Widget HTML #1

Askep Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik

Demam rematik atau rheumatic Fever adalah penyakit inflamasi multisistem yang diperantarai secara imunologis  yang terjadi akibat infeksi streptokokus grup A. Komplikasi selanjutnya adalah penyakit jantung rematik (PJR).  Demam rematik dan penyakit jantung rematik merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi di negara berkembang. Pada tulisan ini, Repro Note akan merangkum mengenai askep demam rematik dan penyakit jantung rematik mulai dari konsep medis sampai Intervensi keperawatan yang bisa dilakukan.

Tujuan:

  • Memahami definisi, epidemiologi, penyebab, tanda gejala,serta patofisiologi Demam rematik dan penyakit jantung rematik pada anak
  • Memahami pemeriksaan, penatalaksanaan, serta komplikasi yang bisa munvul pada demam rematik dan penyakit jantung rematik
  • Memahami masalah keperawatan yang sering muncul pada demam rematik dan penyakit jantung rematik
  • Memahami intervensi keperawatan yang bisa dilakukan pada askep demam rematik dan penyakit jantung rematik
  • Melakukan edukasi pasien dan keluarga pada askep demam rematik dan penyakit jantung rematik


Asuhan Keperawatan Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik - Intervensi
Image by https://www.myupchar.com/en on wikimedia.org

Konsep Medik dan Askep Demam Rematik dan Penyakit jantung Rematik

Pendahuluan

Demam rematik merupakan respons autoimun tubuh terhadap infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes yang  juga dikenal sebagai bakteri Streptococcus grup A. Sedangkan penyakit jantung rematik (PJR) mengacu pada kerusakan jantung jangka panjang yang disebabkan oleh satu episode parah atau beberapa episode demam rematik yang berulang.

Penyakit jantung rematik menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan di seluruh dunia, terutama di negara berpengahsilan rendah dan negara berkembang.

Perkembangan demam rematik terjadi sekitar dua minggu setelah infeksi Streptococcus pyogenes. Manifestasi klinis dan gejala demam rematik bisa parah dan dijelaskan dalam Kriteria Jones yang mencakup poliartritis, karditis, korea, munculnya nodul subkutan, dan eritema marginatum atau ruam yang terkait dengan demam rematik.

Setelah diagnosis terkonfirmasi, penatalaksanaan demam rematik dilaksanakan di rumah sakit selama 2-3 minggu. Meskipun sebagian besar gambaran klinis demam rematik akan sembuh selama masa rawat inap, kemungkinan kerusakan katup jantung mungkin tetap ada.

Kerusakan katup kronis ini dikenal sebagai penyakit jantung rematik (PJR) dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari demam rematik. Demam rematik dapat kambuh sebagai akibat dari infeksi Streptococcus pyogenes  berikutnya dan setiap kekambuhan dapat memperburuk penyakit jantung rematik. 

Dengan demikian, prioritas dalam manajemen penyakit adalah untuk mencegah kekambuhan demam rematik menggunakan pengobatan antibiotik jangka panjang, yang dikenal sebagai profilaksis sekunder.

Epidemiologi

Beban global demam rematik dan penyakit jantung rematik sangat signifikan dan sebagian besar ditemukan pada populasi dengan sumber daya rendah. Tingkat kejadian demam rematik di sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk prevalensi penyakit jantung rematik yang tinggi juga terjadi.

Tingkat kejadian demam rematik dilaporkan sekitar 155 per 100.000 pada anak berusia 5 hingga 14 tahun pada populasi asli di Queensland Utara Australia. Di Selandia Baru, demam rematik mempengaruhi anak-anak dan remaja berusia 4–19 tahun yang sebagian besar merupakan keturunan Māori dan Pasifika yang tinggal di wilayah sosioekonomi rendah di North Island dengan  tingkat kejadian rata-rata demam rematik berdasarkan data rawat inap untuk anak-anak 5–14 tahun adalah 81,2 per 100.000 untuk anak-anak Pasifika, 40,2 per 100.000 untuk anak-anak Māori dan 2,1 per 100.000 untuk non-Māori dan  non-Pasifika.

Perkiraan penyakit global pada tahun 2005 melaporkan 471.000 kasus demam rematik setiap tahun, yang sebagian besar terjadi pada anak-anak dan remaja berusia 5-15 tahun, dengan prevalensi kasus penyakit jantung rematik berkisar antara 15,6-19,6 juta.

Demikian juga, diperkirakan sekitar 350.000 kematian terjadi setiap tahun karena demam rematik atau atau penyakit jantung rematik. Jumlah kasus baru penyakit jantung rematik didiagnosis diperkirakan 282.000 per tahun, dengan sekitar 233.000 kematian setiap tahun.

Perkiraan beban penyakit global yang dilakukan pada tahun 2010 menghitung jumlah individu yang hidup dengan penyaki jantung rematik setidaknya 34,2 juta, dengan 10,1 juta pertahun yang disesuaikan dengan kecacatan.

Terdapat tantangan dalam memperoleh angka global yang tepat mengenai kejadian demam rematik dan penyakit jantung rematik, salah satunya adalah bahwa diagnosis demam rematik relatif sulit dan pada beberapa tahapan. Peningkatan Alat dan pemeriksaan diagnostik sangat penting, dan upaya tersebut akan mendukung upaya pendataan penyakit secara global.

Penyebab dan Faktor Resiko

Hipersensitivitas terhadap infeksi streptokokus beta-hemolitik kelompok A.

Faktor Resiko:

Usia

Insiden kasus awal demam rematik paling tinggi terjadi pada anak usia 5-14 tahun, meskipun episode pertama biasanya  memang sering terjadi pada anak dengan usia yang lebih muda yaitu pada mereka yang berusia 2-3 tahun.

Episode awal juga dapat terjadi pada remaja dan orang dewasa, meskipun kasus pada orang berusia >30 tahun jarang terjadi. Sebaliknya, episode berulang sering mempengaruhi anak-anak, remaja dan dewasa muda serta jarang terjadi pada usia diatas 35 tahun.

Penyakit jantung rematik adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh akumulasi kerusakan katup jantung akibat demam rematik yang parah berulang. Artinya, meskipun penyakit jantung rematik terjadi pada anak-anak, puncak prevalensinya terjadi pada masa dewasa, biasanya antara usia 25 sampai  45 tahun.

Jenis Kelamin

Pada sebagian besar populasi, demam rematik memiliki prevalensi yang sama baik pada pria dan wanita. Namun, penyakit jantung rematik lebih sering terjadi pada wanita, dengan risiko relatif 1,6 hingga 2,0 dibandingkan dengan pria. Selain itu, resiko terkait perbedaan jenis kelamin ini mungkin lebih nyata terlihat pada remaja dan orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.

Alasan masih belum difahami sepenuhnya, tetapi faktor intrinsik seperti kerentanan autoimun yang lebih besar, seperti yang diamati pada lupus eritematosus sistemik atau SLE, dan faktor ekstrinsik seperti paparan infeksi streptokokus yang lebih besar pada wanita sebagai dampak dari keterlibatan yang lebih dekat dalam membesarkan anak mungkin menjelaskan perbedaan ini.

Data dari Afrika Selatan dan Senegal menunjukkan bahwa penyakit jantung rematik adalah penyebab utama kematian obstetrik tidak langsung, yang berkontribusi terhadap 25% dari semua kematian ibu di negara berkembang.

Efek ini berkaitan dengan memburuknya penyakit yang sudah ada sebelumnya sebagai akibat dari perubahan hemodinamik yang terjadi selama kehamilan, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit jantung rematik karena kehamilan.

Faktor Lingkungan

Sebagian besar perbedaan risiko demam rematik dan penyakit jantung rematik antara populasi di seluruh dunia dapat dijelaskan oleh faktor lingkungan. Kontribusi dari masing-masing risiko individu sulit dijelaskan mengingat banyak dari risiko tersebut tumpang tindih dan terkait dengan kemiskinan dan status ekonomi.

Kepadatan penduduk mungkin merupakan faktor risiko yang paling tepat dijelaskan dan pengurangan kepadatan telah disebut-sebut sebagai salah satu faktor terpenting yang mendasari penurunan kejadian demam rematik di selama abad kedua puluh. Data terakhir dengan jelas menunjukkan hubungan demam rematik danpenyakit jantung rematik dengan kepadatan rumah tangga.

Dalam sebagian penelitian, risiko mengembangkan penyakit jantung rematik ditemukan paling tinggi di lokasi pedesaan, seperti penduduk Asli Australia yang tinggal di komunitas terpencil 3,3 kali lebih mungkin mengembangkan demam rematik daripada Penduduk Asli Australia yang tinggal di pusat kota di wilayah yang sama.

Temuan serupa telah dilaporkan dari daerah lain, meskipun dalam beberapa penelitian risiko tertinggi terkait faktor lingkungan adalah di daerah kumuh perkotaan.

Patofisiologi

Mekanisme patogenik demam rematik tidak sepenuhnya dipahami. Agar demam rematik terjadi, tampaknya infeksi faring yang disebabkan oleh streptokokus pyogenes harus terjadi pada pejamu dengan kerentanan genetik terhadap penyakit tersebut.

Aktivasi sistem imun bawaan dimulai dengan infeksi faring yang mengarah pada presentasi antigen Streptokokus pyogenes ke sel T dan B. Pengaktifan Sel T CD4+ kemudian dilanjutkan dengan  produksi antibodi IgG dan IgM spesifik oleh sel B.

Cedera jaringan dimediasi melalui mekanisme yang imun yang dimulai melalui reaksi molekuler. Kesamaan struktural antara agen infeksius dan protein manusia mengarah pada aktivasi silang antibodi dan sel T yang diarahkan terhadap protein manusia.

Pada demam rematik akut, respons imun lintas reaktif ini menghasilkan gambaran klinis demam rematik seperti karditis karena pengikatan antibodi dan infiltrasi sel T, artritis temporer karena pembentukan kompleks imun,  sindrom korea karena pengikatan antibodi ke ganglia basal,  dan manifestasi kulit karena reaksi hipersensitivitas tertunda.

Mimikri molekuler

Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa mimikri molekuler atau kemiripan sekuens berperan dalam perkembangan karditis dengan merangsang respons imun lintas-reaktif humoral dan seluler.

Struktur protein alfa-heliks yang ditemukan pada protein M dan N-asetil-beta-D-glukosamin (antigen karbohidrat Streptokokus pyogenes) dan antibodi terhadap kedua antigen ini, sehingga terjadi reaksi silang terhadap jaringan manusia. Antibodi monoklonal yang dihasilkan dari tonsil atau limfosit darah tepi pasien yang terinfeksi Streptokokus pyogenes bereaksi silang dengan miosin.

Antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap miosin dan N-asetil-beta-D-glukosamin yang diisolasi bereaksi terhadap endotel katup jantung manusia pada pasien dengan demam rematik. Dalam model tikus Lewis, imunisasi dengan rekombinan streptokokus M protein tipe 6 menyebabkan perkembangan valvulitis.

Klon sel T intralesi jantung manusia bereaksi terhadap jaringan jantung, termasuk myosin dan protein yang diturunkan dari katup. Sel T autoreaktif tampaknya memainkan peran penting dalam peradangan granulomatosa pada katup jantung.

Molekul adhesi sel vaskular 1 mungkin merupakan penghubung antara imunitas humoral dan seluler pada permukaan katup. Molekul adhesi sel vaskular 1 diregulasi pada permukaan endotel katup sebagai akibat dari pengikatan antibodi reaktif silang.

Hal ini menyebabkan perlekatan sel T CD4+ ke endotel, dengan infiltrasi berikutnya sel-sel ini ke dalam katup. Sel T memulai respons TH1 yang dominan dengan pelepasan -IFN. Peradangan menyebabkan neovaskularisasi, yang memungkinkan perekrutan sel T lebih lanjut.

Penyebaran epitop dapat terjadi di katup, di mana sel-T merespon terhadap protein jantung lainnya seperti vimentin dan tropomiosin dan menyebabkan pembentukan lesi granulomatosa di bawah endokardium.

Kerentanan genetik

Demam rematik akut adalah penyakit yang cenderung  diwariskan, dengan kasus yang sering diamati pada anggota keluarga termasuk anak kembar. Sebuah penelitian meta-analisis dengan reponden kembar menemukan bahwa risiko insidensi adalah 44% pada kembar monozigot dan 12% pada kembar monozigot.

Kemungkinan besar kerentanan terhadap demam rematik bersifat poligenik. Polimorfisme dalam beberapa gen yang mengkode protein imun telah dikaitkan dengan kerentanan demam rematik.

Beberapa penelitian melaporkan asosiasi genetik yang terkait dengan molekul leukosit manusia (HLA) kelas II, sementara yang lain juga melaporkan asosiasi dengan protein imun yang tidak terkait dengan HLA. Penelitian asosiasi genom luas skala besar penyakit jantung rematik di beberapa populasi di lebih dari 20 negara, termasuk di Afrika, Pasifik, dan Australia utara saat ini sedang berlangsung.

Tanda dan gejala

Demam rematik akut dapat muncul dengan beberapa manifestasi klinis yang berbeda dalam beberapa minggu setelah episode faringitis Streptokokus pyogenes. Gambaran yang paling umum dari demam rematik adalah demam  yaitu >90% pasien dan artritis sekitar 75% pasien.

Manifestasi yang paling serius adalah karditis yaitu mencapai >50% pasien karena dapat menyebabkan penyakit jantung rematik, sementara semua gambaran klinis lainnya sembuh sepenuhnya dalam beberapa minggu.

Artritis

Gejala artritis pada demam rematik adalah manifestasi yang paling menantang secara diagnostik. Artritis demam rematik paling sering menyerang sendi besar, terutama lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.

Sendi multipel juga sering terlibat dengan timbulnya artritis pada sendi yang berbeda sehingga menimbulkan deskripsi poliartritis tambahan.

Setiap sendi terpengaruh selama beberapa hari hingga seminggu, dengan seluruh episode sembuh tanpa pengobatan dalam waktu satu bulan. Nyeri sendi bisa sangat parah, terutama pada anak-anak dan remaja dan seringkali tidak sesuai dengan tanda-tanda klinis peradangan.

Sebuah ciri penting dari arthritis demam rematik adalah respon yang cepat terhadap terapi anti inflamasi. Jika gejala sendi tidak merespon aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau pengobatan glukokortikoid dalam waktu 48 jam, maka diagnosis demam rematik harus dipertimbangkan kembali.

Pada pasien dengan monoarthritis yang dicurigai sebagai demam rematik, beberapa ahli merekomendasikan untuk menahan terapi NSAID dan mengobati dengan asetaminofen atau parasetamol sampai sendi kedua terpengaruh sehingga memperjelas  diagnosis demam rematik.

Kriteria Jones yang baru-baru ini diperbarui menyoroti bahwa manifestasi sendi dapat mencakup monoarthritis aseptik atau poliartralgia sebagai manifestasi utama pada populasi berisiko tinggi, sedangkan pada populasi berisiko rendah, hanya poliartritis yang dapat diterima sebagai manifestasi utama.

Karditis

Demam rematik dapat menyebabkan pancarditis yang melibatkan perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium. Namun, manifestasi klinis utama karditis pada demam rematik mencerminkan keterlibatan endokardium, yang muncul sebagai valvulitis katup mitral atau regurgitasi mitral dan lebih jarang pada katup aorta (regurgitasi aorta).

Pada pasien dengan regurgitasi mitral, auskultasi mengungkapkan murmur pansistolik khas dari regurgitasi mitral. Jika regurgitasi mitral parah, maka mungkin ada murmur diastolik tambahan atau murmur Carey-Coombs.

Kardiomegali dapat terjadi bila ada regurgitasi katup yang lebih parah. Sebuah gesekan perikardial dapat terdengar ketika ada keterlibatan dari perikardium yang luas.

Pasien dengan dugaan demam rematik akut harus menjalani ekokardiogram untuk mengkonfirmasi temuan klinis dan untuk menilai tingkat keparahan regurgitasi katup, untuk mengevaluasi fungsi jantung dan untuk mendiagnosis adanya gejala subklinis.

Karditis subklinis mengacu pada bukti regurgitasi pada ekokardiografi tanpa adanya temuan auskulatory. Karena kriteria spesifik untuk mendiagnosis karditis subklinis masih kurang, Kriteria Jones 2015 menyarankan bahwa kriteria WHF dapat digunakan untuk membedakan regurgitasi fisiologis dan patologis. Baik klinis maupun subklinis karditis dianggap sebagai manifestasi utama demam reamtik akut pada populasi berisiko rendah dan tinggi.

Chorea

Chorea demam rematik akut, juga disebut sebagai Chorea Sydenham atau St.Vitus dance, terjadi pada 30% pasien demam rematik. Hal ini ditandai dengan gerakan tubuh dan anggota badan yang tidak disengaja, tidak berirama, dan tanpa tujuan, yang sering lebih menonjol pada satu sisi tubuh.

Chorea rematik sering mempengaruhi wajah dan ditandai dengan meringis, menyeringai, dan mengerutkan kening serta menghilang dengan tidur. Labilitas emosional juga merupakan ciri dari Chorea demam rematik, terutama pada anak-anak dan remaja dewasa, serta ditandai dengan kegelisahan dan perilaku yang tidak wajar termasuk menangis.

Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa gambaran lain dari demam rematik akut dan tanpa bukti adanya infeksi streptokokus baru-baru ini, karena korea dapat terjadi beberapa bulan setelah infeksi streptokokus yang memicunya.

Jika Chorea memiliki presentasi yang terisolasi, penting untuk menyingkirkan penyebab Chorea lainnya seperti lupus eritematosus sistemik, penyakit Wilson, dan reaksi obat.

Pada semua kasus suspek rheumatic chorea, pemeriksaan jantung dan ekokardiogram yang cermat harus dilakukan, karena chorea sangat terkait dengan karditis.

Eritema Marginatum dan Nodul Subkutan

Manifestasi kulit ini pada pasien demam reamtik akut  terjadi pada kurang dari 10% pasien, dan jarang terjadi sebagai satu-satunya manifestasi demam rematik.

Eritema marginatum yang  juga disebut sebagai "eritema annulare," ditandai dengan makula atau papula berwarna merah muda cerah, pucat, tidak gatal yang menyebar ke luar dalam pola serpiginosa. Dan biasanya pada batang tubuh dan tungkai proksimal.

Nodul subkutan kecil  antara 0,5-2 cm, tidak nyeri, berbentuk bulat yang berkembang di atas tonjolan tulang terutama siku atau tendon ekstensor, serta biasanya simetris. Biasanya ada tiga hingga empat nodul, dan biasanya muncul selama satu hingga dua minggu.

Gambaran klinis lainnya

Terdapat empat gambaran klinis lain yang dianggap sebagai manifestasi minor demam rematik akut yaitu demam, artralgia, peningkatan reaktan fase akut, dan interval PR yang memanjang pada elektrokardiogram.

Demam pada demam rematik akut biasanya 38,5 derajat Celcius, tetapi mungkin lebih rendah  pada populasi berisiko tinggi. Arthralgia biasanya melibatkan beberapa sendi dalam pola yang mirip dengan polyarthritis.

Laju sedimentasi eritrosit (LED) seringkali di atas >60 mm/jam, dan kadar protein reaktif C (CRP) biasanya di atas >3,0 mg/dL pada pasien demam rematik akut, meskipun ESR mungkin lebih rendah (>30 mm/jam) pada populasi berisiko tinggi.

Sejumlah gambaran klinis lain sering diamati pada pasien dengan demam rematik tetapi tidak termasuk sebagai manifestasi dalam Kriteria Jones antara lain, nyeri perut, epistaksis, serta denyut nadi yang cepat dan takikardia yang tidak sebanding dengan demam. Pada pemeriksaan darah lengkap sering didapatkan anemia dan leukositosis normokromik dan normositik.

Transisi ke penyakit jantung rematik kronis

Sekitar 35-72% pasien yang mengalami  demam rematik akut akan berkembang menjadi karditis klinis dengan tambahan 18% menunjukkan bukti keterlibatan jantung sub-klinis. Namun, resolusi karditis akut dapat dicapai terutama dengan kepatuhan yang sangat baik dengan profilaksis, dan tidak semua pasien ini akan mengalami penyakit jantung rematik kronis.

Resolusi paling sering terlihat pada tahun pertama setelah demam rematik. Karditis akut terbatas pada regurgitasi mitral, dan jarang terjadi pada  katup aorta. Faktor-faktor yang secara konsisten menjadi predisposisi pasien untuk berkembang menjadi penyakit jantung rematik kronis antara lain usia saat mengalami episode pertama demam rematik, karditis parah pada episode pertama demam rematik akut, frekuensi dan jumlah kekambuhan demam rematik.

Hal ini juga memungkinkan untuk anak-anak yang tidak memiliki karditis klinis selama presentasi demam rematik awal untuk mengembangkan penyakit jantung rematik kronis. Hal Ini mungkin dikarenakan kekambuhan subklinis, kepatuhan yang buruk terhadap profilaksis, atau perkembangan penyakit yang tampak secara klinis tertunda.

Pemeriksaan Diagnostik

Tidak ada pemeriksaan tunggal untuk mengkonfirmasukejadian penyakit demam rematik. Sebaliknya, diagnosis demam rematik akut atau berulang bergantung pada hasil pasien apakah memenuhi serangkaian kriteria klinis. Kriteria yang paling umum adalah kriteria Jones mengalami revisi kelima pada tahun 2015.

Revisi memperluas penerapannya pada populasi berisiko tinggi dan rendah, juga memasukkan hasil dari karditis subklinis sebagai kriteria utama, yang didiagnosis melalui evaluasi ekokardiografi.

Diagnosis demam rematik akut  membutuhkan dua kriteria mayor atau satu mayor ditambah dua minor bersama dengan bukti infeksi streptokokus sebelumnya. Chorea dan karditis rematik kronis indolen merupakan pengecualian untuk persyaratan ini, dan dianggap sebagai bukti yang cukup dari demam rematik akut. Kriteria Jones menekankan bahwa demam rematik harus menjadi penyakit eksklusi, dengan pencarian aktif untuk penyakit sistemik lainnya.

Kriteria mayor meliputi karditis klinis atau subklinis, poliartritis, korea, eritema marginatum, dan nodul subkutan. Kriteria minor meliputi poliartralgia, demam ≥ 38,5 ° C, LED 60mm dalam satu jam pertama atau CRP 3,0 mg/dL, dan interval PR yang berkepanjangan.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada demam rematik antara lain:

  • Hitung darah lengkap
  • Reaktan fase akut: protein C-reaktif dan laju sedimentasi eritrosit
  • Ekokardiogram
  • Elektrokardiogram
  • Radiografi dada
  • Usap tenggorokan untuk kultur bakteri
  • Serologi streptokokus (titer anti-streptolisin O dan titer anti-deoksiribonuklease B)

Penatalaksanaan

Semua pasien dengan suspek ARF harus dirawat di rumah sakit sampai perjalanan klinis dapat diamati dengan cermat dan agar pemeriksaan utama dapat dilakukan. Pemeriksaan tambahan, seperti USG, aspirasi sendi, dan tes untuk penyebab lain dari arthritis dan chorea diarahkan berdasarkan presentasi klinis dan perjalanan penyakit.

Di luar diagnosis, prioritas dalam pengelolaan demam rematik adalah pemberantasan streptokokus grup A dan dimulainya profilaksis sekunder, pengobatan simtomatik artritis dan artralgia, pengelolaan karditis dan gagal jantung, manajemen korea, dan pendidikan pasien dan keluarga.

Pemberantasan streptokokus grup A dan pemberian profilaksis sekunder

Pasien dengan demam rematik diobati menggunakan antibiotik untuk membasmi Streptokokus pyogenes. Pendekatan pragmatis adalah dengan memberikan benzatin penisilin G intramuskular  yang memiliki tujuan untuk memberantas pembawa Streptokokus pyogenes dan  sebagai dosis pertama profilaksis sekunder.

Manajemen Gejala Sendi

Pengobatan anti-inflamasi adalah manajemen simtomatik gejala sendi akut demam rematik. Terapi lini pertama secara tradisional adalah aspirin, yang tetap menjadi obat antiinflamasi yang paling banyak digunakan untuk demam rematik.

Jenis NSAID yang lebih baru seperti naproxen untuk pasien dengan usia yang  lebih tua dan ibuprofen untuk anak dengan usia yang lebih muda lebih disukai beberapa orang. Hal ini karena frekuensi pemberian dosis yang lebih nyaman dan pengurangan risiko toksisitas atau sindrom Reye, dibandingkan dengan salisilat. Pada pasien dengan artralgia ringan, asetaminofen atau parasetamol dapat memberikan pengobatan yang memadai.

Aspirin dan NSAID dengan cepat mengontrol gejala sendi, tetapi harus dilanjutkan sampai semua gejala hilang. Sebagian besar pasien memerlukan pengobatan selama satu sampai dua minggu, meskipun beberapa pasien memerlukan pengobatan yang lebih lama.

Arthritis dapat kambuh ketika dosis pengobatan anti inflamasi dikurangi, fenomena ini dikenal dengan istilah "rebound" dan berarti bahwa pengobatan yang lebih lama diperlukan. Jika pengobatan kortikosteroid digunakan untuk pengelolaan karditis atau karena alasan lain, aspirin atau NSAID dapat dihentikan selama periode terapi kortikosteroid, tetapi harus dimulai kembali setelah penghentian pengobatan.

Penatalaksanaan karditis

Tidak ada bukti bahwa terapi anti-inflamasi mengubah hasil jangka panjang pasien dengan demam rematik, meskipun beberapa ahli merekomendasikan pengobatan kortikosteroid pada pasien dengan karditis berat.

Oleh karena itu, pengelolaan karditis terdiri dari pengobatan gagal jantung pada mereka dengan karditis berat. Operasi katup jarang diperlukan pada pasien dengan karditis rematik, tetapi dapat menyelamatkan jiwa pada pasien dengan ruptur akut dari daun katup atau dengan korda tendinae.

Semua pasien dengan karditis berat, termasuk mereka dengan kardiomegali yang signifikan, gagal jantung kongestif, atau blok jantung tingkat tiga, memerlukan ekokardiogram mendesak dan penilaian oleh ahli jantung.

Diuretik, restriksi cairan, dan tirah baring dalam pengelolaan gagal jantung dan pemberian angiotensin-converting enzyme inhibitors direkomendasikan untuk beberapa pasien dengan gejala regurgitasi aorta atau disfungsi ventrikel kiri.

Operasi jantung umumnya dihindari sampai peradangan akut telah mereda, sehingga perbaikan secara teknis lebih mudah dan sehingga hasil jangka panjang yang lebih baik dapat dicapai. Pengecualian untuk hal ini adalah regurgitasi mitral atau aorta yang sering disebabkan oleh ruptur korda tendinae dengan flail dan memerlukan perbaikan bedah yang menyelamatkan jiwa.

Manajemen Chorea

Chorea pada demam rematik biasanya sembuh sendiri dengan resolusi dalam beberapa minggu hingga bulan, tidak diperluka pengobatan khusus selain istirahat dan lingkungan yang tenang. Namun jika gerakan koreo secara substansial mengganggu aktivitas normal kehidupan sehari-hari dan menimbulkan risiko cedera, maka pengobatan harus dipertimbangkan.

Asam valproat dan karbamazepin dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk Chorea. Sebuah penelitian komparatif prospektif menemukan bahwa asam valproat adalah agen yang efektif . Asam valproat dikontraindikasikan pada wanita usia subur karena risiko teratogenisitas.

Pengobatan kortikosteroid jangka pendek juga dapat dipertimbangkan untuk chorea yang berat atau refrakter. Aspirin dan NSAID tidak berpengaruh signifikan pada Chorea demam rematik.

Asuhan Keperawatan

Intervensi Keperawatan

  • Beri informasi pada pasien dan keluarganya mengenai penyakit ini dan penanganannya.
  • Sebelum memberi penisilin, tanyai orang tua apakah anaknya pernah mengalami reaksi hipersesitivitas terhadap penisilin. Walaupun belum pernah, ingatkan bahwa reaksi semacam itu bisa muncul.
  • Katakan pada orang tua, jika anak mengalami ruam, menggigil, atau tanda atau gejala lain dari alergi kapanpun saat menjalani terapi penisilin, mereka harus menghentikan obat dan segera menghubungi praktisi.
  • Minta orang tua melihat dan melaporkan tanda awal dari gagal jantung, yaitu dispnea dan batuk yang pendek dan tidak produktif.
  • Tekankan perlunya istirahat di ranjang saat fase akut, dan anjurkan hiburan yang sesuai dan tidak membebani fisik.
  • Setelah fase akut, dorong keluarga dan teman menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan anak untuk meminimalkan kebosanan. Sarankan orang tua memberi anak pelajaran tambahan untuk membantunya menyusul ketinggalan pelajaran di sekolah saat ia menjalani masa pemulihan yang membutuhkan banyak waktu.
  • Katakan pada pasien bahwa ketidakberhasilan mencari penanganan infeksi streptokokus adalah hal yang biasa karena penyakit ini terlihat tidak lebih buruk daripada pilek.
  • Jika anak mengalami karditis parah, bantu orang tua menyiapkan perubahan permanen dalam gaya hidup anak.
  • Ingatkan orang tua untuk melihat dan segera melaporkan tanda dan gejala infeksi streptokokus rekuren—sakit tenggorokan mendadak, warna merah terdifusi di tenggorokan dan eksudat orofaringeal, nodus limfa servikal membengkak dan terasa perih, nyeri saat menelan, suhu badan sebesar 101° sampai 104° F (38,3° sampai 40° C), sakit kepala, dan mual. Minta mereka menjauhkan anak dari penderita infeksi traktus respiratorik.
  • Jelaskan pentingnya kebersihan gigi yang baik untuk mencegah infeksi gusi.
  • Pastikan anak dan keluarganya memahami perlunya menyelesaikan terapi antibiotik dan perawatan lanjutan yang membutuhkan waktu lama dan perlunya antibiotik tambahan saat pembedahan dental.
  • Susun jadwal kunjungan perawat untuk mengawasi perawatan di rumah, bila perlu.


Referensi:

  • Binotto, M., Guilherme, L., & Tanaka, A. (2002). Rheumatic Fever. Images in paediatric cardiology, 4(2), 12–31.
  • Carapetis, J., Beaton, A., Cunningham, M. et al. 2016. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease. Nat Rev Dis Primers 2, 15084 (2016). https://doi.org/10.1038/nrdp.2015.84
  • Dass C, Kanmanthareddy A. 2021. Rheumatic Heart Disease. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.  https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538286/
  • Nursing. Seri Untuk Keunggulan Klinis (2011). Menafsirkan Tanda dan Gejala Penyakit. Jakarta: PT Indeks
  • ika-Paotonu D, Beaton A, Raghu A, et al. 2017.  Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. Oklahoma City (OK): University of Oklahoma Health Sciences Center. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK425394/

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat