Widget HTML #1

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Neuralgia Trigeminal - Intervensi

Neuralgia trigeminal, yang juga disebut tic douloureux, adalah gangguan neri kronik menyakitkan di satu cabang atau lebih di saraf kranial kelima (trigeminal) yang menyebabkan serangan paroksismal berupa nyeri fasial menyiksa dan dipercepat dengan stimulasi zona pemicu. 

Nyeri neuralgia trigeminal kemungkinan disebabkan oleh interaksi atau kontak-pendek antara serat sentuhan dan nyeri. Neuralgia trigeminal bisa hilang secara spontan, dan penyembuhannya berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. 

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Neuralgia Trigeminal - Intervensi
Image by BruceBlaus on wikimedia.org

Penyebab 

  • Fenomena refleks aferen (secara terpusat atau lebih periferal di akar sensorik) 
  • Kompresi akar saraf oleh tumor fosa posterior, tumor fosa tengah, atau lesi vaskular (aneurisma subklinis)
  • Herpes zoster 
  • Sklerosis multipel 

Tanda dan gejala 

Nyeri 

  • Rasa seperti terbakar 
  • Muncul dalam bentuk tusukan seperti-petir dan berlangsung selama 1 sampai 15 menit (biasanya 1 sampai 2 menit) di area persarafan salah satu divisi saraf trigeminal, terutama divisi mandibular superior atau maksilari 
  • Jarang menyerang lebih dari satu divisi, dan jarang juga menyerang divisi pertama (oftalmik) atau kedua sisi wajah 
  • Sama-sama menyerang divisi kedua (maksilari) dan ketiga (mandibular) dari saraf trigeminal 
  • Secara khas menyerang setelah adanya stimulasi zona pemicu, biasanya oleh sentuhan cahaya ke area hipersensitivitas, misalnya ujung hidung, pipi, atau gusi 
  • Kemungkinan menyerang setelah makan, tersenyum, berbicara, mengkonsumsi minuman panas atau dingin, atau terpapar aliran udara dingin dalam ruangan tertutup, panas, atau dingin 
  • Frekuensi serangannya bervariasi (dari berkali-kali per hari sampai beberapa kali per bulan atau per tahun) 
  • Tidak ada nyeri di antara serangan (khas; nyeri yang konstan dan samar pada beberapa pasien) 
  • Tidak ada kerusakan fungsi sensorik atau motorik (sebenarnya, kerusakan sensorik menandakan lesi yang mendiami-ruang sebagai penyebab nyeri) 
  • Pasien yang mencoba menghindari nyeri 
    • Bisa membelat area yang diserang 
    • Bisa menahan wajahnya untuk tidak bergerak saat berbicara 
    • Bisa membiarkan sisi yang diserang tidak dicuci dan tidak dicukur 
    • Bisa melindungi wajahnya dengan penutup mantel atau syal 

Uji diagnostik 

  • Riwayat nyeri pasien merupakan dasar diagnosis karena neuralgia trigeminal tidak menimbulkan perubahan klinis atau patologis objektif. 
  • Sinar-X tengkorak, computed tontograpby scan, dan magnetic resonance imaging menyingkirkan tumor dan sinus atau infeksi gigi. 

Penanganan 

  • Pemberian obat antiepileptik secara oral, misalnya carbamazepine (Tegretol) atau phenytoin (Dilantin), bisa meringankan atau mencegah nyeri. 
  • Opioid bisa berguna saat episode nyeri akut. 
  • Jika penanganan non-pembedahan tersebut gagal, elektrokoagulasi perkutaneus akar saraf dengan anestesia lokal merupakan pilihan penanganan untuk kesembuhan permanen. 
  • Prosedur frekuensi-radio perkutaneus, yang menyebabkan kehancuran akar parsial dan meringankan nyeri, dan bedah mikro untuk dekompresi vaskular (menggunakan CT terpadu) pada saraf trigeminal merupakan penanganan tambahan. 

Intervensi Asuhan Keperawatan 

  • Pantau dan catat karakteristik tiap serangan, termasuk mekanisme protektif pasien. 
  • Cukupi nutrisi dengan makanan dalam jumlah sedikit namun sering dan bersuhu kamar. 
  • Jika pasien diberi carbamazepine, lihat adakah reaksi kutaneus dan hematologis (ruam eritematosa dan pruritik, urtikaria, fotosensitivitas, dermatitis eksfoliatif, leukopenia, agranulositosis, eosinofilia, anemia aplastik, trombositopenia) dan kemungkinan retensi urin dan rasa kantuk selintas. 
  • Selama 3 bulan pertama setelah terapi carbamazepine, jumlah darah lengkap dan fungsi hati sebaiknya dipantau setiap minggu dan setelahnya setiap bulan. Ingatkan pasien untuk segera melapor jika terjadi demam, sakit tenggorokan, ulser mulut, memar dengan mudah, atau hemoragi petekial atau purpurik.
  • Demam, sakit tenggorokan, ulser mulut, mudah memar, atau hemoragi petekial atau purpurik bisa menjadi sinyal trombositopenia atau anemia aplastik dan terapi obat harus dihentikan. 
  • Jika pasien diberi phenytoin, lihat adakah efek merugikan, antara lain ataksia, erupsi kulit, hiperplasia gingival, dan nistagmus. 
  • Setelah reseksi divisi pertama dari saraf trigeminal, minta pasien tidak menggosok matanya dan tidak menggunakan semprotan aerosol. Sarankan ia mengenakan kaca mata atau kaca mata debu saat berada di luar ruangan dan untuk sering berkedip. 
  • Setelah pembedahan untuk memotong divisi kedua atau ketiga, minta pasien menghindari makanan dan minurnan panas, yang bisa membakar mulutnya, dan berhati-hati mengunyah agar mulutnya tidak tergigit. 
  • Sarankan pasien mengunyah makanan di sisi yang tidak diserang, sering menggosok gigi dan membilas mulutnya, dan menemui dokter gigi dua kali per tahun untuk mendeteksi rongga. (Rongga di area saraf yang terpotong tidak akan menimbulkan nyeri.) 
  • Setelah pembedahan dekompresi pada akar atau diseksi saraf parsial, seringkali periksalah tanda neurologis dan vital pasien. 
  • Beri dukungan emosional dan dorong pasien mengekspresikan ketakutan dan kegelisahannya. Bantu kemandiriannya dengan perawatan diri sendiri dan aktivitas fisik maksimum. Hindarkan stimulasi alami (udara, panas, dan dingin) dari zona pemicu (bibir, pipi, dan gusi). 
  • Sarankan pasien mengunjungi klinik nyeri seperlunya. 


Sumber:

Nursing. Seri Untuk Keunggulan Klinis (2011). Menafsirkan Tanda dan Gejala Penyakit. Jakarta: PT Indeks

Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep
Ns.Radliyatul Fahmi, S.Kep Perawat Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat