Widget HTML #1

Askep Sirosis Hepatis Sdki Slki Siki

Sirosis hepatis merupakan kondisi tahap akhir pada hati berupa jaringan parut (fibrosis) yang disebabkan oleh berbagai penyakit seperti hepatitis dan alkoholisme kronis. Jika hati sudah mengalami sirosis, maka umumnya tidak dapat diperbaiki lagi. Pada tulisan ini, Repro Note akan merangkum mengenai konsep penyakit dan askep sirosis hepatis menggunakan pendekatan Sdki Slki Siki.

Tujuan

  • Memahami deskripsi, epidemiologi, penyebab, patofisiologi dan tanda gejala yang muncul pada sirosis hepatis
  • Memahami pemeriksaan, penatalaksanaan, dan komplikasi yang bisa timbul pada sirosis hepatis
  • Mengidentifikasi masalah utama dan diagnosa keperawatan pada askep sirosis hepatis menggunakan pendekatan Sdki
  • Merumuskan luaran dan kriteria hasil pada askep sirosis hepatis menggunakan pendekatan Slki 
  • Melaksanakan intervensi keperawatan pada askep sirosis hepatis menggunakan pendekatan Siki
  • Melakukan edukasi pasien dan keluarga pada askep sirosis hepatis
Askep Sirosis Hepatis Sdki Slki Siki
Image by Netha Hussain on Wikimedia.org

Konsep Penyakit dan Askep Sirosis Hepatis

Pendahuluan

Sirosis hepatis merupakan kondisi akhir untuk berbagai macam penyakit hati kronis. Istilah sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec pada tahun 1826. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani scirrhous yang mengacu pada permukaan hati pada saat otopsi yang berwarna oranye-coklat atau kuning kecoklatan.

Sirosis hepatis didefinisikan secara histologis sebagai fibrosis dan konversi arsitektur hati normal menjadi nodul struktural abnormal dan bersifat difus. Perkembangan cedera hati menjadi sirosis dapat terjadi dalam waktu berminggu-minggu hingga tahunan. 

Sebagian bentuk cedera pada hati ditandai dengan fibrosis dan didefinisikan sebagai deposisi komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan dalam jumlah berlebih di hati. 

Berbagai gangguan dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati, seperti infeksi virus, racun, faktor keturunan, atau proses autoimun. Pada masing-masing penyebab ini, hati membentuk jaringan parut atau fibrosis. 

Pada tahap awal mungkin hati masih bisa berfungsi dengan normal. Namun jika terjadi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, sebagian besar jaringan hati mengalami fibrosa yang menyebabkan hilangnya fungsi dan perkembangan sirosis.

Komplikasi yang bisa muncul pada pasien sirosis hepatis antara lain hipertensi portal, asites, sindrom hepatorenal, dan ensefalopati hepatik.

Tanda dan gejala umum dapat berasal dari penurunan fungsi sintetik hati, seperti koagulopati, penurunan kemampuan detoksifikasi hati, ensefalopati hepatik, atau hipertensi portal, dan perdarahan varises.

Klasifikasi

Sirosis diklasifikasikan berdasarkan morfologi atau etiologi.

Klasifikasi Sirosis Berdasarkan Morfologi

  • Sirosis mikronodular : Nodul seragam dengan diameter kurang dari 3 mm. Terjadi pada sirosis hepatitis karena alkohol, hemokromatosis, obstruksi aliran keluar vena hepatik, obstruksi bilier kronis, bypass jejunoileal, dan sirosis masa kanak-kanak India.
  • Sirosis makronodular : Nodul tidak teratur dengan variasi diameter lebih besar dari 3 mm. Biasanya terjadi pada Sirosis Hepatis karena hepatitis B dan C, defisiensi antitripsin alfa-1, dan kolangitis bilier primer.
  • Sirosis campuran : Terdapat gambaran sirosis mikronodular dan makronodular. Biasanya  seiring waktu, sirosis mikronodular berkembang menjadi sirosis makronodular.

Klasifikasi Sirosis Berdasarkan Etiologi

Berdasarkan penyebab sirosis diklasifikasikan menjadi:

  • Virus : Hepatitis B, C, dan D
  • Racun : Alkohol, obat-obatan
  • Autoimun  : Hepatitis autoimun
  • Cholestatic : Primary biliary cholangitis, primary sclerosing cholangitis
  • Vaskular : Sindrom Budd-Chiari, sindrom obstruksi sinusoidal, sirosis jantung
  • Metabolik : Hemokromatosis, NASH, penyakit Wilson, defisiensi antitripsin alfa-1, sirosis kriptogenik.

Epidemiologi

Prevalensi pasti sirosis di seluruh dunia tidak diketahui. Prevalensi sirosis diperkirakan 0,15% atau 400.000 di Amerika Serikat, menyebabkan lebih dari 25.000 kematian 1998. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari kondisi sebenarnya, karena tingginya prevalensi sirosis yang tidak terdiagnosis baik pada Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH) maupun hepatitis C. 

Angka serupa telah dilaporkan dari Eropa, dan angkanya bahkan lebih tinggi pada sebagian besar negara Asia dan Afrika di mana hepatitis B atau C virus kronis sering terjadi. Karena sirosis kompensasi sering tidak terdeteksi untuk waktu yang lama, diperkirakan hingga 1% populasi mungkin memiliki sirosis histologis.

Penyebab

Penyakit hati kronis biasanya berkembang menjadi sirosis.Penyebab paling umum dari sirosis antara lain :

  • Hepatitis C 
  • Penyakit hati alkoholik 
  • Hepatitis C sekaligus penyakit hati alkoholik 
  • Penyebab kriptogenik 
  • Hepatitis B dan hepatitis D 
  • Hepatitis autoimun
  • Kolangitis bilier primer
  • Sirosis bilier sekunder, terkait dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepatik kronis
  • Kolangitis sklerosis primer
  • Hemokromatosis
  • penyakit Wilson
  • Defisiensi antitripsin alfa-1
  • Penyakit granulomatosa - Misalnya, sarkoidosis
  • Penyakit penyimpanan glikogen tipe IV
  • Penyakit hati yang diinduksi obat, Misalnya metotreksat, alfa metildopa, amiodaron
  • Obstruksi aliran keluar vena seperti sindrom Budd-Chiari dan penyakit oklusi vena
  • Gagal jantung kanan kronis
  • Regurgitasi trikuspid

Patofisiologi

Beberapa jenis sel berperan dalam sirosis hati, termasuk hepatosit dan sel-sel lapisan sinusoidal seperti sel stelata hati (HSC), sel endotel sinusoidal (SEC), dan sel Kupffer (KC). HSC membentuk bagian dari dinding sinusoid hati, dan fungsinya adalah untuk menyimpan vitamin A. 

Ketika sel-sel ini terkena sitokin inflamasi, mereka menjadi aktif, berubah menjadi miofibroblas, dan mulai menyimpan kolagen yang menghasilkan fibrosis. SEC membentuk lapisan endotel dan dicirikan oleh fenestrasi yang dibuat pada dinding yang memungkinkan pertukaran cairan dan nutrisi antara sinusoid dan hepatosit.

Defenestrasi dinding sinusoidal dapat terjadi akibat penggunaan alkohol kronis dan menyebabkan fibrosis perisinusoidal. KC adalah makrofag satelit yang juga melapisi dinding sinusoid. 

Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa sel-sel tersebut memainkan peran dalam fibrosis hati dengan melepaskan mediator berbahaya ketika terkena agen berbahaya dan bertindak sebagai antigen-presenting sel untuk virus. 

Hepatosit juga terlibat dalam patogenesis sirosis, karena hepatosit yang rusak melepaskan spesies oksigen reaktif dan mediator inflamasi yang dapat mendorong pengaktifan HSC dan fibrosis hati.

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis adalah perkembangan hipertensi portal dan sirkulasi hiperdinamik. Hipertensi portal berkembang secara sekunder akibat fibrosis dan perubahan vasoregulasi, baik secara intrahepatik maupun sistematis yang menyebabkan pembentukan sirkulasi kolateral dan sirkulasi hiperdinamik.

Intrahepatik SEC mensintesis oksida nitrat (NO) dan endotelin-1 (ET-1) yang bekerja pada HSC menyebabkan relaksasi atau kontraksi sinusoid dan mengendalikan aliran darah sinusoidal. Pada pasien dengan sirosis, terjadi peningkatan produksi ET-1, serta peningkatan sensitivitas reseptornya dengan penurunan produksi NO. 

Hal ini menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan resistensi intrahepatik, yang memicu hipertensi portal. Remodeling vaskular yang dimediasi oleh efek kontraktil HSC di sinusoid menambah peningkatan resistensi vaskular. Untuk mengimbangi peningkatan tekanan intrahepatik ini, sirkulasi kolateral dibentuk.

Dalam sirkulasi sistemik dan splanknik, efek sebaliknya terjadi. Dengan peningkatan produksi NO, menyebabkan vasodilatasi sistemik dan splanknik serta penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. 

Kondisi ini mendorong aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), yang menyebabkan retensi natrium dan air dan menghasilkan sirkulasi hiperdinamik. Jadi, pada sirosis dengan hipertensi portal, terjadi penipisan vasodilator terutama NO secara intrahepatik tetapi kelebihan NO secara ekstrahepatik pada sirkulasi splanknik dan sistemik, yang menyebabkan vasokonstriksi sinusoidal dan vasodilatasi splanknik (sistemik). Kolateral juga berkontribusi pada sirkulasi hiperdinamik dengan meningkatkan aliran balik vena ke jantung.

Manifestasi Klinis

Pasien dengan sirosis bisa tanpa gejala (asimtomatik) atau dengan beberapa gejala (simtomatik), tergantung pada apakah sirosis mereka secara klinis terkompensasi atau dekompensasi. 

Pada sirosis terkompensasi, sebagian besar pasien biasanya tidak menunjukkan gejala dan penyakitnya terdeteksi secara kebetulan saat pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan radiologi. 

Salah satu temuan umum adalah peningkatan aminotransferase atau gamma-glutamyl transpeptidase ringan sampai sedang dengan kemungkinan pembesaran hati atau limpa pada pemeriksaan. 

Sebaliknya, pasien dengan sirosis hepatis yang tidak terkompensasi biasanya datang dengan berbagai tanda dan gejala yang timbul dari kombinasi disfungsi hati dan hipertensi portal. Tanda gejala yang munxul berupa asites, ikterus, ensefalopati hepatik, perdarahan varises, atau karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis menandakan transisi dari fase kompensasi ke fase dekompensasi sirosis. 

Komplikasi sirosis lainnya adalah peritonitis bakteri spontan dan sindrom hepatorenal yang terjadi pada pasien yang memiliki asites.

Efek Sirosis Hepatis pada berbagai organ antara lain:

Gastrointestinal

Hipertensi portal dapat menyebabkan asites, hepatosplenomegali, dan penonjolan vena periumbilikalis abdomen yang mengakibatkan caput medusa. Varises esofagus adalah komplikasi lain dari sirosis sekunder akibat peningkatan aliran darah dalam sirkulasi kolateral, dengan angka kematian sekitar 20% pada enam minggu setelah episode perdarahan. 

Pasien dengan sirosis alkoholik berada pada peningkatan risiko pertumbuhan bakteri usus halus yang berlebihan dan pankreatitis kronis, dan pasien dengan penyakit hati kronis memiliki tingkat pembentukan batu empedu yang lebih tinggi.

Hematologi

Anemia dapat terjadi karena defisiensi folat, anemia hemolitik pada penyakit hati alkoholik berat, dan hipersplenisme. 

Pansitopenia juga dapat terjadi akibat hipersplenisme pada hipertensi portal, gangguan koagulasi, koagulasi intravaskular diseminata, dan hemosiderosis pada pasien sirosis karena penyebab yang berbeda.

Ginjal

Pasien dengan sirosis rentan untuk mengembangkan sindrom hepatorenal sekunder untuk hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal, menyebabkan fenomena underfilling.

Vasodilatasi splanknik pada sirosis menyebabkan penurunan aliran darah efektif ke ginjal, yang mengaktifkan sistem RAAS, menyebabkan retensi natrium dan air dan penyempitan pembuluh darah ginjal. 

Namun, efek ini tidak cukup untuk mengatasi vasodilatasi sistemik yang disebabkan oleh sirosis, yang menyebabkan hipoperfusi ginjal dan diperburuk oleh vasokonstriksi ginjal yang pada akhirnya bisa menimbulkan gagal ginjal.

Paru-paru

Manifestasi sirosis meliputi sindrom hepatopulmoner, hipertensi portopulmonal, hidrotoraks hepatik, penurunan saturasi oksigen, ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, penurunan kapasitas difusi paru, dan hiperventilasi.

Kulit

Tanda Spider Nevi (arteriol sentral yang dikelilingi oleh beberapa pembuluh darah kecil yang terlihat seperti laba-laba) terlihat pada pasien sirosis sekunder akibat hiperestrogenemia. Disfungsi hati menyebabkan ketidakseimbangan hormon gonad, menyebabkan peningkatan rasio estrogen terhadap testosteron bebas dan pembentukan spider nevi. 

Eritema palmaris adalah temuan kulit lain yang terlihat pada sirosis dan juga sekunder akibat hiperestrogenemia. Penyakit kuning adalah perubahan warna kekuningan pada kulit dan selaput lendir terlihat ketika serum bilirubin lebih tinggi dari 3 mg/dL dan pada sirosis dekompensata.

Kelenjar Endokrin

Pasien dengan sirosis hati alkoholik dapat mengembangkan hipogonadisme dan ginekomastia. Patofisiologinya multifaktorial, terutama karena hipersensitivitas reseptor estrogen dan androgen yang terlihat pada pasien sirosis. 

Disfungsi hipofisis hipotalamus juga telah terlibat dalam perkembangan kondisi ini. Hipogonadisme dapat menyebabkan penurunan libido dan impotensi pada pria dengan hilangnya karakteristik seksual sekunder dan feminisasi. Wanita dapat mengalami amenore dan perdarahan menstruasi yang tidak teratur, serta infertilitas.

Perubahan Kuku

Clubbing, osteoarthropathy hipertrofik, dan kontraktur Dupuytren terlihat. Perubahan kuku lainnya termasuk lunula biru (penyakit Wilson), kuku Terry, dan kuku Muehrcke.

Organ lain

Fetor hepaticus atau bau nafas yang apek karena tingginya kadar dimetil sulfida dan keton dalam darah. Ateriksis atau gemetar mengepak ketika lengan diluruskan dan tangan dorsofleksi. Keduanya merupakan ciri ensefalopati hepatik yang dapat dilihat pada sirosis.

Sirosis dapat menyebabkan sirkulasi hiperdinamik, pengurangan massa otot tanpa lemak, kram otot, dan herniasi umbilikalis.

Pada pemeriksaan fisik pasien sirosis hepatis dapat teridentifikasi stigmata penyakit hati kronis seperti telangiektasis laba-laba, eritema palmaris, kontraktur Dupuytren, ginekomastia, atrofi testis. 

Tanda-tanda hipertensi portal seperti asites, splenomegali, caput medusa, dan murmur. Tanda-tanda ensefalopati hepatik seperti kebingungan, asteriksis, dan fetor hepaticus, serta gambaran lain seperti ikterus, pembesaran parotis bilateral, dan rambut dada/aksila yang sedikit.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

  • Peningkatan Aminotransferase ringan sampai sedang dengan aspartat aminotransferase (AST) lebih besar dari alanine aminotransferase (ALT). 
  • Pada sebagian besar bentuk hepatitis kronis (kecuali hepatitis alkoholik), rasio AST/ALT kurang dari satu. Ketika hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis, terjadi pembalikan rasio AST/ALT ini. 
  • Alkaline phosphatase (ALP), 5'-nucleotidase, dan gamma-glutamyl transferase (GGT) meningkat pada gangguan kolestatik. 
  • Waktu protrombin (PT) meningkat karena defek faktor koagulasi dan bilirubin. Albumin rendah karena disintesis oleh hati dan kapasitas fungsional hati turun. Jadi albumin serum dan PT adalah indikator sebenarnya dari fungsi sintesis hati. 
  • Anemia normokromik atau anemia makrositik dapat dilihat pada sirosis hati alkoholik.
  • Leukopenia dan trombositopenia juga terlihat sekunder akibat sekuestrasi oleh limpa yang membesar serta efek supresi alkohol pada sumsum tulang.
  • Imunoglobulin, terutama fraksi gamma, biasanya meningkat karena gangguan pembersihan oleh hati.
  • Pemeriksaan serologi dan PCR untuk hepatitis virus dan antibodi autoimun (antibodi antinuklear (ANA), antibodi otot polos (ASMA), antibodi mikrosomal tipe 1 (ALKM-1) dan imunoglobulin IgG serum untuk hepatitis autoimun dan antibodi anti mitokondria untuk kolangitis bilier primer dapat dilakukan. 
  • Saturasi feritin dan transferin untuk hemokromatosis, seruloplasmin, dan tembaga urin untuk penyakit Wilson, tingkat alfa 1-antitripsin, dan fenotipe inhibitor protease untuk defisiensi alfa 1-antitripsin, dan alfa-fetoprotein serum untuk karsinoma hepatoseluler (HCC).

Pemeriksaan Radiologi 

  • Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang murah, non-invasif, dan tersedia untuk evaluasi sirosis hepatis. USG dapat mendeteksi nodularitas dan peningkatan ekogenisitas hati yang terlihat pada sirosis hepatis, namun tidak spesifik karena temuan ini juga dapat dilihat pada perlemakan hati.
  • USG juga dapat menentukan rasio lebar lobus yang biasanya meningkat pada sirosis. Selain itu, USG adalah alat skrining yang berguna untuk HCC pada pasien sirosis. Ultrasonografi Duplex Doppler membantu menilai patensi vena hepatik, portal, dan mesenterika.
  • CT dan MRI dengan kontras dapat mendeteksi HCC dan lesi vaskular. MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat deposisi besi dan lemak di hati untuk hemokromatosis dan steatosis, dan obstruksi bilier jika diperoleh MRC (magnetic resonance cholangiography). 
  • Elastografi transien (fibroscan) adalah metode non-invasif yang menggunakan gelombang ultrasound berkecepatan tinggi untuk mengukur kekakuan hati yang berkorelasi dengan fibrosis. 
  • Pada sirosis, pemindaian limpa hati koloid menggunakan koloid belerang teknesium-99m dapat menunjukkan peningkatan penyerapan koloid di sumsum tulang dan limpa bila dibandingkan dengan hati. Adanya varises di esofagus atau lambung pada esophagogastroduodenoscopy (EGD) menunjukkan hipertensi portal.

Biopsi Hati

Biopsi hati adalah standar untuk mendiagnosis sirosis serta menilai tingkat peradangan (grade) dan fibrosis (stadium) penyakit. Diagnosis sirosis dengan biopsi membutuhkan adanya fibrosis dan nodul. Pola nodular dapat berupa mikronodular, makronodular, atau bercampur dengan pola mikronodular yang mewakili faktor risiko independen untuk peningkatan gradien tekanan vena hepatik (HVPG) dan penyakit yang lebih parah.[

Pemeriksaan menggunakan penanda serum langsung dan tidak langsung digunakan untuk mendeteksi pasien dengan fibrosis/sirosis yang signifikan dari pasien tanpa/fibrosis ringan.

Penatalaksanaan

Pada Sirosis hepatis, kerusakan hati biasanya bersifat permanen. Namun usaha untuk menghindari cedera lebih lanjut dan menghentikan perkembangan penyakit tetap dilakukan.

Penatalaksanaan umum untuk mencegah penyakit hati kronis meliputi menghindari dan menghentikan alkohol, vaksinasi HBV dan HCV, nutrisi yang baik dengan diet seimbang, penurunan berat badan, dan pengobatan dini faktor pencetus seperti dehidrasi, hipotensi, dan infeksi. Hal ini dicapai dengan pemantauan rutin status volume, fungsi ginjal, perkembangan varises, dan perkembangan ke HCC.

Terapi spesifik biasanya menargetkan etiologi, seperti obat antivirus pada hepatitis virus, steroid, dan agen imunosupresan pada hepatitis autoimun, asam ursodeoxycholic dan asam obeticholic pada kolangitis bilier primer, khelasi tembaga pada penyakit Wilson, zat besi dan proses mengeluarkan darah pada hemokromatosis. 

Penurunan berat badan minimal 7% bermanfaat pada NASH, dan pantang alkohol sangat penting pada sirosis alkoholik.

Non Farmakologis

  • Diet : Pasien bisa mendapat manfaat dari diet tinggi kalori dan protein sedang hingga tinggi, karena ensefalopati hepatik yang berkembang mengharuskan asupan protein dibatasi.
  • Pembatasan natrium : Natrium biasanya dibatasi hingga 2g/hari.
  • Pembatasan cairan: Cairan dibatasi hingga 1 hingga 1,5 liter/hari.
  • Aktivitas : Istirahat dan olahraga ringan sangat penting.
  • Parasentesis : Parasentesis dapat membantu meringankan asites.
  • Sengstaken-Blakemore atau tabung Minnesota : Tabung Sengstaken-Blakemore atau Minnesota juga dapat membantu mengontrol perdarahan dengan memberikan tekanan pada tempat perdarahan.

Farmakologis

Terapi Farmakologis memerlukan kehati-hatian khusus karena pasien sirosis hepatis tidak dapat mendetoksifikasi zat berbahaya secara efektif.

  • Oktreotida : Jika diperlukan, octreotide dapat diresepkan untuk varises esofagus.
  • Diuretik : Diuretik dapat diberikan untuk edema, namun memerlukan pemantauan yang cermat karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat memicu ensefalopati hepatik.
  • Laktulosa : Ensefalopati diobati dengan laktulosa.
  • Antibiotik : Antibiotik digunakan untuk mengurangi bakteri usus dan mengurangi produksi amonia, salah satu penyebab ensefalopati.

Manajemen Bedah

Prosedur bedah untuk pengelolaan sirosis hati yaitu Prosedur transjugular intrahepatik portosystemic shunt (TIPS). Prosedur TIPS digunakan untuk pengobatan varises dengan endoskopi bagian atas dengan pita untuk meredakan hipertensi portal.

Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan pada pasien dengan sirosis hepatis harus fokus pada peningkatan istirahat, peningkatan status gizi, perawatan kulit, pengurangan risiko cedera, dan pemantauan serta pengelolaan komplikasi.

Pengkajian Keperawatan

Pengkajian Keperawatan pasien dengan sirosis hepatis harus mencakup penilaian:

  • Perdarahan:  Periksa kulit, gusi, feses, dan muntahan pasien terhadap adanya perdarahan.
  • Retensi cairan : Untuk menilai retensi cairan, timbang pasien dan ukur lingkar perut setidaknya sekali sehari.
  • Kesadaran : Kaji tingkat kesadaran pasien sesering mungkin dan amati dengan cermat perubahan perilaku atau kepribadian.

Tujuan Asuhan Keperawatan

Tujuan utama Asuhan Keperawatan pada pasien dengan sirosis hepatis adalah:

  • Penurunan kelelahan dan peningkatan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas.
  • Mempertahankan keseimbangan nitrogen, mengatasi kehilangan massa otot, dan memenuhi kebutuhan nutrisi.
  • Menurunkan potensi pengembangan ulkus dekubitus dan kerusakan integritas kulit.
  • Mengurangi resiko cedera.
  • Pasien bisa Mengungkapkan perasaan yang konsisten dengan peningkatan citra tubuh dan harga diri.
  • Meningkatkan kenyamanan.
  • Mengembalikan volume cairan normal.
  • Meningkatkan status mental, menjaga keamanan dan kemampuan untuk mengatasi perubahan kognitif dan perilaku.
  • Memperbaiki status pernafasan.

Intervensi Keperawatan

Pasien dengan sirosis hepatis membutuhkan observasi ketat, perawatan suportif, dan konseling nutrisi yang baik.

a. Mempromosikan Istirahat

  • Posisikan tempat tidur untuk efisiensi pernapasan maksimal, berikan oksigen jika diperlukan.
  • Cegah gangguan pernapasan, gangguan peredaran dan pembuluh darah.
  • Dorong pasien untuk meningkatkan aktivitas secara bertahap dan rencanakan istirahat dengan aktivitas serta olahraga ringan.

b. Meningkatkan Status Gizi

  • Berikan makanan bergizi tinggi protein yang dilengkapi dengan vitamin B kompleks dan lainnya, termasuk A, C, dan K.
  • Dorong pasien untuk makan: Berikan makanan kecil, sering, pertimbangkan preferensi pasien, dan berikan suplemen protein, jika diindikasikan.
  • Berikan nutrisi dengan feeding tube atau NGT jika diperlukan.
  • Berikan pasien yang mengalami feses berlemak (steatorrhea) vitamin A, D, dan E yang larut dalam air, dan berikan asam folat dan zat besi untuk mencegah anemia.
  • Berikan diet rendah protein sementara jika pasien menunjukkan tanda-tanda koma, batasi natrium jika diperlukan.

c. Perawatan Kulit

  • Ubah posisi pasien sesering mungkin.
  • Hindari penggunaan sabun dan pita perekat yang mengiritasi.
  • Berikan lotion untuk melembabkan kulit yang teriritasi, cegah pasien menggaruk kulit.

d. Mengurangi Resiko Cedera

  • Gunakan rel samping yang empuk jika pasien gelisah.
  • Orientasikan waktu, tempat, dan prosedur untuk meminimalkan agitasi.
  • Anjurkan pasien untuk meminta bantuan untuk turun dari tempat tidur.
  • Hati-hati mengevaluasi setiap cedera karena kemungkinan perdarahan internal.
  • Berikan langkah-langkah keamanan untuk mencegah cedera atau luka .
  • Berikan tekanan pada tempat pungsi vena untuk meminimalkan perdarahan.

e. Memantau dan Mengelola Komplikasi

  • Monitor perdarahan .
  • Pantau status mental pasien dengan cermat dan laporkan perubahan sehingga pengobatan ensefalopati dapat dimulai segera.
  • Pantau dengan hati-hati kadar elektrolit serum dan perbaiki jika abnormal.
  • Berikan oksigen jika terjadi desaturasi oksigen, pantau demam atau sakit perut, yang mungkin menandakan timbulnya peritonitis bakteri atau infeksi lainnya.
  • Kaji status kardiovaskuler dan pernapasan, berikan diuretik, terapkan pembatasan cairan, dan tingkatkan posisi pasien, jika diperlukan.
  • Pantau asupan dan haluaran, perubahan berat badan setiap hari, perubahan lingkar perut, dan pembentukan edema.
  • Pantau adanya nokturia, oliguria, karena keadaan ini menunjukkan peningkatan keparahan disfungsi hati.

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki

1. Hipervolemia (Sdki D.0022)

Luaran: Status Cairan Membaik (Slki L.03028)

  • Kekuatan nadi meningkat
  • Output urin meningkat
  • Membran mukosa lembab meningkat
  • Ortopnea menurun
  • Dispnea menurun
  • Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
  • Edema anasarka menurun
  • Edema perifer menurun
  • Frekuensi nadi membaik
  • Tekanan darah membaik
  • Turgor kulit membaik
  • Jugular venous pressure membaik
  • Hemoglobin membaik
  • Hematokrit membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Hipervolemia (Siki I.03114)

  • Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis: ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, suara nafas tambahan)
  • Identifikasi penyebab hiperkalemia
  • Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI) jika tersedia
  • Monitor intake dan output cairan
  • Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
  • Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis: kadar protein dan albumin meningkat)
  • Monitor kecepatan infus secara ketat
  • Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortostatik, hypovolemia, hipokalemia, hiponatremia)
  • Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
  • Batasi asupan cairan dan garam
  • Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat
  • Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
  • Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
  • Ajarkan cara membatasi cairan
  • Kolaborasi pemberian diuretic
  • Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
  • Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT) jika perlu

b. Pemantauan Cairan (Siki I.03101)

  • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
  • Monitor frekuensi napas
  • Monitor tekanan darah
  • Monitor berat badan
  • Monitor waktu pengisian kapiler
  • Monitor elastisitas atau turgor kulit
  • Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
  • Monitor kadar albumin dan protein total
  • Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium, dan BUN)
  • Monitor intake dan output cairan
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah, konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis: dispnea, edema perifer, edema anasarca, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasikan hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Dokumentasikan hasil pemantauan

2. Intoleransi Aktivitas (Sdki D.0056)

Luaran: Toleransi Aktivitas Meningkat (Slki L.05047)

  • Keluhan Lelah menurun
  • Dispnea saat aktivitas menurun
  • Dispnea setelah aktivitas menurun
  • Frekuensi nadi membaik

Intervensi Keperawatan: 

a. Manajemen Energi (Siki I.05178)

  • Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
  • Monitor kelelahan fisik dan emosional
  • Monitor pola dan jam tidur
  • Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
  • Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara, kunjungan)
  • Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
  • Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
  • Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
  • Anjurkan tirah baring
  • Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
  • Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
  • Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
  • Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

b. Terapi Aktivitas (I.01026)

  • Identifikasi defisit tingkat aktivitas
  • Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
  • Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan
  • Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas
  • Identifikasi makna aktivitas rutin (mis: bekerja) dan waktu luang
  • Monitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
  • Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami
  • Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan rentang aktivitas
  • Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
  • Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
  • Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
  • Fasilitasi transportasi untuk menghadiri aktivitas, jika sesuai
  • Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang dipilih
  • Fasilitasi aktivitas rutin (mis: ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri), sesuai kebutuhan
  • Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu, energi, atau gerak
  • Fasilitasi aktivitas motorik kasar untuk pasien hiperaktif
  • Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara berat badan, jika sesuai
  • Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot
  • Fasilitasi aktivitas aktivitas dengan komponen memori implisit dan emosional (mis: kegiatan keagamaan khusus) untuk pasien demensia, jika sesuai
  • Libatkan dalam permainan kelompok yang tidak kompetitif, terstruktur, dan aktif
  • Tingkatkan keterlibatan dalam aktivitas rekreasi dan diversifikasi untuk menurunkan kecemasan (mis: vocal group, bola voli, tenis meja, jogging, berenang, tugas sederhana, permainan sederhana, tugas rutin, tugas rumah tangga, perawatan diri, dan teka-teki dan kartu)
  • Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu
  • Fasilitasi mengembangkan motivasi dan penguatan diri
  • Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuannya sendiri untuk mencapai tujuan
  • Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
  • Berikan penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas
  • Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu
  • Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
  • Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritual, dan kognitif dalam menjaga fungsi dan Kesehatan
  • Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika sesuai
  • Anjurkan keluarga untuk memberi penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas
  • Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan memonitor program aktivitas, jika sesuai
  • Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika perlu

3. Defisit Nutrisi (Sdki D.0019)

Luaran: Status Nutrisi Membaik (Slki L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Berat badan membaik
  • Indeks massa tubuh (IMT) membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Nutrisi (Siki I.03119)

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
  • Ajarkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan
  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

b. Promosi Berat Badan (Siki I.03136)

  • Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
  • Monitor adanya mual dan muntah
  • Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari-hari
  • Monitor berat badan
  • Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit serum
  • Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika perlu
  • Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien (mis: makanan dengan tekstur halus, makanan yang diblender, makanan cair yang diberikan melalui NGT atau gastrostomy, total parenteral nutrition sesuai indikasi)
  • Hidangkan makanan secara menarik
  • Berikan suplemen, jika perlu
  • Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningkatan yang dicapai
  • Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun tetap terjangkau
  • Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan

4. Risiko Gangguan Integritas Kulit (Sdki D.0139)

Luaran: Integritas Kulit / Jaringan Meningkat (Slki L.14125)

  • Kerusakan jaringan menurun
  • Kerusakan lapisan kulit menurun

Intervensi Keperawatan: Perawatan Integritas Kulit (Siki I.11353)

  • Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis: perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrim, penurunan mobilitas)
  • Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
  • Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
  • Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
  • Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering
  • Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitive
  • Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
  • Anjurkan menggunakan pelembab (mis: lotion, serum)
  • Anjurkan minum air yang cukup
  • Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
  • Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
  • Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
  • Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada diluar rumah
  • Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

5. Resiko Cedera (Sdki D. 0136)

Luaran: Tingkat Cedera Menurun (Slki L. 14136)

  • Kejadian cedera menurun
  • Luka/lecet menurun

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Cedera (Siki I.14537)

  • Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
  • Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
  • Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stocking elastis pada ekstremitas bawah
  • Sediakan pencahayaan yang memadai
  • Gunakan lampu tidur selama jam tidur
  • Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis: penggunaan telepon, tempat tidur, penerangan ruangan, dan lokasi kamar mandi)
  • Gunakan alas kaki jika berisiko mengalami cedera serius
  • Sediakan alas kaki anti slip
  • Sediakan pispot dan urinal untuk eliminasi di tempat tidur, jika perlu
  • Pastikan bel panggilan atau telepon mudah terjangkau
  • Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
  • Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
  • Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
  • Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan Kesehatan
  • Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi atau alarm sensor pada tempat tidur atau kursi
  • Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang diperlukan
  • Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesuai (mis: tongkat atau alat bantu jalan)
  • Diskusikan Bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
  • Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
  • Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
  • Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk selama beberapa menit sebelum berdiri

6. Pola Napas Tidak Efektif (Sdki D.0005)

Luaran: Pola Napas Membaik (Slki L.01004)

  • Dispnea menurun
  • Penggunaan otot bantu napas menurun
  • Pemanjangan fase ekspirasi menurun
  • Frekuensi napas membaik
  • Kedalaman napas membaik

Intervensi Keperawatan: 

a. Manajemen Jalan Napas (Siki I.01011)

  • Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
  • Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering)
  • Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
  • Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
  • Posisikan semi-fowler atau fowler
  • Berikan minum hangat
  • Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
  • Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
  • Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
  • Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
  • Berikan oksigen, jika perlu
  • Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
  • Ajarkan Teknik batuk efektif
  • Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

b. Pemantauan Respirasi (Siki I.01014)

  • Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
  • Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kusmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
  • Monitor kemampuan batuk efektif
  • Monitor adanya produksi sputum
  • Monitor adanya sumbatan jalan napas
  • Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
  • Auskultasi bunyi napas
  • Monitor saturasi oksigen
  • Monitor nilai analisa gas darah
  • Monitor hasil x-ray thoraks
  • Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
  • Dokumentasikan hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

Referensi:

  1. David C Wolf MD. 2020. Cirrhosis. MedScape. Emedicine.
  2. Fabrellas N, et al. 2020. Nursing Care of Patients With Cirrhosis. The LiverHope Nursing Project. LiverHope Consortium Investigators. Hepatology. 71(3):1106-1116. doi: 10.1002/hep.31117.
  3. Maegan Wagner, RN. Liver Cirrhosis Nursing Diagnosis & Care Plan. Nurse Together.
  4. Marianne Belleza, RN. Hepatic Cirrhosis Nursing Care Management. Nurses Labs. 
  5. Schuppan D, Afdhal NH. 2008. Liver cirrhosis. Lancet. doi: 10.1016/ S0140-6736(08) 60383-9.  PMID: 18328931; PMCID: PMC2271178.
  6. Sharma B, John S. 2022. Hepatic Cirrhosis. Treasure Island (FL). Stat Pearls Publishing. 
  7. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  8. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  9. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat