui letrozole untuk pengobatan kanker payudara, penggunaannya untuk induksi ovulasi dianggap off-label. Namun, terdapat banyak literatur ilmiah dan berbagai pendapat komite yang mendukung kemanjuran dan keamanan penggunaannya dalam induksi ovulasi. 

Letrozole memiliki beberapa keuntungan dibandingkan clomiphene, termasuk tingkat perkembangan monofolikular yang lebih tinggi, penurunan kehamilan kembar, waktu paruh yang lebih pendek, tidak ada efek antiestrogenik pada endometrium dan sistem saraf pusat, serta penurunan kadar estradiol, yang bermanfaat bagi wanita dengan kanker payudara yang menjalani Fertilisasi In Vitro (IVF).

Terapi gonadotropin adalah rejimen medis yang lebih intensif yang digunakan untuk gangguan anovulasi WHO Kelas 1, 2, atau 3. Gonadotropin bermanfaat sebagai pilihan pengobatan lini kedua bagi wanita yang gagal hamil setelah beberapa siklus pemberian clomiphene. 

Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan angka kelahiran hidup dengan gonadotropin dibandingkan dengan clomiphene lanjutan. Protokol pemberian dosis bervariasi tergantung pada preferensi penyedia dan kondisi setelah pengobatan infertilitas diputuskan. 

Pemantauan ketat diperlukan saat menggunakan gonadotropin, yang lebih invasif dan intensif. Ultrasonografi transvaginal digunakan untuk memantau pertumbuhan folikel setiap 2 hingga 3 hari selama fase folikular akhir untuk mengevaluasi folikel matang. Folikel matang berdiameter lebih dari 18 mm dan kadar estradiol lebih dari 200 pg/mL. 

Setelah folikel matang teridentifikasi, injeksi subkutan HCG 250 mg rekombinan atau injeksi HCG intramuskular 10.000 U diberikan untuk memicu ovulasi. IUI dilakukan 24-36 jam setelah suntikan pemicu. IUI dapat digunakan dalam kombinasi dengan semua agen induksi ovarium, dan IUI dengan pengobatan dianjurkan untuk meningkatkan angka kehamilan. 

Tidak ada bukti jelas mengenai keunggulan lonjakan LH alami dibandingkan pemicu HCG sebelum IUI. Sebuah meta-analisis pada tahun 2010 tidak menunjukkan bukti yang jelas mengenai satu pilihan pengobatan dibandingkan yang lain. Oleh karena itu, pilihan pengobatan harus didasarkan pada biaya, keterbatasan staf rumah sakit, dan kenyamanan pasien.

Adhesi Tubal dan Panggul

Fertilisasi in vitro (IVF) adalah pengobatan lini pertama untuk infertilitas yang disebabkan oleh faktor tuba bilateral. Operasi korektif tuba umumnya memberikan hasil kehamilan yang lebih buruk dan meningkatkan risiko kehamilan ektopik. Wanita dengan penyakit tuba parah, termasuk hidrosalping, disarankan menjalani salpingektomi bilateral untuk meningkatkan angka kehamilan melalui IVF. 

Bagi wanita dengan penyakit tuba distal ringan, fimbrioplasti dapat menjadi pilihan untuk memungkinkan kehamilan tanpa IVF. Sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa tingkat kehamilan setelah fimbrioplasti setara dengan IVF untuk penyakit tuba ringan, namun risiko kehamilan ektopik adalah 15% dibandingkan dengan 0,7% untuk pengobatan IVF.

Pasien yang pernah menjalani salpingektomi bilateral atau ligasi tuba untuk kontrasepsi merupakan kelompok penting dalam faktor tuba. Penyedia layanan kesehatan perlu mendiskusikan risiko penyesalan dengan semua wanita yang menginginkan ligasi tuba.

 Kemungkinan kehamilan setelah reanastomosis tuba bergantung pada usia pasien, jenis ligasi, dan panjang tuba yang tersedia. Wanita muda yang memiliki cincin atau klip dengan panjang tuba lebih dari 4 cm adalah kandidat terbaik dan memiliki tingkat kehamilan yang sebanding dengan IVF. Namun, waktu untuk hamil biasanya lebih lama setelah operasi tuba dibandingkan dengan IVF.

Kelainan Rahim

Tidak ada bukti jelas mengenai pengaruh leiomioma terhadap infertilitas dan angka kelahiran hidup. Pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan infertilitas lengkap sebelum pemeriksaan lebih lanjut terhadap fibroid. Lokasi fibroid adalah aspek terpenting, karena fibroid yang menempel pada endometrium dan merusak rongga rahim dapat mengganggu implantasi dan meningkatkan angka keguguran. 

Wanita dengan fibroid submukosa atau submukosa-intramural yang merusak rongga rahim mengalami penurunan angka kehamilan. Pengangkatan fibroid ini terbukti meningkatkan angka kehamilan dan kelahiran hidup. 

Patologi uterus lainnya seperti sinekia uterus dan septa lebih terkait dengan keguguran berulang namun juga dapat menyebabkan infertilitas. Histeroskopi operatif menunjukkan penurunan angka keguguran pada wanita dengan sinekia dan septa. 

Polip tanpa gejala juga dapat menyebabkan infertilitas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa polipektomi pada wanita infertil tanpa gejala sebelum IUI meningkatkan angka kehamilan dari 28% menjadi 63%.

Prosedur IVF

Prosedur In Vitro Fertilization (IVF) atau yang secara awam dikenal dengan bayi tabung adalah pilihan pengobatan paling efektif untuk infertilitas. Langkah pertama adalah hiperstimulasi ovarium terkontrol dengan suntikan gonadotropin. Tiga puluh enam jam setelah suntikan pemicu, atau injeksi HCG, seorang spesialis akan melakukan aspirasi jarum dengan panduan ultrasonografi transvaginal untuk pengambilan oosit. 

Setelah pengambilan, oosit dipindahkan ke media khusus, dan sperma normal dipindahkan ke cawan untuk inseminasi. Jika sperma abnormal, dilakukan injeksi sperma intracytoplasmic (ICSI), yaitu prosedur yang menempatkan satu spermatozoa langsung ke dalam sitoplasma sel telur. 

Setelah pembuahan, embrio dinilai dan kemudian ditransfer pada Hari ke-3 atau Hari ke-5. Pengujian genetik praimplantasi (PGT) adalah prosedur tambahan dalam IVF yang membantu mendeteksi mutasi genetik orang tua yang diketahui atau translokasi seimbang. 

PGT juga dapat digunakan untuk mendeteksi aneuploidi, baik monosomi maupun trisomi, dari seluruh 23 pasangan kromosom. PGT bermanfaat bagi ibu berusia lanjut, mereka yang mengalami kegagalan IVF berulang dengan embrio bermutu tinggi, keguguran berulang, dan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan.

Kesimpulan

Wanita disarankan untuk dokter di fasilitas kesehatan untuk dirujuk ke spesialis jika tidak hamil setelah satu tahun melakukan hubungan suami istri, atau setelah enam bulan jika usianya lebih dari 35 tahun.

Penting untuk dijelaskan bahwa infertilitas dapat disebabkan oleh faktor perempuan, laki-laki, atau kombinasi keduanya. Hal ini penting diingat karena sebagian besar pasangan dengan masalah infertilitas dimana yang mencari perawatan adalah pasangan wanita, sehingga potensi kontribusi pria sering kali diabaikan.

Infertilitas adalah diagnosis yang cukup sulit dan perlu dianggap sebagai kondisi medis serius oleh seluruh anggota tim kesehatan. Untuk mengurangi stres fisik, emosional, sosial, dan interpersonal yang dialami pasien, evaluasi menyeluruh dan segera terhadap kedua pasangan sangatlah penting. 

Referensi:

  • Walker MH & Tobler KJ. 2022. Female Infertility. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
  • WHO. 2019. Infertility Workup for the Women's Health Specialist: ACOG Committee Opinion, Number 781. Obstet Gynecol. 133(6):e377-e384. 
  • Chandra A, et.al. 2013. Infertility and impaired fecundity in the United States, 1982-2010: data from the National Survey of Family Growth. Natl Health Stat Report. 1-18.
  • Mascarenhas MN, et.al. National, regional, and global trends in infertility prevalence since.a systematic analysis of 277 health surveys. PLoS Med. 9(12):e1001356. 
  • Hull MG. 1987. Epidemiology of infertility and polycystic ovarian disease: endocrinological and demographic studies. Gynecol Endocrinol. 1(3):235-45. 
  • Macer ML, 2012. Endometriosis and infertility: a review of the pathogenesis and treatment of endometriosis-associated infertility. Obstet Gynecol Clin North Am. 39(4):535-49. 
  • Holoch KJ, et.al.2010. Endometriosis and infertility. Clin Obstet Gynecol. 53(2):429-38. 
  • Toya M, et.al. 2000. Moderate and severe endometriosis is associated with alterations in the cell cycle of granulosa cells in patients undergoing in vitro fertilization and embryo transfer. Fertil Steril. 73(2):344-50. 
  • Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine. 2013. Definitions of infertility and recurrent pregnancy loss: a committee opinion. Fertil Steril. 99(1):63.