Widget HTML #1

Askep Gagal Ginjal Akut Pendekatan Sdki Slki Siki

Gagal ginjal akut atau cedera ginjal akut (AKI) adalah kondisi dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dan bersifat reversibel yang ditandai dengan penurunan volume urin dan peningkatan kadar kreatinin dalam tubuh. Pada tulisan ini Repro Note akan merangkum mengenai konsep dan askep gagal ginjal akut menggunakan pendekatan Sdki Slki dan Siki.

Tujuan : 

  • Memahami definisi, epidemiologi, penyebab, faktor resiko, serta tanda dan gejala gagal ginjal akut
  • Memahami pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien yang mengalami gagal ginjal akut
  • Melakukan pengkajian pasien pada askep gagal ginjal akut
  • Merumuskan diagnosa keperawatan pada askep gagal ginjal akut menggunakan pendekatan Sdki
  • Merumuskan luaran dan kriteria hasil pada askep gagal ginjal akut menggunakan pendekatan Slki
  • Melaksanakan Intervensi keperawatan pada askep gagal ginjal akut menggunakan pendekatan Siki
  • Melakukan edukasi pasien dan keluarga pada askep gagal ginjal akut
Askep Gagal Ginjal Akut Sdki
Image by https://www.scientificanimations.com on wikimedia.org

Konsep Penyakit Dan Askep Gagal Ginjal Akut

Pendahuluan

Gagal ginjal akut (ARF) atau yang dikenal dengan Cedera Ginjal akut (AKI) adalah kondisi klinis yang menunjukkan penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dan bisanya bersifat reversibel yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR).

Pada gagal ginjal akut, penurunan fungsi ginjal terjadi secara tiba-tiba yang meliputi cedera dan kehilangan fungsi. 

Gagal ginjal akut sering terjadi pada pasien yang sedang dalam masa rawat inap di rumah sakit, terutama pada pasien dengan penyakit kritis dan membutuhkan perawatan intensif. Sebagian besar pasien cedera ginjal akut memiliki beberapa etiologi yang terjadi secara bersamaan seperti sepsis, iskemia, dan nefrotoksisitas.  

Seorang pasien juga bisa dicurigai mengalami gagal ginjal akut juga jika terjadi penurunan produksi urin secara mendadak walaupun Kadar nitrogen urea darah (BUN) atau kreatinin darah berada dalam kisaran normal. Kondisi ini dapat menyebabkan akumulasi air, natrium, produk metabolisme lainnya dan gangguan elektrolit. 

Tidak ada definisi mutlak yang dipakai untuk menggambarkan gagal ginjal akut. Menurut kriteria KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcome), gagal ginjal akut ditandai dengan: Peningkatan kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL atau lebih dalam waktu 48 jam, Peningkatan kreatinin serum menjadi 1,5 kali atau lebih dari standar normal dalam tujuh hari sebelumnya, dan volume urin kurang dari 0,5 mL/kg/jam minimal selama 6 jam.

Gagal ginjal akut diklasifikasikan menjadi AKI Prerenal, Penyakit ginjal akut intrinsik, dan nefropati obstruktif post renal akut.

Epidemiologi

Definisi standar yang bervariasi pada gagal ginjal akut memiliki dampak yang besar terhadap kejadian yang dilaporkan, signifikansi klinis, dan dampak yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan pelaporan Insiden bervariasi, tergantung pada definisi yang digunakan, populasi pasien dan wilayah geografis yang diteliti.

Pada daerah perkotaan di negara berkembang, penyebab utama gagal ginjal akut adalah penyakit yang didapat di rumah sakit seperti iskemia ginjal, sepsis, dan obat nefrotoksik.Sedangkan di daerah pedesaan lebih sering disebabkan oleh penyakit yang didapat dari masyarakat  seperti diare, dehidrasi, penyakit menular, racun hewan, dan lain-lain.

Kurangnya pelaporan gagal ginjal akut di negara-negara berkembang juga merupakan masalah besar baik terkait pemetaan dan penanganan dampaknya terhadap kesehatan secara keseluruhan .

Di negara maju prevalensi gagal ginjal akut semakin meningkat. Pada pasien rawat inap di rumah sakit diperkirakan terjadi hingga 15% dan lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami penyakit kritis dengan prevalensinya diperkirakan mencapai 60%. Sedangkan gagal ginjal akut di komunitas biasanya jarang terjadi,  penelitian memperkirakan kejadiannya sebesar 4,3%.

Beberapa penelitian difokuskan pada populasi khusus seperti lansia dan anak-anak. Dalam penelitian epidemiologi dengan skala besar baru-baru ini, kejadian gagal ginjal akut pada anak di Amerika Serikat ditemukan terjadi pada 3,9 per 1000 pasien rawat inap.

Mayoritas kasus Gagal ginjal akut pada anak-anak adalah dampak sekunder akibat mekanisme responsif volume cairan seperti diare, hipoperfusi ginjal setelah pembedahan, dan sekunder akibat sepsis.

Kondisi lain seperti sindrom hemolitik uremik dan glomerulonefritis telah terbukti frekuensinya meningkat di berbagai belahan dunia dengan efek yang bervariasi biasanya karena keterlambatan rujukan anak ke rumah sakit.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa gagal ginjal akut pada lansia diatas 65 tahun semakin meningkat dan ditemukan bahwa terdapat hubungan yang linear antara gagal ginjal akut dan peningkatan usia lansia.

Hal ini sebagian disebabkan oleh perubahan anatomi dan fisiologis pada ginjal lansia dan sebagian karena adanya berbagai penyakit penyerta seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, Gagal ginjal kronis (GGK) yang mungkin memerlukan prosedur atau pengobatan yang memicu stres, mengubah hemodinamik ginjal atau bersifat nefrotoksik.

Penyebab

Terdapat banyak kemungkinan penyebab gagal ginjal akut, terutama terkait dengan masalah oksigenasi dan nutrisi akibat gangguan mikrosirkulasi ke nefron dan peningkatan kebutuhan energi karena stres seluler. 

Secara umum, diagnosis dan pengelolaan gagal ginjal akut dikelompokan berdasarkan konsep klasifikasi menjadi tiga kategori utama yaitu  pre-renal, intrinsik dan post-renal.

Pada Gagal ginjal akut prerenal, hipoperfusi ginjal menyebabkan penurunan GFR tanpa kerusakan parenkim ginjal sebagai respon adaptif terhadap berbagai kerusakan diluar ginjal. Perfusi ginjal yang adekuat sangat mempengaruhi kemampuannya untuk mempertahankan GFR normal.

Ginjal menerima sekitar 25% dari curah jantung, sehingga setiap kegagalan sirkulasi sistematis volume darah atau kegagalan sirkulasi intrarenal dapat berdampak besar pada perfusi ginjal.

Pada gagal ginjal akut intrinsik (Intrarenal), penyebab dapat menjadi tantangan untuk dievaluasi karena berbagai cedera yang dapat terjadi pada ginjal. Umumnya, empat struktur ginjal yang terlibat termasuk tubulus, glomerulus, interstitium, dan pembuluh darah intrarenal. 

Nekrosis tubular akut (ATN) adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk gagal ginjal akut akibat kerusakan pada tubulus. Nekrosis tubular akut adalah jenis cedera ginjal intrinsik yang paling umum terjadi. 

Gagal ginjal akut akibat kerusakan glomerulus terjadi pada kasus glomerulonefritis akut (GNA) yang parah. 

Sedangkan gagal ginjal akut akibat dari kerusakan vaskuler terjadi karena cedera pada pembuluh darah intrarenal menurunkan perfusi ginjal dan menyebabkan penurunan GFR sehingga akhirnya terjadi nefritis interstisial akut akibat reaksi alergi terhadap berbagai obat atau infeksi.

Gagal Ginjal Akut Post Renal terjadi akibat obstruksi akut aliran urin yang meningkatkan tekanan intra-tubular dan pada akhirnya menurunkan GFR. Selain itu, obstruksi saluran kemih akut dapat menyebabkan gangguan aliran darah ginjal dan proses inflamasi yang juga berkontribusi terhadap penurunan GFR.

Gagal Ginjal Akut Post renal dapat berkembang jika obstruksi area manapun pada saluran urin setelah ginjal, mulai tubulus ginjal hingga uretra. Obstruksi urin dapat muncul dengan gejala anuria, aliran urin intermiten (poliuria bergantian dengan oliguria), tetapi juga dapat muncul berupa nokturia atau non oligurik. 

Tabel Penyebab Gagal Ginjal Akut

Kategori GGA

Kelainan Pencetus

Kemungkinan Penyebab

GGA Pre Renal

Hipovolemia

Perdarahan, Deplesi Volume, Kehilangan Cairan Ginjal (Over Diuresis), Luka bakar, peritonitis, trauma otot

Gangguan Fungsi Jantung

Gagal Jantung Kongestif, Infark Miokard Akut, Emboli paru masif

Vasodilatasi Sistemik

Obat Antihipertensi, Bateremia gram negatif, Sirosis, Anafilaksis

Peningkatan Resistensi Pembuluh Darah

Anestesi, Bedah, Sindrom Hepatorenal, Obat NSAID, Obat yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal

GGA Intra Renal (Intrinsik)

Tubular

Iskemia Ginjal (Syok, Komplikasi pembedahan, perdarahan, trauma, bakteremia, pankreatitis, kehamilan)

Obat Nefrotoksik (Antibiotik, obat antineoplastik, media kontras, pelarut organik, obat anestesi, logam berat)

Toksin endogen (mioglobin, hemoglobin, asam urat)

Glomerulus

Glomerulonefritis akut pasca infeksi, lupus nefritis, Glomerulonefritis IgA, Endokarditis Infektif, Sindrom Goodpasture, Penyakit Wegnerer

Interstitium

Infeksi bakteri dan Virus, Obat-obatan 

Vaskular

Stenosis arteri ginjal bilateral, trombosis vena ginjal bilateral, vaskulitis, hipertensi maligna, emboli aterosklerotik atau trombotik, sindrom uremik hemolitik, purpura trombositopenik trombotik

GGA Post Renal

Obstruksi Ekstrarenal

Hipertrofi prostat, pemasangan kateter yang tidak tepat, kanker kandung kemih, kanker prostat, kanker serviks, Fibrosis retroperitoneal

Obstruksi Intrarenal

Nefrolithiasis, gumpalan darah, Nekrosis Papiler

Patofisiologi

Pada dasarnya Gagal Ginjal akut (GGA) atau Cedera Ginjal Akut (AKI) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis yang terjadi ketika fungsi ginjal menurun secara akut hingga terjadi gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa, dan penumpukan produk limbah metabolisme didalam tubuh.

Patofisiologi gagal ginjal akut bersifat multifaktorial dan kompleks. Penyebab paling umum dari gagal ginjal akut adalah iskemia yang dapat terjadi akibat berbagai hal seperti yang tertuang di tabel penyebab di atas.

Adaptasi fisiologis sebagai respons terhadap penurunan aliran darah dapat mengkompensasi sampai tingkat tertentu, tetapi ketika pengiriman oksigen dan substrat metabolik menjadi tidak memadai, maka akan terjadi cedera seluler yang menyebabkan disfungsi organ. 

Ginjal sangat rentan terhadap cedera yang berhubungan dengan iskemia, mengakibatkan vasokonstriksi, cedera endotel, dan aktivasi proses inflamasi. 

Kerentanan ini dapat dijelaskan sebagian dari hubungan struktural antara tubulus ginjal dan pembuluh darah di medula luar ginjal. Terjadinya iskemia akan diikuti penurunan aliran darah ke struktur nefron dan sel-sel epitel tidak mampu mempertahankan ATP intraseluler yang memadai untuk proses metabolisme. 

Penipisan ATP ini menyebabkan cedera sel dan jika terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian sel melalui proses nekrosis atau apoptosis. 

Selama cedera iskemik, semua segmen nefron dapat terkena tetapi sel tubulus proksimal adalah yang paling sering mengalami cedera. 

Selain itu, fungsi alami nefron adalah menyaring, memekatkan, dan menyerap kembali berbagai zat dari lumen tubulus, dan konsentrasi zat ini dapat mencapai tingkat toksik bagi sel epitel di sekitarnya. 

Cedera ginjal akut juga sering terjadi pada kondisi sepsis. Pada kejadian sepsis, sirkulasi menjadi hiperdinamik dan aliran darah berubah dan GFR turun dengan cepat.

Patofisiologi gagal ginjal akut pada sepsis sangat kompleks dan melibatkan peradangan, disfungsi mikrovaskuler stres oksidatif dan amplifikasi cedera melalui sekresi sitokin oleh sel tubular.

Tanda Dan Gejala

Saat ginjal berhenti berfungsi, produk limbah sisa metabolisme yang seharusnya disaring dari darah mulai menumpuk, memicu berbagai gejala antara lain:

Gejala Umum

Beberapa gejala umum yang muncul pada pasien gagal ginjal akut seperti penurunan produksi urin, mual, nafas pendek, dan edema akibat adanya retensi cairan. 

Gejala khas pada gagal ginjal akut juga bisa timbul seperti kondisi ensefalopati uremik dimana terjadi akumulasi urea, kreatinin, dan zat lain dalam darah yang memicu gangguan otak, dimana kondisi ini tidak hanya mempengaruhi fungsi tubuh tapi juga mental.

Gejala lain berupa gangguan jantung, sirkulasi, dan tekanan darah yang terjadi  akibat ketidakseimbangan kadar kalium atau cairan.

Tanda dan gejala umum gagal ginjal akut antara lain meliputi:

  • Penurunan produksi atau keluaran urin (oliguria)
  • Pembengkakan ekstremitas bawah (edema)
  • Sesak napas (dispnea)
  • Kelelahan
  • Kehilangan nafsu makan
  • Mual dan muntah
  • Gangguan irama jantung (aritmia)
  • Nyeri dada atau dada seperti tertekan
  • Mudah terjadi perdarahan (disebabkan oleh trombosit yang rendah)
  • Kebingungan (Confusi)
  • Kejang
  • Koma

Pada kasus yang parah dapat menyebabkan kematian, sebagian besar karena komplikasi sepsis, gagal nafas, atau kegagalan multi organ.

Gejala Gagal ginjal Prerenal

Penyebab paling umum dari GGA prerenal yang juga dikenal sebagai azotemia prerenal adalah dehidrasi berat, gagal jantung, dan sirosis hepatis. Semua kondisi ini dapat mengganggu aliran darah ke ginjal.

Gejala yang timbul biasanya bervariasi sesuai penyebab yang mendasarinya, seperti:

  • Gejala dehidrasi parah seperti mata cekung, kulit kering, penurunan elastisitas kulit, mulut dan mata kering, detak jantung cepat (takikardia), dan pusing atau hipotensi ortostatik.
  • Gejala gagal jantung seperti penonjolan vena leher, rales paru, takikardia, jantung berdebar-debar, sesak napas saat berbaring, asites, dan batuk terus-menerus atau mengi dengan dahak berwarna merah muda. .
  • Gejala sirosis hati seperti asites, mata dan kulit menguning (jaundice), spider angioma, urin berbau manis atau amonia, dan pembesaran pembuluh darah di permukaan perut yang menjalar dari pusar (caput medusa).

Gejala GGA Intrinsik

Penyebab GGA Intrinsik yang paling umum adalah kerusakan ginjal yang berhubungan dengan kondisi seperti glomerulonefritis, nekrosis tubular akut, dan nefritis interstisial akut. Gejala yang muncul sesuai dengan penyebab GGA tersebut antara lain:

  • Glomerulonefritis dapat menyebabkan gejala seperti urin berwarna merah muda atau berdarah (hematuria), urin berbusa karena kelebihan protein (proteinuria), dan pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, dan perut.
  • Nekrosis tubular akut (ATN) dapat bermanifestasi dengan gejala seperti nyeri otot yang dalam dan terus-menerus, kejang otot, sensasi kesemutan (neuropati), edema, dan kebingungan atau delirium.
  • Nefritis interstisial akut (AIN), pembengkakan jaringan di antara tubulus ginjal yang sering disebabkan oleh reaksi obat atau penyakit autoimun dapat memunculkan gejala demam, hematuria, edema, muntah, kebingungan, dan ruam  jika berhubungan dengan obat tertentu.

Gejala GGA Post Renal

Penyebab GGA post Renal yang paling umum adalah obstruksi saluran kemih yang dapat disebabkan oleh BPH, batu ginjal, batu kandung kemih, kanker. Gejala yang bisa muncul sesuai kondisi antara lain: 

  • Gejala hiperplasia prostat jinak (BPH) meliputi dribbling setelah buang air kecil, nokturia, sering buang air kecil, perasaan tidak tuntas saat berkemih, urgensi, dan aliran urin yang lemah.
  • Gejala batu ginjal dan kandung kemih mencakup nyeri perut bagian bawah atau panggul yang intens, hematuria, urin keruh, disuria, kesulitan buang air kecil, dan nyeri atau ketidaknyamanan pada testis atau penis pada pria.
  • Gejala kanker bisa berupa penurunan berat badan, hematuria, disuria, urgensi urin, aliran urin yang lemah, ketidakmampuan untuk buang air kecil, nyeri punggung bawah di satu sisi, dan nyeri tulang.

Pemeriksaan

Evaluasi gagal ginjal akut harus mencakup identifikasi menyeluruh terhadap semua kemungkinan etiologi GGA, termasuk penyakit prerenal, intrarenal, dan postrenal. Waktu timbulnya gagal ginjal dapat bermanfaat saat menangani pasien rawat inap. 

Jika pemeriksaan laboratorium pasien dilakukan setiap hari dan kreatinin tiba-tiba mulai meningkat, maka faktor pemicu biasanya dapat diidentifikasi lebih cepat. Sangat penting juga untuk melacak pemeriksaan radiologis yang mungkin telah dilakukan dan adanya penggunaan agen kontras. 

Penting juga untuk meninjau daftar obat yang diterima pasien karena dapat berkontribusi terhadap terjadinya gagal ginjal, oleh karena itu jika terjadi penurunan fungsi ginjal, dosis obat tersebut perlu dimodifikasi. 

Pemeriksaan fisik dengan teliti biasanya dapat membantu, misalnya adanya ruam obat dapat menunjukkan nefritis interstisial akut sebagai etiologinya. Jari kaki sianotik dapat menunjukkan adanya emboli pada pasien pasca kateterisasi jantung.

Semua pasien yang mengalami gagal ginjal akut (GGA) membutuhkan pemeriksaan lab dasar termasuk pemeriksaan metabolik. Pada kondisi tertentu elektrolit urin dapat membantu untuk mengidentifikasi etiologi GGA. Protein urin, osmolalitas urin, dan rasio albumin urin terhadap kreatinin juga dapat menjadi petunjuk yang membantu dalam menentukan etiologi. 

Pasien lansia tanpa etiologi yang jelas juga harus menjalani elektroforesis protein serum dan urin (SPEP dan UPEP) untuk menyingkirkan gamopati monoklonal dan multiple myeloma.

Ultrasonografi ginjal dapat membantu jika penyebab obstruktif dicurigai. Namun, USG ginjal rutin untuk setiap pasien dengan GGA tidak diperlukan. 

CT non-kontras adalah modalitas pemeriksaan radiografi penting lainnya dan dapat digunakan untuk mencari nefrolitiasis atau urolitiasis. Pemeriksaan sedimen urin juga dapat memberikan petunjuk penting untuk etiologi, seperti gips coklat berlumpur yang terlihat pada nekrosis tubular akut. Piuria steril adalah tanda nefritis interstisial akut yang paling sensitif.

Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang sangat baik tetapi jarang digunakan. Hal ini biasanya diindikasikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat tanpa penyebab yang jelas atau untuk mengetahui etiologi gagal ginjal yang tepat dalam keadaan di mana beberapa etiologi dapat menjadi penyebab. 

Penanda fungsi tubulus dapat dihitung untuk membantu membedakan penyebab prerenal, intrarenal, dan postrenal seperti ekskresi fraksional natrium dan urea serta osmolalitas urin. Namun sensitivitas semua penanda kurang representatif dan dipengaruhi oleh banyak obat.

Perhatian juga perlu diberikan pada gambaran klinis secara keseluruhan. Penting untuk menilai status volume pasien untuk menyingkirkan kemungkinan sindrom kardiorenal atau hepatorenal. 

Sindrom kardiorenal biasanya disebabkan oleh filtrasi glomerulus yang buruk karena kongesti vena dan kurangnya aliran karena curah jantung yang buruk. Sindrom hepatorenal disebabkan oleh perbedaan distribusi volume sirkulasi dengan vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi splanknik yang menyebabkan pengalihan darah ke perifer dan kurangnya suplai darah ke ginjal.

Penatalaksanaan

Agar manajemen penatalaksanaan GGA bisa optimal, dibutuhkan kerjasama semua tim yang terlibat dalam perawatan pasien. Setelah cedera gagal ginjal akut terjadi, manajemen penatalaksanaan utama bersifat suportif.

Pasien dengan gagal ginjal akut harus dirawat di rumah sakit kecuali kondisinya ringan dan jelas serta disebabkan oleh penyebab yang mudah disembuhkan. 

Kunci penatalaksanaan adalah memastikan perfusi ginjal yang adekuat dengan mencapai dan mempertahankan stabilitas hemodinamik dan menghindari hipovolemia. 

Pada beberapa pasien, penilaian klinis status volume intravaskuler dan menghindari kelebihan volume mungkin relatif sulit, dalam hal ini pengukuran tekanan vena sentral dalam perawatan intensif dapat membantu.

Jika resusitasi cairan diperlukan karena penurunan volume intravaskular, larutan isotonik seperti normal salin lebih direkomendasikan daripada larutan hiperonkotik seperti dekstran, pati hidroksietil, dan albumin. 

Pemeliharaan tekanan arteri rata-rata lebih tinggi dari 65 mmhg dan mungkin memerlukan penggunaan vasopresor pada pasien dengan hipotensi persisten. Fungsi jantung dapat dioptimalkan sesuai kebutuhan dengan inotrop positif, atau reduksi afterload dan preload.

Perhatian terhadap ketidakseimbangan elektrolit seperti hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia, hiponatremia, hipernatremia, asidosis metabolik sangat penting.

Hiperkalemia berat didefinisikan sebagai kadar kalium 6,5 mEq per L (6,5 mmol per L) atau lebih besar, atau kurang dari 6,5 mEq per L dengan perubahan elektrokardiografi khas hiperkalemia misalnya gelombang T tinggi dan memuncak. 

Pada hiperkalemia berat, 5 sampai 10 unit insulin reguler dan dekstrosa 50% yang diberikan secara intravena dapat menggeser kalium keluar dari sirkulasi dan masuk ke dalam sel.

Kalsium glukonat (10 mL larutan 10% diinfuskan secara intravena selama lima menit) juga digunakan untuk menstabilkan membran dan mengurangi risiko aritmia bila terdapat perubahan elektrokardiografi yang menunjukkan hiperkalemia. 

Pada pasien tanpa bukti elektrokardiografi hiperkalemia, kalsium glukonat tidak diperlukan, tetapi natrium polistiren sulfonat (Kayexalate) dapat diberikan untuk menurunkan kadar kalium secara bertahap, dan diuretik loop dapat digunakan pada pasien yang responsif terhadap diuretik. Asupan makanan kalium harus dibatasi.

Indikasi utama penggunaan diuretik adalah manajemen kelebihan volume cairan. Diuretik loop intravena diberikan secara bolus atau infus. Namun, penting untuk dicatat bahwa diuretik tidak boleh digunakan untuk mencegah atau mengobati cedera ginjal akut tanpa adanya kelebihan volume.

Jika memungkinkan, Semua obat yang berpotensi mempengaruhi fungsi ginjal dengan toksisitas langsung atau dengan mekanisme hemodinamik harus dihentikan. Misalnya, metformin tidak boleh diberikan kepada pasien diabetes melitus yang mengalami cedera ginjal akut. 

Dosis obat esensial harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal dengan dosis yang lebih rendah. Menghindari media kontras beryodium dan gadolinium penting, jika diperlukan pencitraan maka pemeriksaan  non kontras lebih direkomendasikan.

Terapi suportif seperti antibiotik, pemeliharaan nutrisi yang adekuat, ventilasi mekanis, kontrol glikemik, dan manajemen anemia harus dilakukan berdasarkan kondisi pasien.

Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki

1. Hipervolemia ( Sdki D.0022)

Luaran: Status Cairan Membaik (Slki L.03028)

  • Kekuatan nadi meningkat
  • Output urin meningkat
  • Membran mukosa lembab meningkat
  • Ortopnea menurun
  • Dispnea menurun
  • Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
  • Edema anasarka menurun
  • Edema perifer menurun
  • Frekuensi nadi membaik
  • Tekanan darah membaik
  • Turgor kulit membaik
  • Jugular venous pressure membaik
  • Hemoglobin membaik
  • Hematokrit membaik

Intervensi Keperawatan Siki:

a. Manajemen Hipervolemia (Siki I.03114)

  • Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis: ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, suara nafas tambahan)
  • Identifikasi penyebab hypervolemia
  • Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI) jika tersedia
  • Monitor intake dan output cairan
  • Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
  • Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis: kadar protein dan albumin meningkat)
  • Monitor kecepatan infus secara ketat
  • Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortostatik, hypovolemia, hipokalemia, hiponatremia)
  • Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
  • Batasi asupan cairan dan garam
  • Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat
  • Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
  • Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
  • Ajarkan cara membatasi cairan
  • Kolaborasi pemberian diuretic
  • Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
  • Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT) jika perlu

b. Pemantauan Cairan (Siki I.03121)

  • Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
  • Monitor frekuensi napas
  • Monitor tekanan darah
  • Monitor berat badan
  • Monitor waktu pengisian kapiler
  • Monitor elastisitas atau turgor kulit
  • Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
  • Monitor kadar albumin dan protein total
  • Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium, dan BUN)
  • Monitor intake dan output cairan
  • Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah, konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis: dispnea, edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
  • Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasikan hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Dokumentasikan hasil pemantauan

2. Risiko penurunan Curah Jantung (Sdki D.0011)

Luaran : Curah Jantung Meningkat (Slki L.02008)

  • Kekuatan nadi perifer meningkat
  • Ejection fraction (EF) meningkat
  • Palpitasi menurun
  • Bradikardia menurun
  • Takikardia menurun
  • Gambaran EKG Aritmia menurun
  • Lelah menurun
  • Edema menurun
  • Distensi vena jugularis menurun
  • Dispnea menurun
  • Oliguria menurun
  • Pucat/sianosis menurun
  • Paroximal nocturnal dyspnea (PND) menurun
  • Ortopnea menurun
  • Batuk menurun
  • Suara jantung S3 menurun
  • Suara jantung S4 menurun
  • Tekanan darah membaik
  • Pengisian kapiler membaik

Intervensi Keperawatan : 

a. Perawatan Jantung (Siki I.02075)

  • Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung (meliputi: dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND, peningkatan CVP).
  • Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
  • Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu)
  • Monitor intake dan output cairan
  • Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
  • Monitor saturasi oksigen
  • Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi, durasi, presipitasi yang mengurangi nyeri)
  • Monitor EKG 12 sadapan
  • Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
  • Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim jantung, BNP, NTpro-BNP)
  • Monitor fungsi alat pacu jantung
  • Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktivitas
  • Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat (mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium channel blocker, digoksin)
  • Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman
  • Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein, natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
  • Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai indikasi
  • Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
  • Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
  • Berikan dukungan emosional dan spiritual
  • Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
  • Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
  • Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
  • Anjurkan berhenti merokok
  • Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
  • Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
  • Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
  • Rujuk ke program rehabilitasi jantung

b. Perawatan Jantung Akut (Siki I.02067)

  • Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan frekuensi)
  • Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
  • Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
  • Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia (mis: kalium, magnesium serum)
  • Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I)
  • Monitor saturasi oksigen
  • Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis: skor TIMI, Killip, Crusade)
  • Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
  • Pasang akses intravena
  • Puasakan hingga bebas nyeri
  • Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress
  • Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan
  • Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
  • Berikan dukungan emosional dan spiritual
  • Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
  • Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis: mengedan saat BAB atau batuk)
  • Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien
  • Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
  • Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu
  • Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin, beta blocker, calcium channel blocker)
  • Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
  • Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
  • Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver Valsava (mis: pelunak tinja, antiemetik)
  • Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika perlu
  • Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

3. Risiko Hipovolemia (Sdki D.0034)

Luaran: Status Cairan Membaik (Slki L.03028)

  • Kekuatan nadi meningkat
  • Output urin meningkat
  • Membran mukosa lembab meningkat
  • Ortopnea menurun
  • Dispnea menurun
  • Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
  • Edema anasarka menurun
  • Edema perifer menurun
  • Frekuensi nadi membaik
  • Tekanan darah membaik
  • Turgor kulit membaik
  • Jugular venous pressure membaik
  • Hemoglobin membaik
  • Hematokrit membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Hipovolemia (Siki I.03116)

  • Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
  • Monitor intake dan output cairan
  • Hitung kebutuhan cairan
  • Berikan posisi modified Trendelenburg
  • Berikan asupan cairan oral
  • Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
  • Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
  • Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis: NaCL, RL)
  • Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis: glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
  • Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)
  • Kolaborasi pemberian produk darah

b. Pemantauan Cairan (Siki I.03121)

4. Risiko ketidakseimbangan Elektrolit (Sdki D.0037)

Luaran: Keseimbangan Elektrolit Meningkat (Slki L.03021)

  • Serum natrium membaik
  • Serum kalium membaik
  • Serum klorida membaik

Intervensi Keperawatan: Pemantauan Elektrolit (Siki I.03122)

  • Monitor kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
  • Monitor kadar elektrolit serum
  • Monitor mual, muntah, diare
  • Monitor kehilangan cairan, jika perlu
  • Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis: kelemahan otot, interval QT memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi pernapasan)
  • Monitor tanda dan gejala hiperkalemia (mis: peka rangsang, gelisah, mual, muntah, takikardia mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)
  • Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis: disorientasi, otot berkedut, sakit kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi, penurunan kesadaran)
  • Monitor tanda dan gejala hipernatremia (mis: haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka rangsang, membrane mukosa kering, takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kejang)
  • Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis: peka rangsang, tanda Chvostek [spasme otot wajah] dan tanda Trousseau [spasme karpal], kram otot, interval QT memanjang)
  • Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis: nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi, kelemahan otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar, komplek QRS lebar, interval PR memanjang)
  • Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia (mis: depresi pernapasan, apatis, tanda Chvostek, tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
  • Monitor tanda dan gejala hypermagnesemia (mis: kelemahan otot, hiporefleks, bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)
  • Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
  • Dokumentasikan hasil pemantauan
  • Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  • Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Referensi : 

  1. Harty J. 2014. Prevention And Management Of Acute Kidney Injury. Ulster Med Journal.  Sept; 83 (3):149-57.  
  2. Myhre J & Sifris D. 2021. Symptoms Of Acute Renal Failure. Verywell Health.
  3. Makris K, Spanou L. 2016. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev.May;37(2):85-98. 
  4. Goyal A, Daneshpajouh Nejad P, Hashmi MF, et al.2022. Acute Kidney Injury (Nursing) .Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
  5. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 114(1):5-14. doi: 10.1172/JCI22353. 
  6. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  7. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
  8. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat