Widget HTML #1

Askep RDS (Neonatal Respiratory Distress Syndrome)

Respiratory Distress Syndrome atau RDS Neonatus merupakan penyebab umum gangguan pernapasan pada bayi baru lahir, muncul dalam beberapa jam setelah lahir atau  segera setelah melahirkan. RDS paling sering mempengaruhi neonatus prematur dan jarang terjadi bayi cukup bulan. Pada tulisan ini, Repro Note akan merangkum mengenai askep RDS pada neonatus mulai dari konsep medik sampai intervensi keperawatan yang bisa dilakukan.

Tujuan

  • Memahami definisi, epidemiologi, penyebab, patofisiologi, serta tanda dan gejala pada neonatus dengan RDS
  • Memahami pemeriksaan, penatalaksanaan dan komplikasi yang bisa timbul pada neonatus dengan RDS
  • Memahami masalah keperawatan pada askep RDS neonatus
  • Memahami intervensi keperawatan yang bisa dilakukan pada askep RDS neonatus
  • Memahami evaluasi keperawatan pada askep RDS Neonatus
  • Melakukan edukasi keluarga pasien pada askep RDS neonatus
Askep RDS (Neonatal Respiratory Distress Syndrome)
Image by Zerbey on wikimedia.org 

Konsep Medik dan Askep RDS Pada Neonatus

Pendahuluan

Respiratory distress syndrome  (RDS), yang juga disebut penyakit membran hialin dan sindrom distres respiratorik bayi, merupakan penyebab paling umum dari mortalitas neonatal dan merupakan komponen utama dalam morbiditas neonatal.

Keparahan dan prognosis RDS berkaitan langsung dengan usia gestasional neonatus. Ada hubungan berbalik antara usia gestasional dan RDS, yaitu semakin kecil usia gestasional, semakin besar potensi RDS. Respiratory distress syndrome umumnya menyerang bayi prematur yang lahir sebelum gestasi memasuki usia 37 minggu (dan sekitar 60% bayi yang lahir sebelum gestasi memasuki usia 28 minggu).

Respiratory distress syndrome lebih sering menyerang neonatus dengan ibu penderita diabetes melitus dan neonatus yang lahir dengan asidosis, misalnya neonatus yang lahir dalam kondisi penuh stres misalnya, dengan cesar atau segera setelah hemoragi antepartum.

Walaupun perkembangan alveolar telah dimulai saat gestasi memasuki usia 25 sampai 27 minggu, alveoli tidak mencukupi untuk respirasi efektif. Selain itu, otot interkostal lemah, dan suplai darah alveoli dan kapiler belum matang.

Pada RDS, neonatus prematur akan mengalami kolaps alveolar yang menyebar-luas akibat kekurangan surfaktan, yaitu Iipoprotein yang ada di alveoli dan bronkiola respiratorik. Normalnya, surfaktan menurunkan tensi permukaan dan membantu mempertahankan kepatenan alveolar, sehingga mencegah kolaps, terutama di akhir ekspirasi. Manajemen agresif menggunakan ventilasi mekanis bisa meningkatkan prognosis.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, Respiratory distress syndrome atau RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir setiap tahun dan merupakan komplikasi pada sekitar 1% kehamilan. Sekitar 50% neonatus yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami sindrom gangguan pernapasan, sedangkan kurang dari 30% neonatus prematur yang lahir pada usia kehamilan 30-31 minggu mengalami kondisi tersebut.

Dalam sebuah laporan penelitian, tingkat kejadian Respiratory distress syndrome adalah 42% pada bayi dengan berat 501-1500g, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501-750g, 54% dilaporkan pada bayi dengan berat 751-1000g, 36% dilaporkan pada bayi dengan berat 1001- 1250g, dan 22% dilaporkan pada bayi dengan berat 1251-1500g. Penelitian ini dilakukan di 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam Jaringan Penelitian National Institute of Child Health and Human Development (NICHD).

