Widget HTML #1

Askep Hepatitis Sdki Slki Siki

Istilah hepatitis secara umum berarti terjadinya peradangan pada hati yang disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain infeksi, obat-obatan, alkohol, dan penyakit tertentu seperti autoimun. Pada tulisan ini, Repro Note akan mengulas mengenai konsep medik dan Askep hepatitis menggunakan pendekatan Sdki Slki dan SIki. 

Tujuan:

  • Memahami penyebab, faktor risiko, epidemiologi, patofisiologi, serta tanda dan gejala penyakit hepatitis.
  • Memahami pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan,prognosis, komplikasi, dan pencegahan penyakit hepatitis
  • Melakukan pengkajian dan merumuskan diagnosa keperawatan pada askep hepatitis 
  • menggunakan pendekatan SDKI
  • Merumuskan Luaran dan kriteria hasil pada askep hepatitis menggunakan pendekatan SLKI
  • Melaksanakan intervensi keperawatan pada askep hepatitis menggunakan pendekatan SIKI
Askep Hepatitis Sdki Slki Siki
Image by Nick Youngson on Pix4free.org

Konsep Medik Dan Askep Hepatitis Sdki Slki Siki

Pendahuluan

Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab seperti penggunaan alkohol berat, penyakit autoimun, obat-obatan, atau racun. Namun, penyebab hepatitis yang paling sering adalah karena infeksi virus dan disebut sebagai hepatitis virus. 

Jenis hepatitis virus yang paling umum adalah Hepatitis A, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Jenis hepatitis virus lainnya yang lebih jarang ditemui  adalah hepatitis D dan E. Berdasarkan etiologi hepatitis, tingkat keparahannya dapat berkisar dari penyakit ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit parah yang memerlukan transplantasi hati. 

Hepatitis juga dapat diklasifikasikan menjadi hepatitis akut dan hepatitis kronis berdasarkan durasi peradangan atau  gangguan pada hati. Jika peradangan hati berlangsung kurang dari 6 bulan, maka disebut sebagai hepatitis akut dan jika berlangsung lebih dari 6 bulan disebut sebagai hepatitis kronis. 

Hepatitis akut biasanya sembuh sendiri tetapi dapat menyebabkan gagal hati fulminan tergantung pada etiologinya. Sebaliknya, hepatitis kronis dapat menyebabkan kerusakan hati yang meliputi fibrosis hati, sirosis, karsinoma hepatoseluler, dan gambaran hipertensi portal yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Epidemiologi

Epidemiologi Hepatitis Virus

Virus Hepatitis dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hepatitis virus menginfeksi jutaan orang setiap tahun menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi Hepatitis B dan C kronis dapat menyebabkan kerusakan hati yang meliputi fibrosis hati, sirosis, karsinoma hepatoseluler, dan gambaran hipertensi portal. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1,3 juta orang telah meninggal karena hepatitis pada tahun 2015, dan 1 dari 3 orang di dunia pernah terinfeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Dilaporkan, tingkat infeksi menunjukkan bahwa 2 miliar orang terinfeksi virus hepatitis B, 185 juta dengan virus hepatitis C, dan 20 juta dengan virus hepatitis E.

Virus hepatitis A mempengaruhi 90% anak-anak di daerah endemik. Secara keseluruhan Hepatitis virus diperkirakan menyebabkan 1,4 juta kematian setiap tahun, dan virus hepatitis B dan C bertanggung jawab atas sekitar 90% dari kematian tersebut.

Hepatitis A

Pada daerah dengan sosial ekonomi tinggi angka kejadian hepatitis A biasanya sangat rendah. Sebaliknya, tingkat infeksi yang tinggi terjadi pada populasi dengan sistem sanitasi yang buruk dan sosial ekonomi yang rendah. Pada populasi ini, tingkat infeksi endemik bisa mencapai 90%. 

Secara global, diperkirakan tingkat infeksi hepatitis A termasuk dalam kategori tinggi di seluruh dunia, tetapi hanya 1,5 juta kasus yang dilaporkan setiap tahun. Anak-anak yang terinfeksi pada usia dini namun tanpa gejala biasanya memperoleh kekebalan seumur hidup. Hal ini banyak terjadi di negara-negara endemik.

Hepatitis B

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi hepatitis B, dan sekitar 5% dari populasi ini tetap menjadi carrier hepatitis B. Sekitar 25% dari mereka yang mengidap hepatitis kronis, sirosis hati, dan karsinoma hepatoseluler. 

Jumlah kematian global yang didokumentasikan setiap tahun akibat infeksi virus hepatitis B adalah 780.000. 

Hepatitis C

Virus hepatitis C adalah penyebab paling umum dari hepatitis parenteral di seluruh dunia, diperkirakan terjadi pada 0,5% hingga 2% populasi di seluruh dunia. Individu yang paling sering terkena adalah pengguna narkoba IV dan penderita hemofilia. 

Namun dengan munculnya skrining yang lebih aman dan teknik eliminasi virus untuk transfusi darah, insiden infeksi virus hepatitis C terkait transfusi terus menurun. Sekitar 71 juta orang di seluruh dunia memiliki infeksi hepatitis C kronis, dan menyumbang hampir 400.000 kematian setiap tahun. 

Hepatitis D

Hepatitis D terjadi pada pasien yang positif HBsAg, biasanya terjadi sebagai koinfeksi dengan Hepatitis B atau pasien yang membawa virus Hepatitis B kronis. Pasien-pasien tersebut bisa mendapatkan superinfeksi virus hepatitis D. 

Hepatitis D bukanlah penyakit yang sering dilaporkan; oleh karena itu, data yang akurat tidak tersedia. Secara global diperkirakan mempengaruhi 4% hingga 8% kasus hepatitis B akut dan 5% pasien hepatitis B kronis. 

Selain itu, diperkirakan sekitar 18 juta pasien terinfeksi virus hepatitis D secara global. Prevalensi tetap tinggi di Amerika Selatan dan Afrika, juga pada PSK di Yunani dan Taiwan.

Hepatitis E

Virus hepatitis E sering dikaitkan dengan wabah penyakit makanan dan air di seluruh dunia dan umumnya terlihat di negara berkembang dengan akses sanitasi air bersih yang terbatas, dan kebersihan yang buruk. 

Sekitar 20 juta orang diperkirakan terinfeksi virus hepatitis E secara global, dan telah terjadi sekitar 44.000 kematian akibat infeksi virus hepatitis E. Dalam hal itu, virus hepatitis E membawa risiko kematian yang lebih tinggi sekitar 3,3% dibandingkan dengan infeksi virus hepatitis A meskipun rute penularannya sama.

Hepatitis G

Infeksi global virus hepatitis G relatif umum terjadi dan virus dapat dideteksi di semua etnis. Prevalensi hepatitis G di seluruh dunia adalah sekitar 3%, dan para peneliti percaya bahwa 1 hingga 4% dari donor darah di seluruh dunia adalah pembawa virus. 

Diperkirakan sekitar 25% dari populasi global membawa antibodi terhadap virus. Produk darah yang terinfeksi meningkatkan prevalensi virus hepatitis G, dan infeksi persisten adalah jumlah donor darah sehat yang tidak signifikan.. 

Laporan menunjukkan bahwa sekitar 10 - 20% orang dewasa dengan infeksi Hepatitis B atau Hepatitis C kronis memiliki infeksi hepatitis G. Hal ini menunjukan bahwa hepatitis G merupakan koinfeksi yang umum. 

Hepatitis Autoimun

Prevalensi hepatitis autoimun diperkirakan 0,1 sampai 1,2 kasus per 100.000 orang di Eropa Barat. Hepatitis autoimun menyumbang sekitar 6% dari transplantasi hati di Amerika Serikat, sementara itu menyumbang sekitar 3% dari transplantasi hati di Eropa. Prevalensi di Jepang diperkirakan 0,08-0,015 kasus per 100.000 orang dan menyebabkan 1,9% kasus sirosis hati.

Hepatitis Alkoholik

Prevalensi pasti hepatitis alkoholik tidak diketahui, tetapi diperkirakan tinggi dengan tingkat kematian yang meningkat. Sulitnya penilaian prevalensi yang pasti ini  karena hepatitis alkoholik mungkin tetap tidak terdiagnosis dan tidak menunjukkan gejala sama sekali.

Penyebab

Hepatitis Virus

Etiologi Hepatitis A

Hepatitis A adalah virus RNA dari keluarga Picornaviridae. Biasanya terdapat dalam konsentrasi tertinggi pada tinja orang yang terinfeksi dengan pelepasan viral load terbesar yang terjadi selama akhir masa inkubasi. 

Cara penularan hepatitis A yang paling umum adalah melalui rute fekal-oral dari kontak dengan makanan, air, atau benda yang terkontaminasi oleh kotoran dari individu yang terinfeksi. 

Penularan lebih sering ditemui di negara berkembang dimana karena kemiskinan dan kurangnya sanitasi, menyebabkan kemungkinan penyebaran fecal-oral yang lebih tinggi. Orang yang melakukan kontak dengan individu yang terinfeksi juga berisiko, dengan tingkat infeksi sekunder untuk kontak serumah adalah sekitar 20%.

Etiologi Hepatitis B

Virus hepatitis B adalah virus DNA dan merupakan anggota dari keluarga Hepadnaviridae. Komposisi inti virus adalah nukleokapsid, antigen inti hepatitis B (HBcAg), yang mengelilingi DNA virus hepatitis B, dan DNA polimerase. 

Nukleokapsid dilapisi dengan antigen permukaan hepatitis B (HBsAg), yang merupakan polipeptida permukaan virus. Gen yang mengkode antigen inti hepatitis B (HBcAg), juga mengkode antigen e hepatitis B (HBeAg). Virion virus hepatitis B yang utuh dikenal sebagai partikel Dane. 

Virus hepatitis B diketahui memiliki delapan varian genotipe tetapi tidak digunakan dalam praktik klinis untuk menentukan tingkat keparahan infeksi. 

Virus hepatitis B dapat dideteksi dalam serum, air mani, lendir vagina, air liur, dan air mata, namun tidak ditemukan dalam tinja, urin, atau keringat. 

Transfusi darah dan produk darah, penggunaan narkoba suntikan dengan jarum suntik bersama, atau luka yang disebabkan oleh instrumen lain pada petugas kesehatan dan hemodialisis adalah contoh pajanan parenteral dan perkutan, tetapi cara parenteral tetap menjadi cara penularan yang dominan. 

Virus ini juga dapat ditularkan secara perinatal, terjadi pada bayi dari ibu dengan HBeAg positif di mana bayi tersebut memiliki kemungkinan 70-90% untuk terinfeksi, dan 90% dari mereka yang terinfeksi akhirnya berkembang menjadi infeksi kronis dengan virus hepatitis B.

Etiologi Hepatitis C

Virus hepatitis C adalah virus RNA dan merupakan anggota keluarga Flaviviridae dengan satu serotipe, tetapi setidaknya enam genotipe utama dan lebih dari 80 subtipe. 

Keragaman genetik yang luas membuatnya sulit untuk mengembangkan vaksin untuk mencegah infeksi virus hepatitis C. Penularan dapat terjadi secara parenteral, perinatal, dan seksual, dengan cara yang paling umum adalah berbagi jarum suntik yang terkontaminasi di antara pengguna narkoba IV.

Kelompok berisiko tinggi lainnya termasuk orang-orang yang sering membutuhkan transfusi darah dan transplantasi organ organ dari donor yang terinfeksi. Penularan seksual dan perinatal sangat jarang terjadi.

Etiologi Hepatitis D

Hepatitis D adalah virus RNA dan spesies tunggal dalam genus Deltavirus. Virus ini berisi antigen hepatitis D dan untai RNA dan menggunakan HBsAg sebagai protein amplopnya.

Oleh karena itu, mereka yang terkena infeksi virus hepatitis D juga memiliki koinfeksi dengan virus hepatitis B. Virus hepatitis D memiliki cara penularan yang mirip dengan virus hepatitis B, tetapi penularan perinatal jarang terjadi

Etiologi Hepatitis E

Hepatitis E adalah virus RNA dan spesies tunggal dalam genus Hepevirus. Cara penularan utama adalah rute fekal-oral. Air yang terkontaminasi tinja adalah cara yang paling umum, tetapi penularan dari orang ke orang jarang terjadi. Namun, terkadang penularan ibu-neonatal dapat terjadi.

Hepatitis G

Virus hepatitis G adalah virus RNA dan merupakan anggota spesies Pegivirus A dari keluarga Flaviviridae. Cara utama penularan adalah melalui darah dan produk darah yang terinfeksi.

Hepatitis G biasanya merupakan koinfeksi pada orang yang memiliki infeksi hepatitis B kronis atau hepatitis C. Hal ini terkait dengan penyakit hati akut dan kronis, tetapi penelitian belum secara jelas menetapkannya sebagai agen yang menyebabkan hepatitis dengan sendirinya.

Hepatitis autoimun

Penyebab yang pasti dari hepatitis autoimun tidak diketahui. Berbagai faktor seperti obat-obatan, agen lingkungan, atau infeksi virus dengan virus hepatitis atau virus Epstein-Barr dapat memicu respons autoimun. 

Pasien mengembangkan autoantibodi, dan mereka lebih sering muncul pada mereka yang memiliki infeksi virus hepatitis C kronis. 

Obat-obatan seperti nitrofurantoin, minocycline, adalimumab, infliximab, atau methyldopa dapat memicu hepatitis autoimun. Dalam kasus ini, hepatitis membaik ketika pasien menghentikan obat yang menjadi pencetusnya.

Hepatitis alkoholik

Mekanisme pasti bagaimana hepatitis alkoholik tidak didefinisikan dengan baik. Banyak faktor yang berperan yang seperti faktor genetik, metabolisme etanol dan metabolitnya asetaldehida yang menyebabkan kerusakan membran sel hepatosit, dan malnutrisi

Faktor imunologi seperti stimulasi sitokin yang mempercepat kematian sel, perubahan steatosis, radikal bebas, dan cedera oksidatif, dan lain-lain. Semua faktor-faktor ini diketahui berperan dalam menyebabkan hepatitis alkoholik

Patofisiologi

Hepatitis Virus

Hepatitis A

Masa inkubasi virus hepatitis A adalah sekitar empat minggu. Infeksi akut virus hepatitis A lebih parah dengan kematian lebih tinggi pada orang dewasa daripada anak-anak. 

Gejala yang muncul antara lain malaise, anoreksia, mual muntah, dan penyakit kuning. Kekambuhan jarang terjadi, dan infeksi tidak mengakibatkan hepatitis kronis. Juga, hanya kurang dari 1% kasus yang menyebabkan gagal hati fulminan.

Hepatitis B

Masa inkubasi infeksi virus hepatitis B akut adalah sekitar 12 minggu, dengan mayoritas pasien mengalami penyakit ringan dan kurang dari 1% mengalami gagal hati fulminan.

Setelah infeksi akut sembuh, sebagian besar pasien dewasa dan sebagian kecil bayi yang terinfeksi mengembangkan antibodi terhadap antigen permukaan hepatitis B dan akhirnya pulih sepenuhnya. 

Namun, sebagian kecil pasien dewasa dan sebagian besar bayi yang terinfeksi akhirnya mengalami infeksi kronis. Sekitar 10% sampai 30% dari pembawa mengalami gejala dari infeksi kronis, dan dapat juga memiliki manifestasi penyakit ekstrahepatik. 

Sekitar 20% pasien hepatitis kronis akhirnya berkembang menjadi sirosis dan dekompensasi hati, sementara 5% akhirnya mengembangkan karsinoma hepatoseluler.

Hepatitis C

Masa inkubasi virus hepatitis C kurang lebih delapan minggu. Sebagian besar kasus infeksi hepatitis C akut tidak menunjukkan gejala. Namun sekitar 55-85% pasien mengembangkan hepatitis C kronis dan 30% dari pasien tersebut akhirnya berkembang menjadi sirosis.

Pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dan memiliki infeksi kronis berisiko tinggi mengembangkan karsinoma hepatoseluler. Hampir 20.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh infeksi hepatitis C kronis sebagai penyebab kematian.

Hepatitis D

Masa inkubasi virus hepatitis D adalah sekitar 13 minggu. Infeksi virus hepatitis D menyebabkan hepatitis hanya pada orang dengan infeksi virus hepatitis B akut atau kronis.

Gejalanya mirip dengan infeksi virus hepatitis B akut, tetapi pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis dan infeksi virus hepatitis D cenderung berkembang lebih cepat menjadi sirosis daripada pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis saja. 

Selain itu, pasien yang sudah terinfeksi virus hepatitis B dapat mengalami superinfeksi jika juga terinfeksi virus hepatitis D. Superinfeksi dapat menyebabkan gagal hati fulminan.

Hepatitis E

Masa inkubasi virus hepatitis E adalah sekitar 2 sampai 10 minggu. Infeksi virus hepatitis E akut tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan infeksi virus hepatitis B akut, tetapi wanita hamil yang terinfeksi pada trimester ketiga memiliki kematian lebih dari 25% terkait dengan infeksi hepatitis E.

Hepatitis G

Masa inkubasi hepatitis G sekitar 14 sampai 20 hari. Gambaran klinis dapat serupa dengan gambaran infeksi hepatitis ringan dengan virus hepatitis lainnya, dan pasien dapat memiliki aminotransferase normal atau rendah tanpa ikterus. 

Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) tidak sebanding dengan derajat viremia pada hepatitis G. Tidak seperti hepatitis C, di mana pasien dengan viral load tinggi dapat memiliki tingkat alanine aminotransferase (ALT) yang lebih tinggi.

Hepatitis autoimun

Hepatitis autoimun biasanya menghasilkan tingkat gamma globulin yang tinggi dan autoantibodi yang bersirkulasi. Banyak pasien memiliki riwayat keluarga dengan gangguan autoimun lain atau pernah merespon terapi imunosupresif. 

Mekanisme patogenetik tidak sepenuhnya dipahami, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa pasien yang mengembangkan hepatitis autoimun kadang-kadang memiliki kecenderungan genetik terhadap penyakit pada individu yang rentan, yang dapat mengembangkan penyakit sekunder akibat infeksi virus atau reaksi terhadap obat, yang dapat bertindak sebagai mekanisme penginduksi.

Hepatitis alkoholik

Mekanisme patogenetik hepatitis alkoholik kompleks dan multifaktorial. Ini hasil dari interaksi antara metabolisme etanol, peradangan, dan imunitas bawaan, yang akhirnya menyebabkan kematian hepatosit oleh nekrosis atau apoptosis dari stres oksidatif. 

Penelitian menunjukkan sitokin dan faktor nekrosis tumor berperan juga dalam menyebabkan hepatotoksisitas.

Manifestasi Klinis

Hepatitis Virus

Manifestasi klinis hepatitis virus dapat berbeda pada setiap individu tergantung pada jenis virus penyebab infeksi. Pasien dapat sepenuhnya asimtomatik atau hanya sedikit bergejala. Sebagian kecil pasien dapat datang dengan onset cepat gagal hati fulminan.

Secara umum pasien dengan virus hepatitis melalui 4 fase.

  • Fase 1 (fase replikasi virus) : Pasien biasanya tidak menunjukkan gejala pada fase ini, dan penelitian laboratorium positif untuk penanda hepatitis.
  • Fase 2 (fase prodromal) : Pasien dalam fase ini biasanya datang dengan anoreksia, mual, muntah, malaise, pruritus, urtikaria, artralgia, dan kelelahan. Sering kali pasien ini salah didiagnosis menderita gastroenteritis atau infeksi virus.
  • Fase 3 (fase ikterik) : Pasien pada fase ini datang dengan urin berwarna gelap dan tinja berwarna pucat. Beberapa pasien mengalami ikterus dan nyeri kuadran kanan atas dengan pembesaran hati.
  • Fase 4 (fase pemulihan) : Pasien biasanya mulai memperhatikan resolusi gejala, dan penelitian laboratorium menunjukkan enzim hati kembali ke tingkat normal.

Hepatitis A

Pasien yang terinfeksi virus hepatitis A biasanya datang dengan gejala yang mirip dengan gastroenteritis atau infeksi saluran pernapasan virus, seperti gejala kelelahan, mual, muntah, demam, anoreksia, dan urin berwarna gelap. 

Gejala biasanya dimulai setelah masa inkubasi berakhir, dan hilang secara spontan pada sebagian besar pasien.

Hepatitis B

Pasien dengan infeksi virus hepatitis B memasuki fase prodromal setelah masa inkubasi dan memiliki gejala anoreksia, malaise, dan kelelahan yang merupakan gejala klinis awal yang paling umum. 

Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri kuadran kanan atas karena peradangan hati. Sebagian kecil pasien mengalami demam, arthralgia, atau ruam. 

Setelah itu, pasien masuk ke fase ikterik dan hepatomegali. Urin berwarna gelap dan tinja berwarna pucat. 

Setelah fase ikterik, perjalanan klinis dapat bervariasi di mana beberapa pasien mengalami perbaikan gejala yang cepat, dan yang lain dapat mengembangkan penyakit yang berkepanjangan dengan resolusi yang lambat dengan flare-up berkala. 

Sejumlah kecil pasien dapat mengalami perkembangan penyakit yang cepat yang dapat menyebabkan gagal hati fulminan selama beberapa hari hingga beberapa minggu.

Hepatitis C

Pasien yang terinfeksi virus hepatitis C mengembangkan gejala yang sama setelah masa inkubasi dengan infeksi virus hepatitis B selama fase infeksi akut dengan gejala anoreksia, malaise, dan kelelahan. Namun, 80% pasien tetap asimtomatik dan tidak berkembang menjadi penyakit kuning.

Hepatitis D

Mayoritas pasien yang memiliki infeksi simultan dengan virus hepatitis B dan virus hepatitis D memiliki infeksi yang sembuh sendiri. Gejalanya mirip dengan infeksi hepatitis B akut.

Pembawa virus hepatitis B kronis yang berkembang menjadi superinfeksi dengan virus hepatitis D cenderung memiliki hepatitis akut yang lebih parah, dan sebagian besar pasien ini akhirnya berkembang menjadi infeksi virus hepatitis D kronis.

Infeksi kronis dengan virus hepatitis B dan virus hepatitis D dapat menyebabkan gagal hati fulminan, hepatitis aktif kronis yang parah, dan perkembangan menjadi sirosis pada sebagian besar pasien dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki infeksi virus hepatitis B kronis.

Hepatitis E

Pasien dengan infeksi virus hepatitis E akut mengembangkan penyakit self-limited disease yang mirip dengan infeksi virus hepatitis A. Gagal hati fulminan jarang terjadi, tetapi pasien dengan infeksi hepatitis E yang sedang hamil memiliki angka kematian yang lebih tinggi.

Hepatitis G

Pasien dengan infeksi hepatitis G dapat mengalami infeksi ringan tanpa ikterus, tetapi kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala. Ada beberapa laporan tentang hepatitis fulminan dan kronis serta fibrosis hati namun kejadiannya sangat jarang. 

Pasien juga dapat mengalami peningkatan alkaline phosphatase dan gamma-glutamyl transpeptidase, tetapi sebagian besar pasien yang terinfeksi virus hepatitis G memiliki tes fungsi hati yang normal.

Hepatitis autoimun

Hepatitis autoimun dapat muncul secara klinis dalam berbagai cara. Pasien dapat tanpa gejala sama sekali, dengan satu-satunya kelainan adalah peningkatan enzim hati pada pemeriksaan laboratorium dibandingkan dengan mereka yang mengalami hepatitis fulminan.

Gejala hepatitis autoimun tergantung pada stadium penyakit. Gejala yang paling umum antara lain kelelahan, malaise, ikterik, nyeri perut, dan artralgia. 

Pada stadium lanjut, pasien dapat mengalami asites, ensefalopati hepatik, dan perdarahan varises. Pasien juga dapat memiliki penyakit autoimun lain bersama dengan hepatitis autoimun dan dapat mengalami gejala dari penyakit tersebut juga.

Hepatitis alkoholik

Pasien dengan hepatitis alkoholik biasanya kekurangan gizi dan memiliki tanda-tanda fisik hepatomegali dan splenomegali. Gejala lain seperti demam dan takikardia, bersama dengan nyeri kuadran kanan atas. 

Bruit hepatik akibat peningkatan aliran darah merupakan karakteristik hepatitis alkoholik tetapi bukan merupakan temuan yang umum. 

Gejala lain bisa termasuk mual, muntah, malaise, dan anoreksia. Pada kasus yang lebih parah dapat memiliki ensefalopati hepatik, sindrom hepatorenal, asites, dan perdarahan varises karena hipertensi portal, koagulopati, dan trombositopenia.

Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi dasar pada pasien yang diduga menderita hepatitis virus dapat dimulai dengan memeriksa fungsi hati. Pasien yang memiliki penyakit parah dapat mengalami peningkatan kadar bilirubin total. 

Biasanya, tingkat alkaline phosphatase (ALP) tetap dalam kisaran normal, tetapi jika meningkat secara signifikan, dokter harus mempertimbangkan obstruksi bilier atau abses hati. 

Pada penyakit hati lanjut, waktu protrombin (PT) dan rasio normalisasi internasional (INR) mungkin tampak memanjang. Pasien mungkin juga mengalami leukopenia dan trombositopenia. 

Pasien yang mudah memar, varises berdarah, atau hemoroid berdarah sehingga mungkin mengalami anemia dengan kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah. 

Kadar Nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum juga diperlukan untuk pasien yang diduga memiliki penyakit hati lanjut untuk mengidentifikasi gangguan ginjal. Pasien yang datang dengan status mental yang berubah harus diperiksa kadar amonia serumnya dan biasanya meningkat dengan adanya ensefalopati hepatik.

Selain pemeriksaan laboratorium rutin ini, pemeriksaan spesifik lainnya diperlukan untuk mengevaluasi jenis hepatitis virus.

Hepatitis virus

Hepatitis A

Pemeriksaan standar untuk mendiagnosis infeksi akut virus hepatitis A adalah adanya antibodi imunoglobulin M (IgM) terhadap virus hepatitis A. 

Antibodi IgM menghilang beberapa bulan setelah infeksi akut. Pada tahap infeksi selanjutnya, antibodi imunoglobulin G (IgG) terhadap virus hepatitis A terdeteksi. 

Namun, adanya antibodi IgG terhadap virus hepatitis A hanya berarti bahwa pasien telah terinfeksi virus hepatitis A di masa lalu, dari 2 bulan hingga beberapa dekade yang lalu.

Antibodi IgG terhadap virus hepatitis A tidak berarti infeksi akut dan sebagian besar pasien yang memiliki antibodi IgG terhadap virus hepatitis A memiliki kekebalan seumur hidup terhadap infeksi virus hepatitis A.

Hepatitis B

Pemeriksaan untuk infeksi virus hepatitis B dibagi menjadi pemeriksaan untuk infeksi akut dan infeksi kronis.

Infeksi Akut

Pada pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis B akut, penanda serum pertama yang muncul adalah antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Antigen ini berarti bahwa pasien memiliki virus hepatitis B dalam darah, tetapi tidak menunjukkan infeksi akut atau kronis tanpa adanya gejala. 

Ketika pasien menunjukkan gejala hepatitis akut, keberadaan HBsAg sangat menunjukkan infeksi virus hepatitis B akut, tetapi juga tidak mengesampingkan infeksi hepatitis B kronis dengan superinfeksi akut oleh virus hepatitis jenis lain. 

HBsAg menghilang dalam waktu sekitar enam bulan setelah infeksi akut pada pasien yang membersihkan virus hepatitis B, tetapi jika tetap ada lebih dari enam bulan, ini menunjukkan infeksi kronis. 

Pasien yang akhirnya membersihkan HBsAg dari darah, antibodi terhadap HBsAg (anti-Hbs) muncul. Antibodi ini dapat bertahan seumur hidup dan diyakini memberikan kekebalan kepada pasien dari paparan virus hepatitis B berikutnya.

Antibodi pertama yang muncul adalah antibodi imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen inti hepatitis B (HBcAg). Kehadiran IgM anti-HBc juga berarti bahwa pasien memiliki infeksi virus hepatitis B akut dan diperlukan untuk membuat diagnosis. 

Setelah IgM anti-HBc menghilang dalam beberapa minggu, IgG anti-HBc terdeteksi, yang biasanya tetap ada seumur hidup. 

Pemeriksaan total untuk antibodi terhadap antigen inti hepatitis B (anti-HBc) dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG dan menunjukkan bahwa pasien memiliki riwayat infeksi virus hepatitis B pada suatu waktu di masa lalu karena tetap positif baik pada pasien yang membersihkan virus dan mereka yang memiliki infeksi persisten.

Antigen hepatitis B e (HBeAg) juga ada dan menunjukkan bahwa virus sedang bereplikasi. Setelah replikasi virus melambat, HBeAg menghilang dalam darah, dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe) muncul, yang dapat bertahan dalam darah untuk waktu yang lama.

Infeksi Kronis

Pasien yang memiliki infeksi hepatitis B kronis dapat memiliki HBsAg positif seumur hidup. Pasien-pasien ini dapat menjadi pembawa virus hepatitis B yang tidak aktif atau mungkin memiliki hepatitis kronis yang aktif. 

Semua pasien dengan infeksi virus hepatitis B kronis memiliki keberadaan anti-HBc. Sedangkan HBeAg bisa ada atau tidak. Demikian pula, DNA virus hepatitis B mungkin ada atau tidak, tetapi tingkat yang tinggi menunjukkan hepatitis kronis aktif. 

Pasien dengan infeksi kronis hepatitis B biasanya tidak memiliki anti-HBs, tetapi adanya anti-HBs dengan HBsAg positif pada pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B berarti antibodi tidak berhasil dalam menginduksi pembersihan virus.

Pasien yang menerima vaksin untuk virus hepatitis B mengembangkan anti-HBs protektif sebagai respons terhadap HBsAg rekombinan dalam vaksin. Pasien yang menerima vaksin tidak positif anti-HBc kecuali mereka memiliki infeksi virus hepatitis B sebelumnya.

Hepatitis C

Infeksi virus hepatitis C dapat dikonfirmasi dengan antibodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCV). Tes ini dapat mendeteksi antibodi dalam 4 sampai 10 minggu infeksi dan cukup sensitif dan spesifik. 

Anti-HCV dapat tetap negatif selama beberapa bulan setelah infeksi virus hepatitis C akut, tetapi begitu muncul dalam darah akan tetap ada seumur hidup. 

Namun, penting untuk diingat bahwa anti-HCV bukanlah antibodi pelindung, tidak seperti anti-HBs, dan tidak memberikan perlindungan dari paparan virus hepatitis C berikutnya.

Setelah pasien memiliki serologi hepatitis C positif, tes RNA virus hepatitis C dapat memberikan konfirmasi. Ini adalah tes yang paling spesifik untuk infeksi virus hepatitis C dan dapat mendeteksi infeksi akut bahkan sebelum antibodi berkembang. 

Biopsi hati adalah tes diagnostik yang penting terutama pada pasien dengan hepatitis C kronis dan dapat membantu dengan konfirmasi diagnosis, menyingkirkan penyakit lain, dan memungkinkan penilaian yang dapat diandalkan dari tingkat keparahan penyakit, termasuk tingkat keparahan fibrosis hati. 

Tes lain yang jarang digunakan termasuk tes fungsi hati yang dapat menunjukkan adanya cedera hati tetapi tidak terlalu akurat dalam memprediksi tingkat keparahan penyakit. 

Tes fungsi hati dapat lebih bermanfaat dalam memantau respons terapeutik terhadap pengobatan hepatitis C dengan peningkatan kadar aminotransferase yang menunjukkan pasien yang merespons pengobatan sementara memburuknya kadar aminotransferase pasca pengobatan hepatitis C dapat mengindikasikan kekambuhan. 

Namun, saat ini tidak umum digunakan karena RNA HCV telah menjadi tes pilihan bagi penyedia layanan kesehatan untuk memantau responnya.

Hepatitis D

Infeksi virus hepatitis D didiagnosis dengan memeriksa antibodi imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G IgG terhadap virus hepatitis D (anti-HDV). 

Antibodi IgM terhadap antigen inti hepatitis B (anti-HBc) harus diperiksa untuk membedakan koinfeksi di mana pasien dites positif untuk IgM anti-HBc dan superinfeksi. Tes RNA virus hepatitis D dapat dilakukan tetapi tidak dilakukan secara rutin.

Hepatitis E

Infeksi virus hepatitis E didiagnosis dengan memeriksa antibodi imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG) terhadap virus hepatitis E (anti-HEV). Juga, RNA virus hepatitis E dapat diperiksa dalam serum dan tinja pasien yang terinfeksi.

Hepatitis G

Virus hepatitis G biasanya diidentifikasi dengan memeriksa PCR RNA hepatitis G. Sebagian besar pasien mengembangkan antibodi, yang dapat dideteksi setelah pembersihan virus.

Koeksistensi RNA hepatitis G dan antibodi terhadap hepatitis G tidak umum. Setelah virus dibersihkan dan antibodi muncul, pasien sembuh total, tetapi pasien yang memiliki RNA hepatitis G persisten juga tidak memiliki tanda biokimia atau histologi penyakit hati. Sebagian kecil pasien dengan hepatitis G kronis mengembangkan fibrosis hati.

Hepatitis autoimun

Hepatitis autoimun harus selalu dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengan hepatitis akut. Pemeriksaan biasanya dimulai dengan pemeriksaan serologi yang mencakup serum antinuklear antibodi (ANA), anti-smooth muscle antibody (ASMA), serum protein electrophoresis (SPEP), antibodi mikrosomal tipe 1 hati-ginjal (LKM-1). antibodi sitosol 1 (anti-LC1), antibodi terhadap antigen hati terlarut (anti-SLA), antibodi sitoplasma antineutrofil perinuklear (pANCA) dan imunoglobulin kuantitatif. 

Pasien dapat mengalami peningkatan kadar aminotransferase secara signifikan bersamaan dengan peningkatan kadar imunoglobulin serum, terutama kadar gamma globulin dominan Ig G. 

Hipergammaglobulinemia sering ditemukan, dan pasien yang menderita hepatitis akut tanpa hipergamaglobulinemia tidak mungkin mengalami hepatitis autoimun. Kadar gamma globulin atau IgG dapat membantu memantau respons terhadap terapi. Tingkat aminotransferase tidak terlalu akurat dalam memprediksi keparahan penyakit atau respon terhadap terapi tetapi berguna sebagai tambahan dengan tes lain.

Hal lain memerlukan pemantauan adalah serum bilirubin dan alkaline phosphatase, yang dapat meningkat ringan sampai sedang pada sebagian besar pasien. Namun peningkatan tajam pada alkaline phosphatase dapat mengindikasikan perkembangan primary sclerosing cholangitis atau timbulnya karsinoma hepatoseluler terutama pada pasien dengan penyakit hati lanjut. 

Pasien dengan hepatitis autoimun mungkin juga mengalami peningkatan waktu protrombin (PT), hipoalbuminemia, leukopenia, anemia normokromik, trombositopenia, dan peningkatan laju sedimentasi eritrosit (ESR).

Biopsi hati adalah tes diagnostik standar pada pasien hepatitis autoimun. Pememriksaan ini tidak hanya dapat membantu menentukan tingkat keparahan penyakit, tetapi temuan histopatologis pada biopsi hati juga dapat membantu membedakannya dari infeksi hepatitis C kronis, hepatitis alkoholik, cedera hati akibat obat, sirosis bilier primer, atau kolangitis sklerosis primer.

Hepatitis alkoholik

Jika pasien datang dengan riwayat dan gejala penyalahgunaan alkohol, tanda-tanda khas, dan bukti disfungsi hati, maka biasanya tidak diperlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.

Jika riwayatnya tidak jelas atau jika pasien tidak memiliki tanda atau gejala penyalahgunaan alkohol jangka panjang, maka hitung darah lengkap dan metabolik bersama dengan studi fungsi hati dapat dilakukan. 

Pasien dapat mengalami anemia sedang dengan peningkatan mean corpuscular volume (MCV) karena alkohol menjadi penekan sumsum tulang secara langsung. Pasien juga dapat memiliki beberapa derajat leukositosis dengan peningkatan neutrofil. 

Pemeriksaan metabolik dapat menunjukkan hipokalemia dan hipomagnesemia akibat efek malnutrisi dan muntah. Protein C-reaktif dapat meningkat dan memiliki nilai prediksi positif yang sangat baik. 

Enzim hati memiliki pola karakteristik dengan aspartat aminotransferase (AST) yang cukup tinggi dan alanine aminotransferase (ALT) yang baik dalam kisaran referensi atau hanya sedikit meningkat dengan rasio AST dan ALT lebih besar dari 1. 

Namun, rasio AST/ALT lebih besar dari 1 pada pasien yang memiliki sirosis hati etiologi apapun. Oleh karena itu, bukan merupakan diagnosis hepatitis alkoholik pada pasien dengan penyakit hati lanjut. 

Alkaline phosphatase (ALP) biasanya hanya sedikit meningkat. Gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP) meningkat pada pasien dengan riwayat penggunaan alkohol tetapi tidak diagnostik hepatitis alkoholik. 

Biopsi hati biasanya tidak diperlukan tetapi tetap menjadi pilihan diagnostik yang berharga untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan ketidakpastian diagnostik dan untuk mengevaluasi tingkat keparahan penyakit.

Penatalaksanaan

Hepatitis Virus

Penatalaksanaan dasar hepatitis virus akut adalah suportif. Pasien yang mengalami mual muntah yang signifikan dan mereka yang berusia lanjut dan immunocompromised harus dirawat dan dimulai dengan cairan intravena untuk rehidrasi. 

Pasien yang memiliki komplikasi seperti abses hati, perdarahan varises, atau ensefalopati hepatik memerlukan perawatan yang tepat. Namun, sebagian besar pasien dapat dipantau dengan aman sebagai pasien rawat jalan. 

Pasien harus menghindari obat-obatan seperti asetaminofen atau zat seperti alkohol yang dapat menyebabkan hepatotoksik. Pasien dengan infeksi hepatitis virus akut harus istirahat yang cukup dan menghindari aktivitas fisik yang berat sampai gejala membaik. 

Jika diperlukan, pasien harus mendapatkan rujukan ke layanan khusus seperti gastroenterologi dan hepatologi.

Hepatitis A

Pengobatan untuk infeksi hepatitis A akut bersifat suportif. Tidak ada terapi antivirus untuk infeksi hepatitis A. Pasien yang mengalami mual atau muntah berat, serta mereka yang menunjukkan tanda-tanda gagal hati, harus dirawat dan dipantau secara ketat.

Hepatitis B

Pengobatan infeksi virus hepatitis B terbagi dalam dua kategori, pengobatan infeksi Hepatitis B Akut dan pengobatan infeksi Hepatitis B kronis.

Pengobatan Hepatitis B Akut

Pengobatan infeksi virus hepatitis B akut bersifat suportif dan mirip dengan pengobatan infeksi hepatitis A akut. Untuk kasus infeksi virus hepatitis B akut yang parah, lamivudine telah digunakan dan menunjukkan hasil yang baik.

Pengobatan Hepatitis B Kronis

Tujuan utama pengobatan untuk infeksi virus hepatitis B kronis adalah penghambatan replikasi virus dengan tujuan sekunder adalah mengurangi gejala dan mencegah atau menunda perkembangan hepatitis kronis menjadi sirosis atau karsinoma hepatoseluler.

Obat monoterapi lini pertama termasuk interferon alfa-2a pegilasi (PEG-IFN) dan nukleosida oral atau analog nukleotida seperti tenofovir atau entecavir. Terapi harus dipilih berdasarkan profil pasien individu, preferensi pasien atau penyedia, keamanan, kemanjuran, dan biaya pengobatan dan risiko resistensi obat.

Hepatitis C

Pengobatan infeksi virus hepatitis C dibagi menjadi dua kategori, pengobatan infeksi HCV akut dan infeksi HCV kronis.

Pengobatan Hepatitis C Akut

Infeksi hepatitis C akut biasanya tidak sering terdeteksi, tetapi bila terdeteksi terapi interferon dini merupakan pilihan pengobatan.

Data mengenai kemanjuran terapi interferon dini terbatas, tetapi beberapa penelitian telah menunjukkan respon virologi berkelanjutan seperti pada pengobatan infeksi virus hepatitis C kronis. 

Akan tetapi, harus diingat bahwa pasien dengan infeksi virus hepatitis C akut yang terdeteksi mungkin masih dapat menghilangkan infeksi secara spontan. 

Oleh karena itu, terapi antivirus dapat dimulai enam bulan setelah infeksi virus hepatitis C didiagnosis tergantung pada kasus per kasus kecuali dalam kasus infeksi HCV akut setelah transplantasi hati di mana terapi antivirus harus segera dimulai.

Pengobatan Hepatitis C Kronis

Tujuan utama pengobatan untuk infeksi virus hepatitis C kronis adalah pemberantasan virus, dan tujuan sekunder adalah mengurangi gejala, mencegah atau menunda perkembangan hepatitis kronis menjadi sirosis atau karsinoma hepatoseluler, serta mengobati komplikasi ekstrahepatik dari virus hepatitis C. 

Interferon pegilasi alfa-2b dan alfa-2a telah menjadi obat pilihan selama lebih dari dua dekade dan digunakan bersama dengan ribavirin sebagai terapi kombinasi. Terapi kombinasi ini biasanya diberikan dengan durasi 24 minggu hingga 48 minggu, tergantung pada genotipe virus hepatitis C. 

Terapi harus dipilih berdasarkan profil pasien individu, preferensi pasien, keamanan, kemanjuran, dan biaya pengobatan dan risiko resistensi obat. 

Hepatitis D

Pasien yang koinfeksi dengan virus hepatitis D dan virus hepatitis B biasanya menerima pengobatan dengan interferon pegilasi (PEG-IFN). Nukleosida oral atau analog nukleotida memiliki kemanjuran yang terbatas atau tidak ada sama sekali. 

Dalam satu penelitian, pasien yang memiliki infeksi virus hepatitis D dengan infeksi HIV yang hidup bersama diberikan terapi dengan tenofovir, yang menunjukkan kemanjuran yang baik. Namun, mekanisme pasti dari kemanjuran ini tidak diketahui, dan diperlukan lebih banyak penelitian.

Hepatitis E

Pengobatan untuk infeksi hepatitis E akut bersifat suportif. Pasien imunosupresi dan penerima transplantasi organ padat dapat mengembangkan infeksi hepatitis E kronis dan dapat menjalani pengobatan dengan ribavirin.

Interferon pegilasi (PEG-IFN) telah berhasil digunakan tetapi dikaitkan dengan banyak efek samping seperti kolestasis.

Hepatitis G

Saat ini tidak ada pengobatan yang direkomendasikan untuk hepatitis G. Pasien yang mengembangkan sirosis hati memiliki pengobatan dengan modalitas pengobatan serupa yang digunakan untuk mengobati sirosis dengan etiologi lain.

Hepatitis autoimun

Pengobatan dengan kortikosteroid atau dalam kombinasi dengan azathioprine, namun setelah pengobatan dihentikan sebagian besar pasien juga kambuh. Inisiasi pengobatan yang tepat waktu pada pasien ini menghasilkan perlambatan perkembangan penyakit.

Pasien yang mencapai remisi melaporkan perbaikan gejala yang signifikan dengan aminotransferase. Pasien-pasien ini dapat dikurangi steroidnya selama beberapa bulan dan kemudian dapat menghentikan azathioprine juga. 

Durasi pengobatan yang khas adalah sekitar dua tahun sebelum penghentian pengobatan dipertimbangkan. 

Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan banyak efek samping, termasuk jerawat, hirsutisme, fitur cushingoid, aritmia jantung, diabetes melitus, perubahan suasana hati, osteoporosis, patah tulang, hipertensi, dan katarak. 

Azathioprine dapat menyebabkan kolestasis, mual, muntah, pansitopenia, pankreatitis, dan ruam; namun, sebagian besar pasien mentoleransi azathioprine lebih baik daripada steroid dosis tinggi. 

Setiap pasien memerlukan penilaian individu terkait efek samping, dan dosis harus disesuaikan, atau pengobatan harus dihentikan tergantung pada tingkat keparahan efek samping dan tolerabilitas pengobatan. 

Pasien harus menerima suplemen kalsium dan vitamin D untuk mencegah perkembangan osteoporosis, dan pemindaian kepadatan tulang tahunan penting untuk dilakukan. 

Hepatitis alkoholik

Pasien dengan hepatitis alkoholik ringan tidak memerlukan pengobatan dan harus diberi konseling untuk berhenti minum alkohol, menjaga nutrisi yang tepat, dan harus mengkonsumsi vitamin tambahan, termasuk asam folat dan tiamin. 

Pasien yang memiliki koagulopati signifikan harus menerima vitamin K. Pasien yang berisiko tinggi mengalami putus alkohol harus mendapatkan pengobatan yang tepat. Sebaliknya, pasien dengan hepatitis alkoholik berat memiliki angka kematian yang tinggi dibandingkan dengan pasien dengan hepatitis alkoholik ringan. 

Pasien-pasien ini dapat datang dengan berbagai komplikasi seperti ensefalopati hepatik, perdarahan gastrointestinal, dan harus dirawat di rumah sakit untuk pemantauan lebih intensif. 

Pasien dapat memperoleh manfaat dari steroid dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, hanya pantang alkohol yang efektif. 

Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki

1. Defisit Nutrisi (D.0019)

Luaran: Status Nutrisi membaik (L.03030)

  • Porsi makan yang dihabiskan meningkat
  • Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
  • Pengetahuan tentang pilihan makanan dan minuman yang sehat meningkat
  • Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
  • Perasaan cepat kenyang menurun
  • Berat badan dan Indeks massa tubuh (IMT) membaik
  • Frekuensi dan nafsu makan membaik
  • Tebal lipatan kulit trisep dan membran mukosa membaik

Intervensi: Manajemen Nutrisi (I.03119)

  • Identifikasi status nutrisi
  • Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
  • Identifikasi makanan yang disukai
  • Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
  • Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
  • Monitor asupan makanan
  • Monitor  berat badan
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
  • Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
  • Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
  • Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
  • Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
  • Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
  • Berikan suplemen makanan, jika perlu
  • Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
  • Anjurkan posisi duduk, jika mampu
  • Ajarkan diet yang diprogramkan
  • Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
  • Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

2. Resiko Infeksi (D.0142)

Luaran : Tingkat Infeksi Menurun (L.14137)

  • Kebersihan dan nafsu makan meningkat
  • Demam menurun
  • Periode malaise menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (I.14137)

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada daerah edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi

3. Resiko ketidakseimbangan Cairan (D.0036).

Luaran: Keseimbangan Cairan Meningkat (L.03021)

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Cairan (I.03098)

  • Monitor status hidrasi seperti  frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembaban mukosa, turgor kulit, tekanan darah.
  • Monitor berat badan harian
  • Monitor hasil pemeriksaan laboratorium Seperti  Hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin , BUN.
  • Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)
  • Catat intake output dan hitung balance cairan dalam 24 jam
  • Berikan  asupan cairan sesuai kebutuhan
  • Berikan cairan intravena bila perlu

b. Pemantauan Cairan (I.03121)

  • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
  • Monitor frekuensi nafas
  • Monitor tekanan darah
  • Monitor berat badan
  • Monitor waktu pengisian kapiler
  • Monitor elastisitas atau turgor kulit
  • Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
  • Monitor kadar albumin dan protein total
  • Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN)
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi tanda-tanda hypervolemia seperti  Dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat.
  • Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasi hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

4. Keletihan (D.0057)

Luaran: Tingkat Keletihan Membaik

  • Verbalisasi kepulihan energi meningkat
  • Tenaga meningkat
  • Kemampuan melakukan aktivitas rutin meningkat
  • Motivasi meningkat
  • Verbalisasi lelah menurun
  • Lesu menurun
  • Gangguan konsentrasi menurun
  • Sianosis menurun
  • Selera makan membaik
  • Pola napas dan pola istirahat membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Energi (I.05178)

  • Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
  • Monitor kelelahan fisik dan emosional
  • Monitor pola dan jam tidur
  • Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
  • Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus seperti cahaya, suara, dan kunjungan
  • Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
  • Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
  • Fasilitas duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
  • Anjurkan tirah baring
  • Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
  • Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
  • Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
  • Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

b. Edukasi Aktivitas / Istirahat (I.12362)

  • Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
  • Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat
  • Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
  • Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
  • Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin
  • Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain atau aktivitas lainnya
  • Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
  • Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat seperti kelelahan, sesak nafas saat aktivitas.
  • Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai kemampuan

5.Defisit pengetahuan (D.0111)

Luaran : tingkat pengetahuan membaik ( L.12111)

  • Perilaku klien sesuai dengan yang di anjuran meningkat
  • Minat klien dalam belajar meningkat
  • Kemampuan klien menjelaskan pengetahuan tentang penyakitnya meningkat
  • Kemampuan klien menggambarkan
  • pengalaman sebelumnya yang sesuai dengan penyakitnya meningkat
  • Perilaku sesuai dengan pengetahuannya meningkat
  • Pertanyaan tentang penyakitnya menurun
  • Persepsi keliru tentang penyakitnya menurun
  • Perilaku klien membaik

Intervensi : edukasi kesehatan (l.12383)

  • Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
  • Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
  • Berikan kesempatan untuk bertanya
  • Jelaskan klien tentang penyakitnya
  • Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan

Referensi:

Metha P, Reddivari AKR. 2021. Hepatitis. Treasure Island (FL). Stat Pearls Publishing.

WHO. n.d. Hepatitis. https://www.who.int/health-topics/hepatitis.

Sonal Kumar. 2022. Overview of Chronic Hepatitis. MSD Manual Professional Edition. 

Naga Swetha Samji, MD. 2017. Viral Hepatitis. Medscape Emedicine.

Matt Vera BSN, RN. 2022. Hepatitis Nursing Care Plans. Nurses Labs

PPNI. 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI. 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI. 2019.  Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Zul Hendry
Zul Hendry Dosen Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Mataram