Widget HTML #1

Kontrasepsi Pria Dengan Metode Hormonal

Sampai saat ini penggunakan alat kontrasepsi masih didominasi wanita. Asumsi tentang kesediaan pria untuk berpartisipasi dalam kontrasepsi, dan kemajuan penelitian telah membangkitkan minat baru dalam mengembangkan kontrasepsi pria yang reversibel. 

Untuk meningkatkan peran serta kaum pria dalam keluarga berencana, perlu dikembangkan suatu cara kontrasepsi yang efektif, tidak berbahaya untuk kesehatan, reversibel, dan nyaman untuk digunakan. 

Salah satu cara yang ditawarkan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal, dimana pemakaiannya mudah, dan lebih bisa diterima oleh kaum pria. Mekanisme kerja dari kontrasepsi hormonal ini ialah dengan cara menghalangi efek dari hormon sedemikian rupa, sehingga produksi sel-sel sperma yang sehat dari testis akan terhambat, tanpa menurunkan kadar hormon testosteron

Kontrasepsi Pria Dengan Metode Hormonal
Image From pxhere.com

Formulasi dari kontrasepsi hormonal, biasanya terdiri dari berbagai jenis testosteron, baik dosis tunggal maupun yang dikombinasikan dengan hormon lain. Dalam uji klinis, telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. 

Dasar pendekatan hormonal terhadap kontrasepsi pria adalah bahwa spermatogenesis bergantung pada sekresi gonadotropin, yaitu Folikel Stimulating Hormon (FSH), dan produksi testosteron  yang di stimulasi oleh luteinizing hormon (LH). Oleh karena itu Penekanan sekresi gonadotropin akan mengakibatkan hilangnya aktivitas endokrin dan spermatogenik pada testis.

Prinsip ini pertama kali ditunjukkan pada tahun 1974, dengan menggunakan kombinasi estrogen oral dengan metil testosteron. Selanjutnya, para ahli melakukan beberapa langkah percobaan klinik dengan menggunakan testosteron tunggal, atau dikombinasikan dengan progestin. Langkah ini menunjukkan lebih dari 90% efektif dalam mencegah konsepsi/kehamilan, dan tidak menunjukkan efek samping yang serius.

Selama beberapa tahun, para peneliti telah mempelajari efek suntikan testosteron tanpa kombinasi sebagai kontrasepsi pria, dan ternyata dapat menekan produksi sperma pada sistem reproduksi pria sampai tingkat yang sangat rendah. 

Namun, ternyata terbukti bahwa efek testosteron tanpa kombinasi ini terdapat perbedaan secara etnis. Para pria Asia normal, khususnya Asia Timur, hampir selalu dapat menjadi oligospermia dan bahkan sampai azospermia ketika diberi testosteron undecanoate sebanyak 500 sampai 1000 mg setiap bulan. Sedangkan hanya 86% dari pria kulit putih (kaukasian) yang dapat mencapai oligospermia atau azospermia dengan pemberian testosteron yang serupa.

Cara yang lebih efektif adalah dengan menggabungkan testosteron dengan progestin. Cara ini juga dirasakan lebih aman karena dosis hormon testosteron dapat diturunkan, tetapi khasiatnya tidak berkurang. Suatu suntikan kombinasi testosteron undecanoate dengan norethindrone enanthate yang diberikan pada interval 6-minggu, dapat menyebabkan azospermia pada 90% dari subyek penelitian.

Progestin yang dikombinasikan dengan testosteron terdiri dari berbagai jenis, antara lain adalah norethisterone, desogestrel, levonorgestrel, etonogestrel, depo medroxy progesterone acetate (DMPA) atau nestorone. Dari beberapa macam progestin tersebut, yang terlihat paling efektif adalah etonogestrel dan levonorgestrel. Efek penurunan LH ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh hormon androgen daripada oleh progestin. 

Selain dikombinasikan dengan progestin, testosteron juga dapat digabung dengan antagonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang ternyata juga menunjukkan efektifitas yang tinggi.

Untuk pria yang kurang menyukai metode suntikan, saat ini telah dilakukan riset dengan menggunakan testosteron bentuk tempel/trandermal (koyo) yang dikombinasikan dengan pil estrogen. Pil estrogen yang digunakan adalah desogestrel atau DMPA. Dengan cara ini, keberhasilan untuk menurunkan spermatogenesis pada pria bisa mencapai 80%. 

Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal pria yang telah diketahui sejauh ini antara lain adalah timbulnya perubahan mood, jerawat, depresi, penurunan libido dan disfungsi ereksi. Karena semua studi yang dilakukan selama ini hanya dalam durasi yang relatif singkat, maka tidak mungkin untuk melakukan evaluasi efek samping jangka panjang pada tulang, prostat serta penyakit kardiovaskuler. Beberapa efek samping ini mungkin disebabkan oleh progestin.

Jenis Kontrasepsi Hormonal Pria

Testosteron Tanpa Kombinasi

Hasil dari penelitian WHO yang dilaporkan pada tahun 1995, menunjukkan efek fisiologis dari testosteron injeksi mingguan (200 mg testosteron enanthate - TE). Pemberian androgen ini menghambat hormon pituitary gonadotrophin - luteinizing hormone (LH) dan Sekresi hormon FSH, menekan jumlah sperma secara dramatis, dan mempertahankan testosteron perifer pada tingkat yang cukup tinggi untuk mempertahankan libido. Namun pemberian ini hanya efektif untuk menekan jumlah sperma pada pria ras asia, dan kurang efektif pada pria non Asia.

Sebuah penelitian lanjutan yang lebih rinci mendapatkan hasil bahwa injeksi Testosteron Enthat (TE) mingguan bisa menekan jumlah sperma sampai poligozoospermia bahkan azoospermia, dengan tingkt maksimal di capai dalam 6 bulan. Dalam penelitian ini dilaporkan bahwa metode ini dapat diterima oleh pengguna dan pasangannya, walaupun memerlukan suntikan minggguan. Namun sebagian besar pria mengharapkan interval pemberian injeksi yang tidak terlalu sering.

Turunan Testosteron lain, yaitu testosteron undecanoate (TU) lebih fleksibel dalam metode pemberiannya, dan memiliki profil farmakokinetik yang lebih menguntungkan daripada TE. TU bisa di berikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan progestin dengan injeksi dalam interval bulanan. 

Penelitian di cina yang didukung WHO melakukan uji coba keefektifan pemberian TU dengan dosis awal 1000 mg, diikuti dosis perawatan 500 mg yang diberikan setiap empat atau enam minggu. Dari 308 pria yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 290 mengalami oligospermia bahkan sampa azoospemia. Dan tidak ada kehamilan yang disebabkan salah satu pria ini selama fase pemberian TU. 

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping testosteron, WHO telah berupaya mengembangkan dan menguji beberapa bentuk baru testosteron. Salah Satunya Tesstosteron Bucilate (TB), TB memiliki profil farmakokinetik yang sangat menguntungkan, lebih unggul daripada TE dan TU. 

Setelah disuntikan, tingkat sirkulasi Testosteron Bucilat di perkirakan akan tetap pada tingkat efektif selama kurang lebih 3 bulan. Penelitian klinis awal telah mengindikasikan penggunaan androgen ini dalam kontrasepsi. Namun studi toksikologi sangat diperlukan sebelum studi klinis dimulai. 

Pada sisi lain, pemberian testosteron pada pria normal menimbulkan keluhan efek samping. Beberapa keluhan yang dilaporkan muncul setelah pemberian testosteron dalam dosis formula tunggal  antara lain: Peningkatan kadar jerawat, keluhan berat badan, perubahan Hemoglobin dan Hematokrit, Penurunan HDL dengan sedikit perubahan pada kolesterol total atau LDL-C5, keluhan terkait libido dan sex. Efek samping yang muncul ini  menghilang begitu pemberian testosteron dihentikan.

Testosteron dengan Kombinasi

Ada 2 tantangan yang harus diatasi untuk mengembangkan kontrasepsi hormonal pria, yaitu seringnya pemberian suntikan, dan ketidaksamaan kemampuan menekan produksi sperma pada semua pengguna. Untuk menjawab tantangan ini, para peneliti sedang mencari formula testosterone yang bekerja jangka panjang, dan dalam bentuk formula kombinasi hormonal.

Kombinasi testosterone dengan progestine, atau gonadotropin-releasing hormon (GnRH) dapat meningkatkan penekan produksi sperma. Untuk memperoleh efek terbaik, para peneliti di beberapa negara, dalam skala kecil melakukan uji coba klinik. Formula ini kadar testosteronnya lebih rendah, sehingga efek samping berkurang tapi tidak berarti menghilangkan sama sekali. Penggunaan progestin menunjukan hasil yang menggembirakan dan direncanakan dibuat dalam bentuk tablet, patch, suntikan dan implan.

Kombinasi Testosteron dan Progestin

Setelah terbukti bahwa androgen sendiri secara klinis efektif sebagai agen kontrasepsi, serangkaian penelitian menunjukkan bahwa kombinasi androgen dengan progestin lebih efektif dalam menekan spermatogenesis daripada androgen sendiri. 

Progestin dapat bertindak secara sinergis dengan androgen untuk menekan sintesis gonadotropin dan pelepasan. Ada juga beberapa bukti bahwa progestin dapat memberikan efek secara langsung pada tingkat testis. 

Tujuan menggabungkan dua kelas steroid ini adalah untuk mempercepat dan meningkatkan tingkat penekanan spermatogenik. Selain itu, penggunaan progestin memungkinkan penggunaan androgen yang lebih rendah untuk diberikan, mengurangi kemungkinan efek negatif pemberian hormon testosteron eksogen pada sistem kardiovaskular dan prostat. Pemberian androgen harus memadai untuk memberikan penekanan komplementer dan untuk mempertahankan konsentrasi testosteron yang beredar.

Sebagian besar percobaan yang dilakukan pada kombinasi androgen dan progestin telah mengurang timbulnya efek samping pada beberapa pria. Percobaan terbatas ini telah memberikan bukti bahwa tingkat penekanan spermatogenetik yang dicapai bervariasi sesuai dengan senyawa steroid dan rute pemberian yang dipilih. 

Beberapa variasi dosis telah menghasilkan hasil yang sangat baik, menunjukkan bahwa pendekatan hormon gabungan dapat digunakan untuk menginduksi azoospermia dan oligozoospermia dengan persentase yang lebih tinggi pada pria.

Dalam satu uji coba klinis penggunaan kombinasi ini memiliki prospek yang bagus, TU diberikan secara kombinasi dengan depot medroksiprogesteron asetat (DMPA) ke relawan laki-laki di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suntikan TU saja tidak cukup menekan jumlah sperma pada pria Indonesia, namun menambahkan DMPA pada rejimen tersebut membuat semua sukarelawan mencapai tingkat penekanan sperma yang mengindikasikan ketidaksuburan (kurang dari 1 juta sperma / ml air mani) dalam 12 Minggu sejak di mulainya pemberian. Efeknya long acting, tapi reversibel.

Progestin lain yang sedang atau telah dianggap sebagai komponen potensial dalam kontrasepsi hormonal gabungan pria termasuk levonorgestrel, terutama dalam bentuk implan seperti Norplant; Cyproterone acetate; Net-Enanthate; Desogestrel; Dan senyawa baru yang dikembangkan oleh WHO dan NIH, levonorgestrel butanoate.

Kombinasi Testosteron dengan GnRH

Gonadotrophins dapat ditekan oleh reaksi kontinu reseptor GnRH hipofisis atau oleh blokade stimulasi normal reseptor ini. Hasil ini dapat dicapai dengan menggunakan agonis GnRH atau antagonis. 

Salah satu dari pendekatan ini dapat menyebabkan penekanan gonadotrophin yang cepat dan reversibel. Agonis memerlukan beberapa minggu untuk menurunkan dan mengatur reseptor, sementara pemberian antagonis menghasilkan tingkat LH dan FSH yang sepenuhnya tertekan dengan segera. Penggunaan salah satu kelas ligan reseptor ini memerlukan pemberian pengganti androgen.

Sementara peptida sintetis ini masih dianggap eksperimental, pemberian kombinasi semacam itu telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada monyet dan dalam uji klinis skala kecil, yang diukur dengan frekuensi dan tingkat penekanan sperma.

Penggunaan antagonis tampaknya menawarkan janji yang lebih baik sebagai metode yang menjanjikan untuk kontrasepsi hormonal pria. Biaya senyawa ini cukup tinggi dan saat ini diformulasikan untuk diberikan suntikan harian. 

Produk semacam itu mungkin tidak sesuai atau layak dilakukan di negara berkembang atau di sektor publik, kecuali jika biaya dapat diturunkan dan frekuensi dan rute pemberian dibuat lebih fleksibel. 

Penelitian saat ini diarahkan untuk penyelidikan protokol baru untuk pemberian obat dan pengembangan persiapan yang lebih murah, berjangka panjang atau dengan pemberian oral.

Hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa prospek kontrasepsi hormonal pria tampak menjanjikan. Ada bukti kuat bahwa androgen, dengan atau tanpa progestin, dapat memberikan kontrasepsi yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. 

Para peneliti terus mempromosikan penelitian tentang metode kontrasepsi yang dapat diterima untuk digunakan oleh laki-laki. Penelitian semacam itu dapat berfokus pada: Penghambatan produksi sperma; Interferensi dengan fungsi dan struktur sperma; Gangguan transportasi sperma; Gangguan deposisi sperma; dan Pencegahan interaksi sperma-telur.

Sementara itu, diskusi sedang dilakukan dengan semua fihak yang terlibat untuk memastikan pengembangan dan pengujian kontrasepsi hormonal pria dan untuk memastikan ketersediaannya dengan biaya rendah ke sektor publik  terutama di negara-negara berkembang.

Kesimpulan

Kontrasepsi hormonal pria telah dikembangkan selama hampir 50 tahun, namun meskipun ada upaya besar, belum memenuhi kebutuhan pilihan untuk kontrasepsi pria reversibel. 

Studi pembuktian konsep awal menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal pria efektif, dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pria, dan memberikan pengetahuan penting untuk mengurangi kesuburan pria. 

Survei melaporkan bahwa pria dan wanita menyambut baik perkembangan metode kontrasepsi pria. Selain itu, sikap terhadap tanggung jawab  bersama dalam rumah tangga terus berkembang termasuk dalam pemilihan metode kontrasepsi. 

Mengingat beban global kehamilan yang tidak direncanakan, sangat penting untuk melanjutkan pengembangan agen kontrasepsi baru, khususnya kontrasepsi pria. Selain peran peneliti,  Investasi lebih lanjut dari industri atau organisasi non-pemerintah dapat mempercepat kemajuan dalam pengembangan kontrasepsi pria, khususnya metode hormonal. 


Referensi: 

  1. Thirumalai A, Page ST. Male Hormonal Contraception. Annu Rev Med. 2020 Jan 27;71:17-31. doi: 10.1146/annurev-med-042418-010947. Epub 2019 Sep 19. PMID: 31537185.
  2. Gava G, Meriggiola MC. Update on male hormonal contraception. Ther Adv Endocrinol Metab. 2019;10:2042018819834846. Published 2019 Mar 14. doi:10.1177/2042018819834846

Zul Hendry
Zul Hendry Dosen Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Mataram