Prevalensi di negara-negara eropa berkisar antara 6 dan 11%. Respiratory distress syndrome adalah penyebab utama perawatan intensif neonatal (NICU) dengan tingkat insiden diperkirakan 7,8% dan tingkat kematian 50% pada bayi prematur. Keparahan biasanya meningkat selama 48 jam pertama kelahiran dan  menurun seiring dengan meningkatnya usia kehamilan

Data mengenai RDS neomatus lebih jarang ditemukan di negara berkembang, catatan akurat di wilayah tersebut tidak tersedia untuk menentukan besarnya insiden Respiratory distress syndrome atau RDS.

Penyebab .

Penyebab Neonatal respiratory distress syndrome (RDS) adalah kekurangan surfaktan, baik karena produksi surfaktan yang tidak memadai, atau inaktivasi surfaktan dalam konteks paru-paru yang belum matang. Prematuritas mempengaruhi kedua faktor ini, sehingga secara langsung berkontribusi terhadap RDS neonatus.

Perkembangan Paru-Paru Janin

Penting untuk meninjau perkembangan paru-paru janin dan produksi surfaktan untuk memahami etiologi RDS. Proses normal perkembangan paru-paru janin terjadi secara bertahap, yang dikenal sebagai tahap embrionik, pseudo glandular, kanalikular, sakular, dan alveolus.

Selama periode embrionik, tunas paru pertama kali muncul pada hari ke-26 sebagai penonjolan ventral esofagus janin. Seelanjutnya tunas paru akan menembus dan membelah di seluruh mesenkim sekitarnya, awalnya membentuk bronkus utama pada 37 hari.

Cabang bronkus utama selanjutnya mengarah ke perkembangan bronkus subsegmental dalam waktu 48 hari. Pembuluh darah paru berkembang seiring dengan perkembangan paru-paru dan arteri pulmonalis terbentuk sebagai cabang dari lengkung aorta keenam dalam 37 hari.

Tahap pseudo glandular dimulai sekitar minggu kelima kehamilan dan berakhir pada minggu ke-16. Tahap pseudo glandular merupakan tahap di mana sel-sel neuroepitel, tulang rawan, sel bersilia, sel goblet, dan sel basal berkembang di epitel paru proksimal. Selama tahap ini, saluran udara bercabang 15 sampai 20 kali pada minggu ke-18 kehamilan.

Tahap kanalikuli, dimulai minggu ke-16 dan berakhir sekitar minggu ke-25, menandai awal perkembangan asinus paru, pembentukan sawar darah, dan produksi surfaktan melalui sel tipe 2, yang berpuncak pada paru yang mulai layak untuk pertukaran gas.

Peningkatan jumlah dan ukuran kapiler terus mengvaskularisasi mesenkim. Bersama dengan pertumbuhan bronkiolus, vaskularisasi menipiskan ruang mesenkim antara membran basal epitel pernapasan dan epitel vaskular.

Akhirnya membran basal epitel kapiler dan pernapasan ini menyatu, membentuk sawar darah-udara yang belum sempurna. Pada minggu ke-20, badan pipih mulai terbentuk di sitoplasma epitel kuboid yang mengandung glikogen pada bronkiolus, dan sel-sel ini berdiferensiasi menjadi sel tipe 2, yang mampu menghasilkan surfaktan.

Selama tahap saccular dari sekitar minggu ke-24 hingga minggu ke-32 kehamilan, sakulus terminal terbentuk, mengembangkan bronkiolus respiratorik yang memiliki ketebalan dinding yang memungkinkan pertukaran gas. Pada tahap inilah bayi prematur berpotensi hidup dalam kehidupan ekstrauterin.

Pada minggu ke-32 tahap alveolus dimulai, dan alveolus mulai terbentuk saat bronkiolus respiratorius mengembangkan septasi, meningkatkan luas permukaan untuk pertukaran gas. Pada usia cukup bulan, paru-paru mengandung 50 sampai 150 juta alveoli.

Kekurangan Surfaktan

Selama kehidupan janin, produksi surfaktan dimulai di sel alveolar tipe 2 pada usia kehamilan sekitar 20 minggu. Surfaktan sebagian besar lipid padat yaitu terdiri dari sekitar 70% hingga 80% fosfolipid, 10% protein, dan 10% lipid netral.

Surfaktan terdiri dari empat protein spesifik surfaktan atau SP, yaitu SP-A, SP-B, SP-C, dan SP-D. Protein spesifik SP-A dan SP-D terlibat dalam mengatur proses inflamasi di paru-paru. Protein  SP-B diperlukan untuk pembentukan badan pipih normal dalam sel tipe 2 dan juga terlibat dalam pemrosesan SP-C.

Protein SP-C adalah protein yang mungkin bekerja dengan SP-B untuk meningkatkan deposisi dan fungsi surfaktan di dalam alveoli dengan menurunkan tegangan permukaan.

Di dalam sel tipe 2 alveolar, sintesis surfaktan dimulai dengan fosfolipid di retikulum endoplasma. Fosfolipid ditransfer melalui aparatus Golgi ke badan pipih. Kompleks lipoprotein surfaktan SP-A, SP-B, SP-C, dan fosfolipid terbentuk di dalam badan pipih pada permukaan apikal sel tipe 2, yang kemudian dilepaskan ke dalam alveoli melalui eksositosis.

Kompleks lipoprotein surfaktan penting karena menurunkan tegangan permukaan pada saluran udara kecil dan alveoli, yang mencegah kolapsnya alveoli dan masuknya cairan interstisial ke dalam ruang udara.

Sel tipe 2 menyerap kembali kompleks surfaktan yang disekresikan. Molekul surfaktan didaur ulang kembali melalui endositosis menjadi badan multivesikular dan akhirnya menjadi badan pipih.

Proses daur ulang surfaktan endogen dan eksogen dari alveoli bertanggung jawab untuk menjaga komposisi surfaktan. Selain jumlah surfaktan yang lebih rendah, bayi prematur juga mengalami penurunan aktivitas surfaktan karena komposisinya tersebut.

Genetika

Kembar monozigot memiliki insiden RDS yang lebih tinggi dibandingkan dengan kembar dizigotik, dan peningkatan insiden RDS juga telah dilaporkan dalam keluarga, sehingga mendukung predisposisi peran genetik yang mendasarinya.

Bayi dengan penyebab genetik defisiensi protein surfaktan juga dapat menjadi faktor terjadinya  RDS pada neonatus. Mutasi resesif langka dari gen SP-B yang menyebabkan defisiensi SP-B dapat muncul pada periode neonatus dengan RDS parah dan berkembang menjadi gagal napas parah.

Di sisi lain, mutasi gen SP-C terlihat pada sekitar 0,1% populasi dan muncul dengan penyakit paru interstisial, biasanya setelah bulan pertama kehidupan. RDS neonatus juga terkait dengan hilangnya pengikat ATP sub-family  A - 3 (ABCA-3).

Patofisiologi

Sindrom gangguan pernapasan neonatus disebabkan oleh defisiensi surfaktan, terutama dalam konteks paru-paru yang belum matang. Kekurangan surfaktan meningkatkan tegangan permukaan dalam saluran udara kecil dan alveoli, sehingga mengurangi kemampuan paru-paru yang belum matang.

Keseimbangan tekanan udara-cairan sangat penting untuk mencegah kolapsnya alveolus atau pengisian alveolus dengan cairan.

Patofisiologi RDS dapat dijelaskan menggunakan hukum LaPlace, yaitu:

P=2T/R

Dimana P adalah tekanan, T adalah tegangan permukaan, dan R adalah jari-jari.

Hukum Laplace menjelaskan hubungan antara perbedaan tekanan melintasi antarmuka dua cairan statis dengan bentuk permukaan. Ketika tegangan permukaan meningkat pada tingkat alveolar, jumlah tekanan yang diperlukan untuk mempertahankan bentuk alveolar meningkat. Dengan berkurangnya produksi surfaktan, atelektasis terjadi di seluruh paru-paru, menyebabkan berkurangnya pertukaran gas.

Atelektasis yang meluas dan berulang akhirnya merusak epitel pernapasan, menyebabkan respons inflamasi yang dimediasi sitokin. Saat edema paru berkembang sebagai akibat dari respon inflamasi, peningkatan jumlah cairan kaya protein dari ruang vaskular bocor ke alveoli, yang selanjutnya menonaktifkan surfaktan.

Selain itu, banyak bayi dengan RDS memerlukan ventilasi mekanis, yang mungkin memiliki efek merusak pada paru-paru. Overdistensi alveoli selama ventilasi tekanan positif menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan peradangan.

Pada tahap selanjutnya, stres oksidatif yang dihasilkan baik oleh tekanan oksigen yang tinggi dari ventilasi mekanis dan proses inflamasi di dalam paru-paru juga mendorong konversi surfaktan menjadi bentuk tidak aktif melalui kerusakan oksidan protein dan peroksidasi lipid.

Dengan demikian RDS dapat menyebabkan hipoksemia melalui hiperventilasi alveolar, kelainan difusi, mismatch ventilasi-perfusi, shunting intrapulmoner, atau kombinasi dari mekanisme ini.

Hipoksemia dan hipoperfusi jaringan ini pada akhirnya menyebabkan peningkatan metabolisme anaerob pada tingkat sel dengan akibat acidemia laktat.

Tanda dan gejala

Bayi dengan Respiratory Distress Syndrome atau RDS neonatus sering lahir prematur dan muncul dengan tanda-tanda gangguan pernapasan biasanya segera setelah dilahirkan atau dalam beberapa menit setelah lahir.

Tanda dan gejala yang timbul pada bayi bisa berupa penurunan suara nafas dan mungkin penurunan nadi perifer. Pada pemeriksaan klinis, neonatus tersebut memiliki tanda dan gejala peningkatan kerja pernapasan seperti:

  • Takipnea
  • Ekspirasi grunting
  • Hidung melebar
  • Retraksi subkostal, subxiphoid, interkostal, dan suprasternal
  • Penggunaan otot aksesori
  • Sianosis
  • Perfusi perifer yang buruk
  • Pada auskultasi didapatkan penurunan aliran masuk udara pada hampir semua are paru.
  • Jika RDS neonatus tidak segera ditangani maka gejalanya akan semakin parah

Pemeriksaan Diagnostik

Untuk diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat, diperlukan penilaian keseluruhan riwayat prenatal dan persalinan untuk mengidentifikasi faktor risiko perinatal, presentasi klinis, temuan radiografi, dan bukti hipoksemia pada analisis gas darah.

Radiografi Dada

Temuan radiografi dada patognomonik RDS neonatus termasuk penyakit paru homogen dengan atelektasis difus, secara klasik digambarkan memiliki penampilan ground-glass retikulo-granular dengan air bronchograms, serta volume paru-paru yang rendah.

Permukaan jaringan udara yang terbentuk antara keruntuhan mikroalveolar di latar belakang dengan saluran udara yang lebih besar berisi udara di latar depan menciptakan tampilan klasik bronkogram udara.

Analisis Gas Darah Arteri

Analisis gas darah arteri dapat menunjukkan hipoksemia yang berespon terhadap peningkatan suplementasi oksigen dan hiperkapnia.

Gas darah serial dapat menunjukkan bukti perburukan asidosis respiratorik dan metabolik, termasuk acidemia laktat pada bayi dengan RDS yang memburuk.

Pemeriksaan lainnya

Ekokardiogram dapat menunjukkan adanya duktus arteriosus yang dapat mempersulit perjalanan klinis RDS neonatus.

Hitung darah lengkap dapat menunjukkan bukti anemia dan jumlah leukosit abnormal, menunjukkan infeksi. Kadang-kadang, pemeriksaan etiologi infeksi mungkin diperlukan, termasuk darah, cairan serebrospinal, dan kultur trakea bila perlu.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan respiratory Distress Syndrome atau RDS neonatus antara lain penurunan insiden dan keparahan menggunakan kortikosteroid antenatal, diikuti dengan manajemen penggunaan dukungan pernapasan, terapi surfaktan, dan perawatan bayi prematur secara keseluruhan.

Pemantauan Oksigenasi dan Ventilasi

Pemantauan gas darah serial mungkin diperlukan untuk mengoptimalkan oksigenasi dan ventilasi. Idealnya, neonatus menjalani pemantauan gas darah menggunakan kateter arteri umbilikalis atau perifer yang ditempatkan menggunakan teknik steril.

Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) pada gas darah arteri dipertahankan antara 50 hingga 80 mmHg, dan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) dipertahankan antara 40 hingga 55 mmHg, dengan pH >7,25.

Oksimetri nadi non-invasif  untuk memantau saturasi oksigen dan Kapnografi non-invasif serta pemantauan karbon dioksida transkutan digunakan sebagai tambahan untuk pemantauan ventilasi.

Bantuan Ventilasi Neonatus

Tujuan dari bantuan ventilasi adalah untuk mengurangi atelektasis dengan memberikan tekanan jalan napas positif yang konstan. Strategi yang sering dipakai saat ini adalah inisiasi awal continuous positive airway pressure (CPAP) dengan pemberian surfaktan selektif.

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

Nasal CPAP adalah intervensi awal pada bayi prematur dengan RDS atau risiko RDS tanpa gagal napas. Tujuannya yaitu menjaga SpO2 antara 90-95%, dan PaCO2 antara 45-65 mmHg.

Dukungan Pernapasan Non-invasif

Ventilasi Tekanan Positif Intermiten Hidung (NIPPV) untuk mengurangi kegagalan ekstubasi. Perbedaan utama dalam NIPPV dan CPAP adalah bahwa NIPPV membutuhkan ventilator untuk memberikan ventilasi tekanan positif, sementara CPAP dapat menggunakan perangkat yang lebih murah seperti bubble CPAP untuk memberikan tekanan yang sesuai.

Kanula Hidung Aliran Tinggi

Kanula hidung aliran tinggi yang dilembabkan dengan panas (HFNC) juga digunakan di beberapa tempat sebagai alternatif CPAP untuk memberikan ventilasi tekanan distensi positif pada neonatus dengan RDS.

Ventilasi Mekanik

Pasien yang tidak berespons terhadap CPAP dan  berkembang menjadi asidosis respiratorik (PH <7,2 dan PaCo2 > 60-65 mm Hg), hipoksemia (PaO2 <50 mm Hg atau Fio2 > 0,40 pada CPAP), atau apnea berat dikelola dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis.

Tujuan ventilasi mekanis yaitu memberikan dukungan pernapasan yang memadai sambil menyeimbangkan risiko barotrauma, volutrauma, dan toksisitas oksigen.

Terapi Surfaktan Eksogen

Pengobatan yang ditargetkan untuk defisiensi surfaktan adalah terapi penggantian surfaktan intratrakeal melalui pipa endotrakeal. Surfaktan yang diberikan dalam waktu 30 sampai 60 menit setelah kelahiran neonatus prematur ternyata bermanfaat.

Surfaktan mempercepat pemulihan dan menurunkan risiko pneumotoraks, emfisema interstisial, perdarahan intraventrikular (IVH), BPD, dan kematian neonatus di rumah sakit. Namun, neonatus yang menerima surfaktan untuk RDS memiliki peningkatan risiko apnea prematuritas.

Surfaktan diberikan baik dengan intubasi endotrakeal, yang membutuhkan praktisi yang berpengalaman atau melalui teknik administrasi surfaktan yang kurang invasif (LISA) seperti sediaan surfaktan nebulisasi aerosol, masker laring, instilasi faring, dan kateter intratrakeal.

Teknik standar pemberian surfaktan dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis harus hati hati karena beresiko menyebabkan obstruksi jalan napas sementara, cedera paru, kebocoran udara paru, dan cedera jalan napas.

Terapi Suportive

Manajemen cairan dan elektrolit yang optimal sangat penting dalam perjalanan awal RDS neonatus. Beberapa neonatus mungkin memerlukan resusitasi menggunakan kristaloid serta vasopresor untuk hipotensi.

Selanjutnya, perawatan bayi prematur secara keseluruhan juga mencakup optimalisasi termoregulasi, dukungan nutrisi, transfusi darah untuk anemia, pengobatan untuk PDA yang signifikan secara hemodinamik, dan terapi antibiotik jika diperlukan.

Asuhan Keperawatan

Intervensi Keperawatan

  • Secara saksama, pantau kadar ABG dan asupan dan output cairan. Jika neonatus menggunakan kateter umbilikal (arterial atau venosa), periksa adakah hipotensi arterial atau tekanan venosa pusat abnormal.
  • Lihat adakah komplikasi misalnya infeksi, trombosis, atau sirkulasi ke kaki berkurang.
  • Jika neonatus terhubung pada monitor PaO2 (metode akurat untuk menentukan PaO2), ganti tempat utama setiap 2 sampai 4 jam agar kulit tidak terbakar.
  • Ukur berat badan neonatus satu atau dua kali sehari. Untuk mengevaluasi perkembangannya, kaji warna kulit, tingkat dan kedalaman respirasi, keparahan retraksi, pengembangan lubang hidung, frekuensi dengkur ekspiratorik, busa di bibir, dan kegelisahannya.
  • Secara teratur, kaji keefektivan oksigen atau terapi ventilator. Lakukan evaluasi pada tiap perubahan fraksi oksigen yang diinsipirasi dan PEEP atau CPAP dengan memantau saturasi oksigen atau kadar ABG. Pastikan untuk menyesuaikan PEEP atau CPAP sesuai indikasi dan berdasarkan temuan.
  • Jika neonatus menggunakan ventilasi mekanis, secara saksama lihat adakah tanda barotrauma (peningkatan dalam distres respiratorik atau emfisema subkutaneus) dan diskoneksi yang tidak disengaja dari ventilasi. Seringkali periksalah peralatan ventilator.
  • Waspadai tanda komplikasi terapi PEEP atau CPAP, misalnya output kardiak berkurang, pneumotoraks, dan pneumomediastinum. Ventilasi mekanis meningkatkan risiko infeksi pada neonatus prematur, sehingga tindakan pencegahan sangatlah penting.
  • Bila perlu, lakukan perawatan lanjutan dengan oftalmolog neonatal untuk memeriksa drainase retinal.
  • Beri tahu orang tua mengenai kondisi neonatus dan, jika memungkinkan, izinkan mereka berpartisipasi dalam perawatan neonatus (menggunakan teknik steril) untuk memperkuat ikatan orang tua-bayi. Beri tahu orang tua bahwa penyembuhan menyeluruh bisa membutuhkan 12 bulan. jika prognosis buruk, minta orang tua bersiap-siap menghadapi kematian neonatus yang akan terjadi, dan beri dukungan emosional.
  • Bantu menurunkan mortalitas RDS dengan mendeteksi distres respiratorik sejak dini. Kenali retraksi interkostal dan dengkur, terutama pada neonatus prematur, yang merupakan tanda sindrom distres respiratorik, dan pastikan neopatus segera ditangani.


Referensi:

Dyer J. 2019. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: Tackling A Worldwide Problem. P & T : a peer-reviewed journal for formulary management, 44(1), 12–14.

Reuter, S., Moser, C., & Baack, M. 2014. Respiratory distress in the newborn. Pediatrics in review, 35(10), 417–429. https://doi.org/10.1542/pir.35-10-417

Yadav S, Lee B, Kamity R. 2021. Neonatal Respiratory Distress Syndrome. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560779/#_NBK560779_pubdet_

Nursing. Seri Untuk Keunggulan Klinis (2011). Menafsirkan Tanda dan Gejala Penyakit. Jakarta: PT Indeks

Qari, S., Alsufyani, A., Muathin, S., & el Margoushy, N. (2018). Prevalence of Respiratory Distress Syndrome in Neonates. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 70. https://doi.org/10.12816/0043086 

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat