Widget HTML #1

Askep Tetanus Sdki Slki Siki

Tetanus adalah infeksi yang ditandai dengan kejang otot dan rahang terkunci yang dikenal dengan istilah trismus. Penyakit ini menyebar melalui kontak dengan benda atau permukaan yang telah terkontaminasi Clostridium Tetani Pada tulisan ini, Repro Note akan merangkum mengenai askep tetanus dengan pendekatan Sdki Slki Siki.

Askep Tetanus Sdki
Image by Burnham, Athel Campbell, b. 1880 on flickr

Pendahuluan

Tetanus pertama kali dijelaskan di Mesir lebih dari 3000 tahun yang lalu dan banyak terjadi  di seluruh dunia pada masa itu. Meskipun telah tersedia imunisasi pasif sejak tahun 1893 dan vaksinasi aktif yang efektif sejak tahun  1923, tetanus tetap menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang dan masih ditemui di negara maju.

Tetanus terjadi ketika spora dari bakteri gram positif anaerob Clostridium tetani melepaskan neurotoksin tetanospasmin. Clostridium tetani ada di mana-mana di tanah, debu, dan 10-25% saluran pencernaan manusia (GI), tetapi spora membutuhkan kondisi anaerob untuk aktif seperti infeksi luka dan nekrosis jaringan. 

Inokulasi spora Clostridium tetani dapat terjadi setelah trauma yang menyebabkan kerusakan kulit atau mukosa meskipun sumber atau lokalisasinya tidak selalu jelas.

Tetanospasmin yang dilepaskan berikatan dengan akson neuron motorik dan otonom khususnya reseptor yang mengandung gangliosida dan mendapatkan akses ke sistem saraf pusat melalui transpor retrograde aksonal dalam 2–14 hari sebelum akhirnya mencapai interneuron penghambat sentral di sumsum tulang belakang dan batang otak. 

Begitu mencapai saraf pusat, tetanospasmin ini akan mengganggu pelepasan neurotransmiter penghambat glisin di sumsum tulang belakang dan GABA di batang otak sehingga  mengakibatkan aktivitas otot yang berlebihan, kekakuan, dan hiperaktivitas otonom.

Tetanus jauh lebih umum di negara berkembang. Terdapat  sekitar 300.000 kasus yang dilaporkan di seluruh dunia/tahun.  Delapan puluh persen dari kematian ini terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Hal ini dipengaruhi oleh penyebaran vaksin yang tidak lengkap di antara populasi berisiko dan kualitas toksoid tetanus.

Epidemiologi

Meskipun tetanus bisa mengenai semua orang dari berbagai tingkat usia, namun prevalensi tertinggi terlihat pada bayi baru lahir dan dewasa muda. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan kematian tetanus di seluruh dunia pada tahun 1997 sekitar 275.000 dengan peningkatan angka pada tahun 2011 sekitar 14.132 kasus. 

Namun, dari kasus-kasus ini prevalensi tetanus masih lebih tinggi di negara berkembang yang memiliki sumber daya rendah dibandingkan dengan negara maju, dengan angka kematian 20-45%. Variasi tingkat kematian ini terkait dengan ketersediaan sumber daya, terutama ventilasi mekanis, pemantauan tekanan darah invasif, dan pengobatan dini.

Insiden tetanus neonatal menurun karena dilakukan program vaksinasi rutin di seluruh dunia, yang dikombinasikan dengan vaksin lain seperti pertusis dan difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak lengkap.

Di negara-negara dengan sumber daya tinggi seperti Amerika Serikat, kasus tetanus terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang lanjut usia yang sistem kekebalan tubuhnya  menurun seiring waktu. Pengguna obat intravena juga berisiko karena jarum atau obat yang terkontaminasi.

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang ditemukan di tanah, debu, atau kotoran hewan. Clostridium tetani adalah bakteri gram positif, pembentuk spora, basil anaerob obligat. Bakteri ini dan sporanya ditemukan di seluruh dunia, namun lebih sering ditemukan di daerah dengan iklim panas dan basah di mana tanahnya kaya akan bahan organik.

Clostridium tetani dapat memasuki tubuh manusia melalui tusukan luka, laserasi, kerusakan kulit, atau inokulasi dengan jarum suntik yang terinfeksi atau gigitan serangga. Sumber infeksi yang paling umum adalah luka yang seringkali kecil dan mungkin tidak diketahui, seperti luka kecil akibat serpihan kayu, duri,  atau logam. 

Populasi berisiko tinggi termasuk mereka yang belum divaksinasi, pengguna narkoba suntikan, dan mereka yang mengalami imunosupresi. Penyebab infeksi lainnya telah didokumentasikan terjadi akibat prosedur pembedahan, suntikan intramuskular, fraktur multiple, infeksi gigi, dan gigitan anjing.

Spora tetanus dapat bertahan lama di lingkungan tertentu. Sumber infeksi, dalam banyak kasus, adalah luka, biasanya dari cedera ringan. Penyebab tetanus yang sangat umum adalah kurangnya imunisasi. Bahkan mereka yang sudah divaksinasi bisa kehilangan kekebalan seiring bertambahnya usia.

Tetanus juga dapat berkembang sebagai akibat dari kondisi kronis seperti abses dan gangren. Selain itu, pasien luka bakar dan pasien yang menjalani operasi juga dapat terkena infeksi.

Tetanus biasanya terjadi pada orang yang tidak diimunisasi, diimunisasi sebagian, atau diimunisasi lengkap tetapi kekurangan dosis penguat yang memadai. Faktor risiko tetanus neonatal meliputi Ibu yang tidak divaksinasi, pemotongan tali pusar yang tidak steril, dan memiliki riwayat tetanus neonatus sebelumnya.

Patofisiologi

Clostridium tetani mengeluarkan toksin disebut tetanospasmin dan tetanolisin yang menyebabkan "kejang tetanik" yang khas berupa kontraksi otot agonis dan antagonis. Secara khusus, tetanospasmin mempengaruhi interaksi saraf dan endplate otot motorik, menyebabkan sindrom klinis kekakuan, kejang otot, dan ketidakstabilan otonom. sedangkan toksin tetanolysin memiliki efek merusak jaringan.

Pada tempat inokulasi, spora tetanus masuk ke dalam tubuh dan berkembang di area luka. Perkembangan bakteri membutuhkan kondisi anaerobik tertentu seperti jaringan nekrosis dan mati yang memiliki potensi oksidasi-reduksi rendah. 

Setelah berkembang, bakteri melepaskan tetanospasmin ke dalam aliran darah. Toksin ini memasuki terminal presinaptik di endplate neuromuskuler neuron motorik dan menghancurkan protein membran sinaptik vesikular yang mengakibatkan inaktivasi neurotransmisi penghambatan yang biasanya menekan neuron motorik dan aktivitas otot dan melumpuhkan serat otot. 

Selanjutnya, melalui transpor aksonal retrograde toksin ini dibawa ke neuron di sistem saraf pusat, di mana ia juga menghambat pelepasan neurotransmitter. Kondisi ini terjadi kira-kira 2-14 hari setelah inokulasi. 

Karena glisin dan GABA adalah neurotransmitter penghambat utama, sel gagal menghambat respons refleks motorik terhadap stimulasi sensorik, menyebabkan kejang tetanik. Hal ini dapat menyebabkan aktivitas dan kontraksi otot yang sangat kuat sehingga patah tulang dan robekan otot dapat terjadi.

Masa inkubasi dapat berlangsung dari satu hingga 60 hari tetapi rata-rata sekitar 7-10 hari. Tingkat keparahan gejala tergantung pada jarak sumber inokulasi dari sistem saraf pusat, dengan gejala yang lebih parah terkait dengan masa inkubasi yang lebih singkat. 

Setelah toksin saraf memasuki batang otak akan terjadi disfungsi otonom, biasanya pada minggu kedua timbulnya gejala. Dengan hilangnya kontrol otonom, pasien dapat mengalami ketidakstabilan denyut jantung dan tekanan darah, diaphoresis, bradyarrhythmias, dan serangan jantung. 

Gejala dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, dengan tingkat kematian 10% bahkan lebih tinggi pada mereka yang tidak divaksinasi sebelumnya. 

Sering terjadi komplikasi neuropsikiatri motorik dan jangka panjang pada pasien yang selamat; namun sebagian juga bisa sembuh secara total.

Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala yang timbul pada pasien  tetanus meliputi rahang terkunci, ekspresi wajah meringis (risus sardonicus), kejang otot umum yang berhubungan dengan nyeri hebat, air liur, buang air kecil dan buang air besar yang tidak terkendali, dan kejang punggung melengkung (opistotonus) yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan. 

Secara umum trismus muncul sebagai gejala pertama yang diikuti dengan perkembangan kejang di seluruh tubuh. Kejang refleks terjadi pada sebagian besar pasien dan dapat dipicu oleh rangsangan eksternal seperti kebisingan, sentuhan, atau cahaya.

Temuan pemeriksaan fisik dapat bervariasi secara signifikan dari satu pasien ke pasien lainnya. Tes spatula merupakan salah satu teknik pemeriksaan yang dapat memberikan petunjuk terhadap diagnosis, termasuk stimulasi dinding faring posterior yang menimbulkan refleks spasme otot masseter yang menyebabkan pasien menggigit.

Keterlibatan otonom menyebabkan hipertensi dan takikardia atau hipotensi dan bradikardia. Dalam kasus ekstrim, serangan jantung juga dapat terjadi.

Pasien juga dapat datang dengan keluhan nyeri perut yang mungkin bisa disalah artikan sebagai penyakit akut abdomen. 

Terdapat empat bentuk tetanus berdasarkan temuan klinis yaitu tetanus umum, tetanus neonatal, tetanus lokal, dan tetanus serebral.

Tetanus Umum

Tetanus Tetanus umum adalah bentuk tetanus yang paling banyak terjadi yaitu sekitar 80% kasus. Pasien datang dengan pola spasme otot menurun, pertama muncul dengan rahang terkunci, dan risus sardonicus (senyum kaku karena kontraksi otot wajah yang berkelanjutan). 

Kondisi ini dapat berkembang menjadi leher kaku, kesulitan menelan, dan otot dada dan betis yang kaku. Kejang ini dapat terjadi hingga 4 minggu, dengan pemulihan penuh membutuhkan waktu berbulan-bulan. 

Ketidakstabilan otonom juga dapat terjadi pada pasien yang disertai dengan demam, disritmia, ketidakstabilan tekanan darah dan denyut jantung, kesulitan pernapasan, ekskresi katekolamin, dan bahkan kematian dini.

Tetanus Neonatal

Tetanus neonatal adalah bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru lahir dari ibu yang tidak diimunisasi atau dari infeksi melalui alat yang terkontaminasi saat pemotongan tali pusat. Bayi dari ibu yang diimunisasi umumnya tidak terkena tetanus karena kekebalan pasif dari ibu. 

Bayi yang terinfeksi menunjukkan gejala iritabel, susah minum asi, wajah meringis, kaku, dan kontraksi spastik parah yang dipicu oleh sentuhan. Terdapat laporan kasus tentang konsekuensi jangka pada bayi yang selamat berupa gangguan perkembangan saraf, masalah perilaku, dan defisit perkembangan motorik kasar, bicara, dan bahasa.

Tetanus Lokal 

Tetanus lokal dan tetanus cephalic adalah bentuk tetanus yang paling langka. Tetanus lokal adalah kontraksi otot yang terus-menerus di lokasi cedera yang dapat bertahan selama berminggu-minggu. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi bentuk tetanus umum yang lebih mengancam jiwa. 

Tetanus Cephalik

Tetanus cephalic atau serebral terbatas pada otot dan saraf kepala. Tetanus cephalic paling sering terjadi setelah trauma kepala seperti patah tulang tengkorak, laserasi kepala, cedera mata, prosedur gigi, otitis media, atau dari tempat cedera lain. 

Gejalanya berupa leher kaku, disfagia, trismus, kelopak mata retraksi, pandangan menyimpang, dan risus sardonicus. Saraf wajah paling sering terlibat, Namun saraf kranial lainnya juga bisa terpengaruh. Temuan ini dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut seperti aspirasi bronkus, kelumpuhan otot pernapasan dan laring, serta kegagalan pernapasan. Tetanus cephalik juga dapat berkembang menjadi tetanus umum.

Pemeriksaan Diagnostik

Penegakan diagnosis tetanus lebih sering dilakukan berdasarkan gejala klinis tanpa tes laboratorium tertentu. Pada kondisi khusus mungkin dilakukan kultur dan isolasi organisme, namun hal ini hanya dilakukan pad pada sekitar 30% kasus. 

Manifestasi klinis utama yang perlu diperhatikan saat mendiagnosis tetanus antara lain onset akut dan kontraktur otot dengan kejang umum tanpa penyebab medis lainnya. Beberapa pasien dapat mengingat riwayat cedera, tetapi tidak semua.

Uji kadar antitoksin dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tetanus. Tingkat serum antitoksin 0,01 IU/mL atau lebih tinggi secara umum dianggap sebagai kemungkinan tetanus yang lebih kecil.

Tes spatula menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk diagnosis klinis tetanus. Prosedur ini dilakukan dengan penggunaan instrumen berujung lunak untuk menyentuh dinding faring posterior. Jika pada tes spatula terjadi kontraksi rahang yang tidak disengaja dan bukan refleks muntah yang normal, maka menunjukkan hasil tes positif terjadinya tetanus.

Penting untuk dicatat bahwa infeksi terjadi pada orang tanpa kekebalan atau tingkat serum antibodi anti-tetanus yang rendah. Komplikasi yang mengancam jiwa dari tetanus dapat terjadi, termasuk pneumonia sekunder akibat aspirasi, laringospasme, rhabdomyolysis, perdarahan gastrointestinal bagian atas, ketidakstabilan kardiovaskular seperti serangan jantung sementara, takikardi, atau bradikardi, aritmia, hipertensi, gagal ginjal akut, dan infeksi luka sekunder. 

Kematian akibat infeksi terjadi akibat gagal napas dan kolaps kardiovaskular, terkait dengan disfungsi otonom.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tetanus didasarkan pada tingkat keparahan penyakit yang mencakup:

  • Debridement luka
  • Manajemen suportif
  • Terapi antibiotik
  • Pemberian human tetanus immunoglobulin (HTIG) intramuskular atau intravena dini
  • Blokade neuromuskular
  • Pengontrolan manifestasi klinis
  • Pengelolaan komplikasi

Pengobatan lini pertama termasuk pemberian HTIG untuk menghilangkan toksin tetanospasmin. Namun, HTIG tidak mempengaruhi toksin yang sudah terikat pada sistem saraf pusat. HTIG juga mempersingkat perjalanan penyakit dan dapat membantu mengurangi keparahan. HTIG disuntikkan secara intratekal, terutama pada kasus tetanus serebral. 

Meskipun racun adalah penyebab utama penyakit, metronidazole telah terbukti memperlambat perkembangan penyakit. Metronidazole juga telah terbukti menurunkan angka kematian. Penisilin tidak lagi direkomendasikan setelah ditemukan bahwa obat tersebut mungkin memiliki efek sinergis dengan tetanospasmin. 

Antispasmodik seperti benzodiazepin, baclofen, vecuronium, pancuronium, dan propofol telah digunakan berdasarkan kondisi klinis. Baclofen juga dapat diberikan secara intratekal dan terbukti efektif dalam mengendalikan kekakuan otot.

Untuk tetanus yang lebih parah, pasien bisa dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan sedasi dan ventilasi mekanis. 

Benzodiazepin dan diazepam adalah obat yang paling sering digunakan karena tidak hanya mengurangi kecemasan tetapi juga menyebabkan sedasi dan melemaskan otot, sehingga mencegah komplikasi pernafasan. 

Magnesium intravena telah terbukti mencegah kejang otot. Diazepam atau midazolam, benzodiazepin agonis GABA, diberikan untuk mencegah komplikasi pernapasan atau kardiovaskular. 

Penatalaksanaan suportif diberikan terutama untuk pasien dengan ketidakstabilan otonom seperti ketidakstabilan tekanan darah, hiperpireksia, hipotermia. Magnesium sering digunakan dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengatasi komplikasi ini.

Selama infus magnesium refleks patella perlu dipantau, jika areflexia berkembang maka dosisnya harus dikurangi. Morfin sering digunakan untuk mengelola tekanan darah tinggi. 

Memberikan diet tinggi kalori untuk mengkompensasi peningkatan penggunaan metabolisme dari kontraksi otot juga penting.

Manajemen status pernapasan, komplikasi kardiovaskular, dan disfungsi otonom sangat penting untuk kelangsungan hidup. Selain itu, semua pasien memerlukan imunisasi tetanus toksoid lengkap pada saat pemulihan karena infeksi tidak memberikan kekebalan di masa depan.

Komplikasi

Komplikasi tetanus yang bisa terjadi antara lain kontraksi otot pernapasan, pita suara, dan area kritis tubuh lainnya. Overaktivitas simpatis adalah penyebab kematian terkait tetanus yang paling signifikan pada pasien kritis. Komplikasi lebih lanjut meliputi:

Kelumpuhan pita suara yang menyebabkan gangguan pernapasan

  • Patah tulang panjang
  • Ileus paralitik
  • Dislokasi sendi
  • Koma
  • Kelumpuhan saraf
  • Retensi urin
  • Kejang

Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki

1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif (Sdki D.0001)

Luaran: Bersihan Jalan Napas Meningkat (Slki L.01002) dengan kriteria hasil:

  • Batuk efektif meningkat
  • Produksi sputum menurun
  • Mengi menurun
  • Wheezing menurun
  • Mekonium (pada neonatus) menurun

Intervensi Keperawatan: Manajemen Jalan Napas (I.01011)

Observasi

  • Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
  • Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering)
  • Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

  • Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
  • Berikan minum hangat
  • Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
  • Lakukan hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal
  • Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGill
  • Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

  • Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi

Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

b. Pemantauan Respirasi (I.01014)

Observasi

  • Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
  • Monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kusmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
  • Monitor kemampuan batuk efektif
  • Monitor adanya produksi sputum
  • Monitor adanya sumbatan jalan napas
  • Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
  • Auskultasi bunyi napas
  • Monitor saturasi oksigen
  • Monitor nilai analisa gas darah
  • Monitor hasil x-ray thoraks

Terapeutik

  • Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
  • Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

2. Pola Nafas Tidak Efektif (Sdki D.0005)

Luaran: Pola nafas membaik (Slki L.01004)

  • Dispnea menurun
  • Penggunaan otot bantu napas menurun
  • Pemanjangan fase ekspirasi menurun
  • Frekuensi nafas membaik
  • Kedalaman nafas membaik

Intervensi Keperawatan : 

a. Manajemen Jalan Nafas (Siki I.01011)

b. Pemantauan Respirasi (Siki I.01014)

3. Risiko Infeksi (Sdki D.0412)

Luaran: Tingkat Infeksi Menurun (Slki L.14137)

  • Demam menurun
  • Kemerahan menurun
  • Nyeri menurun
  • Bengkak menurun
  • Kadar sel darah putih membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Infeksi (Siki I.14539)

Observasi

  • Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
  • Terapeutik
  • Batasi jumlah pengunjung
  • Berikan perawatan kulit pada area edema
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
  • Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi

Edukasi

  • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
  • Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
  • Ajarkan etika batuk
  • Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
  • Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
  • Anjurkan meningkatkan asupan cairan

Kolaborasi

  • Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

4. Risiko Cedera (Sdki D.0136)

Luaran: Tingkat Cedera Menurun (Slki L.14136)

  • Kejadian cedera menurun
  • Luka menurun

Intervensi:

a. Manajemen Keselamatan Lingkungan (Siki I.14513)

Observasi

  • Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis: kondisi fisik, fungsi kognitif, dan Riwayat perilaku)
  • Monitor perubahan status keselamatan lingkungan

Terapeutik

  • Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis: fisik, biologi, kimia), jika memungkinkan
  • Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko
  • Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis: commode chair dan pegangan tangan)
  • Gunakan perangkat pelindung (mis: pengekangan fisik, rel samping, pintu terkunci, pagar)
  • Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (mis: puskesmas, polisi, damkar)
  • Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
  • Lakukan program skrining bahaya lingkungan (mis: timbal)

Edukasi

  • Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan

b. Pencegahan cedera (Siki I.14537)

Observasi

  • Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
  • Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
  • Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stocking elastis pada ekstremitas bawah

Terapeutik

  • Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis: penggunaan telepon, tempat tidur, penerangan ruangan, dan lokasi kamar mandi)
  • Sediakan pispot dan urinal untuk eliminasi di tempat tidur, jika perlu
  • Pastikan bel panggilan atau telepon mudah terjangkau
  • Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
  • Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
  • Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
  • Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan Kesehatan
  • Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi atau alarm sensor pada tempat tidur atau kursi
  • Diskusikan Bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
  • Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan

Edukasi

  • Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga

Referensi : 

  1. Bae C, Bourget D. 2022. Tetanus. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing
  2. De Assis Aquino Gondim, F. (2014). Tetanus. Encyclopedia of the Neurological Sciences, 417–418.
  3. Liane Clores RN. 2015. Nursing Care Plan-Tetanus. Nursingcrib.com
  4. Tiwari, T. S. P. (2017). Tetanus. International Encyclopedia of Public Health, 158–163. 
  5. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  6. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  7. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat